Senin, November 25, 2024
26.6 C
Palangkaraya

Ricky Dwi Suhardi, Berbagi Pengalaman Mengikuti Pertukaran Pemuda Antarnegara (5)

Belajar Leadership di Singapura, Bangun Komunitas Pensil Kita

Ricky Dwi Suhardi berhasil membanggakan Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Indonesia secara umum. Tahun lalu ia terpilih dalam Program Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN). Ia dipercaya menjadi ketua kontingen Indonesia yang berangkat ke Singapura saat itu. Banyak pengalaman yang didapat di sana, lalu diimplementasikannya di Bumi Tambun Bungai.

 

MUTOHAROH, Palangka Raya

 

PPAN yang diikuti Ricky Dwi Suhardi yakni Singapura–Indonesia Youth Leaders Exchange Programme (SIYLEP).  SIYLEP merupakan program yang diadakan untuk memperkuat hubungan bilateral antara Singapura dan Indonesia melalui para pemuda. Ricky merupakan ketua kontingen Indonesia dalam program tahun itu.

Ricky mengaku pertama kali mengetahui informasi perihal PPAN dari sosialisasi. Setelah mencari tahu lebih dalam, pemuda kelahiran 10 Oktober 1998 itu memutuskan untuk ikut seleksi yang saat itu diselenggarakan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kalteng dan Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI) Kalteng tahun 2023. Kemudian ia dinyatakan lolos dan menjadi perwakilan Kalteng. Bersama 34 delegasi dari provinsi lain, Ricky pun berangkat ke Singapura.

“Uniknya program SIYLEP ada di leadership, biasanya orang yang terpilih untuk ikut SIYLEP merupakan orang pilihan dan rata-rata memiliki jiwa kepemimpinan,” kata Ricky.

Menurutnya program SIYLEP cukup menguras tenaga dan mental. Namun sangat menyenangkan, karena bisa berada di tengah pemuda-pemuda terbaik dari berbagai provinsi. Apalagi dalam kontingen Indonesia saat itu ada yang berprofesi sebagai dosen maupun orang yang profesional di bidangnya. “Yang terpenting, ada banyak hal yang bisa dipelajari dari program ini,” ujarnya.

Bagi anak pertama dari tiga bersaudara itu, mengikuti seleksi PPAN diawali dari niatnya untuk mengetes kemampuan dan menggali potensi dalam diri. Seleksi yang cukup panjang dan menguras tenaga dan pikiran itu akhirnya bisa dilewatinya. Menurut Ricky, seleksi PPAN melihat kegigihan belajar dari para peserta, karena ada 7 tes yang harus dilewati yang tentunya menguras tenaga dan pikiran.

Mengemban tugas sebagai ketua kontingen Indonesia dalam program SIYLEP bukanlah hal yang mudah. Mahasiswa program pendidikan Bahasa Inggris itu mengatakan, bahwa orang yang terpilih untuk mengikuti program SIYLEP umumnya sangat terampil di bidang masing-masing. Sebagian besar yang terpilih ikut SIYLEP merupakan orang yang dominan. Baginya, tantangan terberat adalah menyatukan pendapat dari 34 orang yang merupakan perwakilan terbaik dari tiap provinsi.

Baca Juga :  Dimotivasi Sang Ayah, Tiap Hari Setor Hafalan ke Ibu

Sebagai ketua kontingen, Ricky hanya menekankan satu hal pada semua anggota bahwa keputusan akhir yang telah dipilih harus didukung, meski ada kemungkinan tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Sebab, dalam mengambil suatu keputusan, sudah tentu akan ada pro dan kontra.

“Menyatukan pendapat itu yang paling susah, karena pasti harus menyatukan pemikiran berbeda dari 34 orang, tiap akan mengambil suatu keputusan, tentu ada banyak pertimbangan, kalau misalnya masih bisa musyawarah, demokrasi dan voting, pasti itu akan lakukan. Hal yang selalu saya tekankan adalah meminta rekan-rekan agar kiranya dapat mendukung keputusan final, meski keputusan itu bisa saja tidak meyenangkan untuk bagi sebagian pihak, bagaimana pun harus memberikan yang terbaik untuk kontingen, saya pun berusaha menjadi ketua kontingen yang dapat mengambil keputusan yang baik,” jelas Ricky.

