Jumat, November 22, 2024
31.2 C
Palangkaraya

Body Checking dan Komoditas Tubuh

KONTES kecantikan perdana Miss Universe Indonesia 2023 telah menorehkan noda yang secara psikologis dampaknya sangat buruk, utamanya bagi yang terkena secara langsung. Tak berlebihan jika kemudian noda itu memantik emosi banyak pihak. Khususnya kaum perempuan yang merasa terlecehkan oleh kejadian tersebut.

Sebagaimana telah diberitakan Jawa Pos (8/8/2023), sejumlah kontestan di ajang itu diduga telah menjadi korban pelecehan seksual ketika diharuskan melakukan body checking (pemeriksaan tubuh) sebelum memasuki sesi grand final. Puluhan kontestan difoto dalam kondisi tanpa mengenakan busana. Parahnya, para kontestan tersebut ditodong untuk menanggalkan busana tidak di ruang privasi yang selayaknya. Padahal, di ruangan itu masih berlalu-lalang sejumlah laki-laki.

Dalam berita yang sama, Mellisa Anggraini selaku kuasa hukum korban mengungkapkan bahwa para kontestan ditekan untuk mengikuti arahan tanpa dimintai persetujuan. Yang membuat sebagian kontestan mengalami trauma adalah adanya pemeriksaan yang disertai pemotretan dalam kondisi tanpa busana.

Ironisnya, pemegang lisensi Miss Universe Indonesia 2023, yakni PT Capella Swastika Karya, lewat Poppy Capella selaku national director Miss Universe Indonesia terkesan tidak tahu-menahu. Dan dengan enteng mengaku mendapatkan informasi adanya kasus pelecehan itu dari media massa, yang kemudian pernyataan tersebut dibantah Rizky Ananda Musa selaku provider director Miss Universe Jawa Barat (Jawa Pos, 10/8/2023).

Tubuh sebagai Komoditas?

Hingga saat ini, tidak dimungkiri, tubuh perempuan masih menjadi hal prioritas daripada potensi-potensi lain yang melekat pada diri perempuan itu sendiri. Sebagian perempuan (dan mayoritas kaum laki-laki) masih menjadi komunitas terbesar dalam mengeksploitasi sekaligus memuji tubuh perempuan. Pemujaan dan eksploitasi tubuh pada perempuan tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial masyarakat kita yang masih dihegemoni oleh kekuatan patriarki.

Baca Juga :  Mengurai Kontroversi Al Zaytun

Ardhie Raditya dalam buku Sosiologi Tubuh (2014) menjelaskan, ketika tubuh menjadi komoditas, segala potensi tubuh dieksploitasi sebagai cara menarik perhatian, khususnya elemen-elemen ”sensualitas”. Itulah yang disebut teknokrasi sensualitas (technocracy of sensuality) di mana nilai tanda ”sensualitas” digunakan sebagai daya tarik komoditas yang sebetulnya tidak menarik. Teknokrasi sensualitas adalah mekanisme untuk mengendalikan pikiran konsumer melalui penampilan sensualitas.

Mengapa ada body checking dalam ajang Miss Universe Indonesia? Hal itu tidak bisa dilepaskan dari persepsi dan konsepsi bahwa tubuh perempuan menjadi pemain sentral, khususnya di hadapan laki-laki, dalam hiburan dan tontonan, tetapi tidak lebih dari subordinasi. Tubuh perempuan hanya menjadi objek untuk jadi pencipta daya tarik komoditas. Inilah strategi kapitalisme dalam menjalankan mesin produksi komoditas.

Jika disimpulkan, ajang kecantikan seperti Miss Universe –dan yang sejenisnya– sesungguhnya merupakan ajang untuk mengeksploitasi dan sekaligus melecehkan kaum perempuan seolah-olah harga dirinya lebih terletak pada ”harga tubuhnya”. Meski ada yang mengatakan bahwa kontestasi kecantikan itu tidak hanya menitikberatkan pada kecantikan fisik (beauty) yang dinilai dari kemampuannya dalam merawat tubuh, yang diuji melalui body checking. Tetapi juga mengamati sisi ”brain” dengan melihat keluasan wawasan dan pengetahuannya dan behaviour yang tecermin dengan kepribadian yang khas perempuan Indonesia. Namun, tidak dimungkiri, ”tubuh” masih menjadi penentu dalam meraih predikat ”ratu”.