Sebelum berangkat ke Singapura, Ricky besama peserta lain telah diberi pelatihan secara daring dalam fase base forming workshop dari Mei hingga Juli tiap akhir pekan dan pelatihan pra-keberangkatan selama 3 hari sebelum keberangkatan kontingen ke Singapura. Baginya, kultur Indonesia dan Singapura tidak jauh berbeda. Namun ada dua hal yang sangat mencolok perbedaannya.

“Orang Singapura itu terbiasa jalan kaki, sedangkan kita terbiasa naik motor atau kendaraan lain, sampai sana ke mana-mana kami harus jalan kaki, dan jalan mereka itu cukup cepat, ada yang badannya lebih kecil dari aku tapi jalannya lebih cepat dari aku. Kedua, budaya pemuda mereka yang tidak merokok di tempat umum, mereka enggak akan merokok sampai mereka menemukan tanda boleh merokok. Kalau makanannya, kayaknya emang lidah saya yang enggak cocok sama makanan di sana, jadi selama di sana saya kangen dengan makanan Indonesia,” tambahnya.

Seminggu berada di Singapura, bisa dibilang sangat menyenangkan dan berkesan, meski kegiatannya cukup padat. Seperti berkunjung ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura dan berkesempatan bertemu langsung dengan Duta Besar Indonesia untuk Singapura Suryopratomo, lalu berkunjung Bird Paradise yang merupakan salah satu tempat wisata ikonik yang dikenal juga dengan sebutan taman burung terbesar di Asia, karena berbagai jenis burung ditemui di sana.

Baca Juga :  Negara Paling Dermawan

Selain itu kontingen juga mengunjungi Red Box yang merupakan tempat perkumpulan para relawan di Singapura, yang mana relawan itu diberikan berbagai pelatihan dan ruang untuk belajar serta saling berdiskusi. Hal itu juga sesuai dengan tema yang diangkat yaitu Youth Volunteerism atau Kesukarelawanan Pemuda, sehingga kegiatannya lebih berfokus pada kegiatan kesukarelawanan.

“Sepulang dari Singapura, tentu ada banyak hal yang kami dapatkan, mulai dari ilmu, pengalaman, hingga relasi yang baik. Di sana saya belajar tentang bagaimana menjadi seorang yang bisa memimpin, karena mendapatkan pembelajaran tentang leadership dan kesukarelawanan. Pengalaman yang tidak terlupakan selama di sana adalah saat kami melakukan kegiatan kesukarelawanan. Saya kebagian untuk membagikan daging di flat house atau rumah susun yang dihuni masyarakat berekonomi menengah ke bawah dari berbagai latar belakang, itu pengalaman yang tidak terlupakan,” ungkapnya.

Kini Ricky telah berhasil membangun sebuah komunitas yang dinamakan Pensil Kita. Komunitas ini bergerak di bidang literasi dan lingkungan. Pengalaman yang didapatnya selama mengikuti program SIYLEP diterapkan dalam komunitas ini. Salah satunya menyangkut manajemen kesukarelawanan.

“Ide mendirikan komunitas itu muncul saat aku ikut PPAN di Singapura, yang mana komunitas ini berfokus pada bidang literasi dan lingkungan,” katanya.

“Awal November hingga Desember 2023 akhir kami masih diskusikan, barulah pada Januari 2024 kami berani untuk memulai kegiatan membaca yang namanya “Sua Baca Bagi”, yang mana kami membaca buku lalu melakukan diskusi bersama terkait isi buku yang dibaca itu, dengan bertujuan mempromosikan gerakan membaca dan meningkatkan indek literasi membaca. Sejauh ini komunitas kami belum begitu besar. Kami fokus di bidang literasi, dengan mayoritas anggota berdomisili di Kota Palangka Raya, jadi kami fokuskan di kota dulu. Tentu dan harapan bisa meluas ke seluruh Kalteng,” pungkasnya. (*bersambung/ce/ala)

Ricky Dwi Suhardi berhasil membanggakan Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Indonesia secara umum. Tahun lalu ia terpilih dalam Program Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN). Ia dipercaya menjadi ketua kontingen Indonesia yang berangkat ke Singapura saat itu. Banyak pengalaman yang didapat di sana, lalu diimplementasikannya di Bumi Tambun Bungai.