Namun, jika dicermati sedikit detail, brain dan behaviour tak lebih hanyalah selimut tipis yang tidak memiliki nilai fundamental sebagai penentu kontestan di ajang ratu-ratuan seperti itu. Padahal, kekuatan brain dan behaviour jauh lebih kekal jika dibandingkan dengan keunggulan beauty. Dan sejatinya harkat-martabat perempuan sebagai manusia –bukan sebagai benda– ada pada brain dan behaviour, bukan pada beauty. Ironisnya, brain dan behaviour masih diposisikan tak lebih dari ”sekadar” penunjang seorang perempuan untuk dikatakan cantik dan beauty adalah penentu kesempurnaannya.

Baca Juga :  Paradigma dan Visi Guru Penggerak

Stop Ajang Perendahan Martabat Perempuan

Kasus body checking di ajang Miss Universe Indonesia 2023 ini sudah masuk dalam ranah hukum. Apa pun alasannya, merekam atau memfoto seseorang tanpa busana –dan terlebih lagi yang difoto tidak dimintai persetujuan– merupakan tindakan yang tidak bisa dimaafkan. Pengambilan foto tanpa busana oleh orang-orang yang pada hakikatnya tidak dikenal itu merupakan bentuk kejahatan eksploitasi seksual yang tidak boleh mendapatkan toleransi. Lebih berbahaya lagi, foto-foto tersebut berpotensi disalahgunakan untuk melakukan kekerasan seksual dan pemerasan ekonomi kepada korban di waktu-waktu mendatang.

Perempuan bukan seonggok benda yang tidak berjiwa. Perempuan adalah manusia yang sama dengan laki-laki, yang memiliki kehormatan dan harga diri. Perempuan harus mendapatkan perlindungan hukum dan jaminan keselamatan dari ancaman eksploitasi dalam segala bentuk dan kemasan. Terlebih lagi eksploitasi seksual dan sensual. Dalam standar budaya Indonesia, hal-hal yang berbau seksual dan sensualitas sangat ditabukan untuk dieksploitasi dan dipublikasikan.

Sebagai bangsa yang bermartabat, yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya ketimuran yang agung dan luhur, sudah saatnya perempuan Indonesia selektif dalam menginisiasi maupun mengikuti kontestasi-kontestasi yang berpotensi eksploitatif. Ingat, tubuh bukan barang dagangan yang bisa diperjualbelikan secara murah. (*)

KONTES kecantikan perdana Miss Universe Indonesia 2023 telah menorehkan noda yang secara psikologis dampaknya sangat buruk, utamanya bagi yang terkena secara langsung. Tak berlebihan jika kemudian noda itu memantik emosi banyak pihak. Khususnya kaum perempuan yang merasa terlecehkan oleh kejadian tersebut.

Sebagaimana telah diberitakan Jawa Pos (8/8/2023), sejumlah kontestan di ajang itu diduga telah menjadi korban pelecehan seksual ketika diharuskan melakukan body checking (pemeriksaan tubuh) sebelum memasuki sesi grand final. Puluhan kontestan difoto dalam kondisi tanpa mengenakan busana. Parahnya, para kontestan tersebut ditodong untuk menanggalkan busana tidak di ruang privasi yang selayaknya. Padahal, di ruangan itu masih berlalu-lalang sejumlah laki-laki.

Dalam berita yang sama, Mellisa Anggraini selaku kuasa hukum korban mengungkapkan bahwa para kontestan ditekan untuk mengikuti arahan tanpa dimintai persetujuan. Yang membuat sebagian kontestan mengalami trauma adalah adanya pemeriksaan yang disertai pemotretan dalam kondisi tanpa busana.

Ironisnya, pemegang lisensi Miss Universe Indonesia 2023, yakni PT Capella Swastika Karya, lewat Poppy Capella selaku national director Miss Universe Indonesia terkesan tidak tahu-menahu. Dan dengan enteng mengaku mendapatkan informasi adanya kasus pelecehan itu dari media massa, yang kemudian pernyataan tersebut dibantah Rizky Ananda Musa selaku provider director Miss Universe Jawa Barat (Jawa Pos, 10/8/2023).

Tubuh sebagai Komoditas?

Hingga saat ini, tidak dimungkiri, tubuh perempuan masih menjadi hal prioritas daripada potensi-potensi lain yang melekat pada diri perempuan itu sendiri. Sebagian perempuan (dan mayoritas kaum laki-laki) masih menjadi komunitas terbesar dalam mengeksploitasi sekaligus memuji tubuh perempuan. Pemujaan dan eksploitasi tubuh pada perempuan tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial masyarakat kita yang masih dihegemoni oleh kekuatan patriarki.

Baca Juga :  Mengurai Kontroversi Al Zaytun

Ardhie Raditya dalam buku Sosiologi Tubuh (2014) menjelaskan, ketika tubuh menjadi komoditas, segala potensi tubuh dieksploitasi sebagai cara menarik perhatian, khususnya elemen-elemen ”sensualitas”. Itulah yang disebut teknokrasi sensualitas (technocracy of sensuality) di mana nilai tanda ”sensualitas” digunakan sebagai daya tarik komoditas yang sebetulnya tidak menarik. Teknokrasi sensualitas adalah mekanisme untuk mengendalikan pikiran konsumer melalui penampilan sensualitas.

Mengapa ada body checking dalam ajang Miss Universe Indonesia? Hal itu tidak bisa dilepaskan dari persepsi dan konsepsi bahwa tubuh perempuan menjadi pemain sentral, khususnya di hadapan laki-laki, dalam hiburan dan tontonan, tetapi tidak lebih dari subordinasi. Tubuh perempuan hanya menjadi objek untuk jadi pencipta daya tarik komoditas. Inilah strategi kapitalisme dalam menjalankan mesin produksi komoditas.

Jika disimpulkan, ajang kecantikan seperti Miss Universe –dan yang sejenisnya– sesungguhnya merupakan ajang untuk mengeksploitasi dan sekaligus melecehkan kaum perempuan seolah-olah harga dirinya lebih terletak pada ”harga tubuhnya”. Meski ada yang mengatakan bahwa kontestasi kecantikan itu tidak hanya menitikberatkan pada kecantikan fisik (beauty) yang dinilai dari kemampuannya dalam merawat tubuh, yang diuji melalui body checking. Tetapi juga mengamati sisi ”brain” dengan melihat keluasan wawasan dan pengetahuannya dan behaviour yang tecermin dengan kepribadian yang khas perempuan Indonesia. Namun, tidak dimungkiri, ”tubuh” masih menjadi penentu dalam meraih predikat ”ratu”.

Namun, jika dicermati sedikit detail, brain dan behaviour tak lebih hanyalah selimut tipis yang tidak memiliki nilai fundamental sebagai penentu kontestan di ajang ratu-ratuan seperti itu. Padahal, kekuatan brain dan behaviour jauh lebih kekal jika dibandingkan dengan keunggulan beauty. Dan sejatinya harkat-martabat perempuan sebagai manusia –bukan sebagai benda– ada pada brain dan behaviour, bukan pada beauty. Ironisnya, brain dan behaviour masih diposisikan tak lebih dari ”sekadar” penunjang seorang perempuan untuk dikatakan cantik dan beauty adalah penentu kesempurnaannya.

Baca Juga :  Paradigma dan Visi Guru Penggerak

Stop Ajang Perendahan Martabat Perempuan

Kasus body checking di ajang Miss Universe Indonesia 2023 ini sudah masuk dalam ranah hukum. Apa pun alasannya, merekam atau memfoto seseorang tanpa busana –dan terlebih lagi yang difoto tidak dimintai persetujuan– merupakan tindakan yang tidak bisa dimaafkan. Pengambilan foto tanpa busana oleh orang-orang yang pada hakikatnya tidak dikenal itu merupakan bentuk kejahatan eksploitasi seksual yang tidak boleh mendapatkan toleransi. Lebih berbahaya lagi, foto-foto tersebut berpotensi disalahgunakan untuk melakukan kekerasan seksual dan pemerasan ekonomi kepada korban di waktu-waktu mendatang.

Perempuan bukan seonggok benda yang tidak berjiwa. Perempuan adalah manusia yang sama dengan laki-laki, yang memiliki kehormatan dan harga diri. Perempuan harus mendapatkan perlindungan hukum dan jaminan keselamatan dari ancaman eksploitasi dalam segala bentuk dan kemasan. Terlebih lagi eksploitasi seksual dan sensual. Dalam standar budaya Indonesia, hal-hal yang berbau seksual dan sensualitas sangat ditabukan untuk dieksploitasi dan dipublikasikan.

Sebagai bangsa yang bermartabat, yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya ketimuran yang agung dan luhur, sudah saatnya perempuan Indonesia selektif dalam menginisiasi maupun mengikuti kontestasi-kontestasi yang berpotensi eksploitatif. Ingat, tubuh bukan barang dagangan yang bisa diperjualbelikan secara murah. (*)

Artikel Terkait

Bukan Bakso Mas Bejo

Adab Anak Punk

Kota Cantik Tak Baik-Baik Saja

Parade Umbar Janji

Terpopuler

Artikel Terbaru

/