 

MUTOHAROH, Palangka Raya

 

PPAN yang diikuti Ricky Dwi Suhardi yakni Singapura–Indonesia Youth Leaders Exchange Programme (SIYLEP).  SIYLEP merupakan program yang diadakan untuk memperkuat hubungan bilateral antara Singapura dan Indonesia melalui para pemuda. Ricky merupakan ketua kontingen Indonesia dalam program tahun itu.

Ricky mengaku pertama kali mengetahui informasi perihal PPAN dari sosialisasi. Setelah mencari tahu lebih dalam, pemuda kelahiran 10 Oktober 1998 itu memutuskan untuk ikut seleksi yang saat itu diselenggarakan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kalteng dan Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI) Kalteng tahun 2023. Kemudian ia dinyatakan lolos dan menjadi perwakilan Kalteng. Bersama 34 delegasi dari provinsi lain, Ricky pun berangkat ke Singapura.

“Uniknya program SIYLEP ada di leadership, biasanya orang yang terpilih untuk ikut SIYLEP merupakan orang pilihan dan rata-rata memiliki jiwa kepemimpinan,” kata Ricky.

Menurutnya program SIYLEP cukup menguras tenaga dan mental. Namun sangat menyenangkan, karena bisa berada di tengah pemuda-pemuda terbaik dari berbagai provinsi. Apalagi dalam kontingen Indonesia saat itu ada yang berprofesi sebagai dosen maupun orang yang profesional di bidangnya. “Yang terpenting, ada banyak hal yang bisa dipelajari dari program ini,” ujarnya.

Bagi anak pertama dari tiga bersaudara itu, mengikuti seleksi PPAN diawali dari niatnya untuk mengetes kemampuan dan menggali potensi dalam diri. Seleksi yang cukup panjang dan menguras tenaga dan pikiran itu akhirnya bisa dilewatinya. Menurut Ricky, seleksi PPAN melihat kegigihan belajar dari para peserta, karena ada 7 tes yang harus dilewati yang tentunya menguras tenaga dan pikiran.

Mengemban tugas sebagai ketua kontingen Indonesia dalam program SIYLEP bukanlah hal yang mudah. Mahasiswa program pendidikan Bahasa Inggris itu mengatakan, bahwa orang yang terpilih untuk mengikuti program SIYLEP umumnya sangat terampil di bidang masing-masing. Sebagian besar yang terpilih ikut SIYLEP merupakan orang yang dominan. Baginya, tantangan terberat adalah menyatukan pendapat dari 34 orang yang merupakan perwakilan terbaik dari tiap provinsi.

Baca Juga :  Dimotivasi Sang Ayah, Tiap Hari Setor Hafalan ke Ibu

Sebagai ketua kontingen, Ricky hanya menekankan satu hal pada semua anggota bahwa keputusan akhir yang telah dipilih harus didukung, meski ada kemungkinan tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Sebab, dalam mengambil suatu keputusan, sudah tentu akan ada pro dan kontra.

“Menyatukan pendapat itu yang paling susah, karena pasti harus menyatukan pemikiran berbeda dari 34 orang, tiap akan mengambil suatu keputusan, tentu ada banyak pertimbangan, kalau misalnya masih bisa musyawarah, demokrasi dan voting, pasti itu akan lakukan. Hal yang selalu saya tekankan adalah meminta rekan-rekan agar kiranya dapat mendukung keputusan final, meski keputusan itu bisa saja tidak meyenangkan untuk bagi sebagian pihak, bagaimana pun harus memberikan yang terbaik untuk kontingen, saya pun berusaha menjadi ketua kontingen yang dapat mengambil keputusan yang baik,” jelas Ricky.

Sebelum berangkat ke Singapura, Ricky besama peserta lain telah diberi pelatihan secara daring dalam fase base forming workshop dari Mei hingga Juli tiap akhir pekan dan pelatihan pra-keberangkatan selama 3 hari sebelum keberangkatan kontingen ke Singapura. Baginya, kultur Indonesia dan Singapura tidak jauh berbeda. Namun ada dua hal yang sangat mencolok perbedaannya.

“Orang Singapura itu terbiasa jalan kaki, sedangkan kita terbiasa naik motor atau kendaraan lain, sampai sana ke mana-mana kami harus jalan kaki, dan jalan mereka itu cukup cepat, ada yang badannya lebih kecil dari aku tapi jalannya lebih cepat dari aku. Kedua, budaya pemuda mereka yang tidak merokok di tempat umum, mereka enggak akan merokok sampai mereka menemukan tanda boleh merokok. Kalau makanannya, kayaknya emang lidah saya yang enggak cocok sama makanan di sana, jadi selama di sana saya kangen dengan makanan Indonesia,” tambahnya.

Seminggu berada di Singapura, bisa dibilang sangat menyenangkan dan berkesan, meski kegiatannya cukup padat. Seperti berkunjung ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura dan berkesempatan bertemu langsung dengan Duta Besar Indonesia untuk Singapura Suryopratomo, lalu berkunjung Bird Paradise yang merupakan salah satu tempat wisata ikonik yang dikenal juga dengan sebutan taman burung terbesar di Asia, karena berbagai jenis burung ditemui di sana.

Baca Juga :  Negara Paling Dermawan

Selain itu kontingen juga mengunjungi Red Box yang merupakan tempat perkumpulan para relawan di Singapura, yang mana relawan itu diberikan berbagai pelatihan dan ruang untuk belajar serta saling berdiskusi. Hal itu juga sesuai dengan tema yang diangkat yaitu Youth Volunteerism atau Kesukarelawanan Pemuda, sehingga kegiatannya lebih berfokus pada kegiatan kesukarelawanan.

“Sepulang dari Singapura, tentu ada banyak hal yang kami dapatkan, mulai dari ilmu, pengalaman, hingga relasi yang baik. Di sana saya belajar tentang bagaimana menjadi seorang yang bisa memimpin, karena mendapatkan pembelajaran tentang leadership dan kesukarelawanan. Pengalaman yang tidak terlupakan selama di sana adalah saat kami melakukan kegiatan kesukarelawanan. Saya kebagian untuk membagikan daging di flat house atau rumah susun yang dihuni masyarakat berekonomi menengah ke bawah dari berbagai latar belakang, itu pengalaman yang tidak terlupakan,” ungkapnya.

Kini Ricky telah berhasil membangun sebuah komunitas yang dinamakan Pensil Kita. Komunitas ini bergerak di bidang literasi dan lingkungan. Pengalaman yang didapatnya selama mengikuti program SIYLEP diterapkan dalam komunitas ini. Salah satunya menyangkut manajemen kesukarelawanan.

“Ide mendirikan komunitas itu muncul saat aku ikut PPAN di Singapura, yang mana komunitas ini berfokus pada bidang literasi dan lingkungan,” katanya.

“Awal November hingga Desember 2023 akhir kami masih diskusikan, barulah pada Januari 2024 kami berani untuk memulai kegiatan membaca yang namanya “Sua Baca Bagi”, yang mana kami membaca buku lalu melakukan diskusi bersama terkait isi buku yang dibaca itu, dengan bertujuan mempromosikan gerakan membaca dan meningkatkan indek literasi membaca. Sejauh ini komunitas kami belum begitu besar. Kami fokus di bidang literasi, dengan mayoritas anggota berdomisili di Kota Palangka Raya, jadi kami fokuskan di kota dulu. Tentu dan harapan bisa meluas ke seluruh Kalteng,” pungkasnya. (*bersambung/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/