Jumat, November 22, 2024
25.1 C
Palangkaraya

Saat Kunjungan Menteri LHK RI, Masyarakat Kinipan Menuntut Hal Ini

NANGA BULIKDi hadapan Menteri LHK Siti Nurbaya, tokoh adat Kinipan, Effendi Buhing, mengungkapkan bahwa sudah bertahun-tahun masyarakat setempat memperjuangkan pengakuan wilayah adat.

Masyarakat juga sudah melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif. Namun hingga saat ini, pengakuan itu tak kunjung didapatkan dari pemerintah daerah.

“Dalam memperjuangkan hutan adat, kami juga sudah mengusulkan untuk mendapatkan surat keputusan (SK) hutan adat seluas 10 ribu hektare ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK),” ujarnya dalam sesi dialog penyambutan Menteri LHK dan rombongan Bezos Earth Fund (BEF) di Desa Kinipan, Sabtu (7/9).

Sejauh ini, kata Buhing, yang sudah pihaknya terima adalah SK pencadangan hutan adat yang seluas 6.800 ha. Namun, hingga saat ini, SK pencadangan itu pun belum diverifikasi di lapangan. Dalam peta SK tersebut juga terdapat kebun dan ladang masyarakat.

Saat itu ada lahan konsesi yang masuk dalam wilayah dan hutan adat seluas 5.000 ha. Seluas 1.700 ha di antaranya sudah digarap perusahaan.

Baca Juga :  Pendapatan Pemprov Kalteng Melebihi Target

Effendi Buhing mewakili masyarakat adat Kinipan memohon kepada KLHK untuk meninjau ulang izin tersebut dan dicabut demi mencegah konflik permanen.

“Pencabutan izin itu penting, karena wilayah tersebut merupakan bagian dari ruang hidup kami masyarakat adat Kinipan dan potensial untuk dijadikan hutan adat,” tegasnya.

Mereka juga meminta agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamandau dan KLHK segera memberi pengakuan subjek hukum masyarakat adat Kinipan, kemudian memberikan pengakuan wilayah adat dan mengesahkan hutan adatnya.

Satu kendala yang pihaknya hadapi dalam upaya pengakuan wilayah adat, lanjut dia, adalah tata batas Kinipan dengan Karangtaba yang diputuskan secara sepihak oleh Bupati Lamandau Hendra Lesmana.

Keputusan sepihak itu, kata Buhing, bukan hanya terkait dengan Karangtaba, tetapi juga merusak kesepakatan tata batas dengan Desa Suja dan Kelurahan Tapinbini.

“Kami meminta pemerintah daerah menyelesaikan konflik tata batas dengan memfasilitasi para pihak (desa) terkait untuk duduk bersama menyelesaikan konflik ini. Selama ini kami sudah berupaya meminta duduk bersama, tetapi belum terealisasi,” ungkap pria berusia 55 tahun itu.

Baca Juga :  Kapolda: Personel Harus Siap dan Siaga

Berkaitan dengan agenda kunjungan tersebut, Buhing juga meminta KLHK yang punya maksud baik untuk mempercepat penguatan masyarakat adat, agar benar-benar melibatkan secara aktif masyarakat Kinipan, terutama menyangkut kesejarahan, tata batas, dan lainnya.

“Kami minta agar pengakuan dan penetapan masyarakat adat beserta wilayah tenurialnya ditetapkan segera melalui SK Bupati Lamandau, yang setelahnya ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan Kabupaten Lamandau,” ujarnya.

Buhing menegaskan, jika pengakuan dan penetapan hutan adat sudah terlaksana, mereka ingin segala perencanaan yang bersinggungan dengan hutan adat Kinipan itu dimulai dan dilaksanakan melalui persetujuan mereka.

Program apa pun dari luar maupun dalam negeri, kata Buhing, harus disesuaikan dengan keinginan masyarakat adat setempat.

“Kami tidak ingin menjadi karyawan di tanah kami sendiri, melainkan tuan di tanah warisan leluhur kami,” ucapnya.

Pihaknya meminta komitmen pemerintah daerah untuk membantu dan bersama-sama masyarakat adat Kinipan mengembangkan pengelolaan wilayah adat, meliputi bidang sosial, budaya, ekonomi, dan keamanan. (*/ce/ala)

NANGA BULIKDi hadapan Menteri LHK Siti Nurbaya, tokoh adat Kinipan, Effendi Buhing, mengungkapkan bahwa sudah bertahun-tahun masyarakat setempat memperjuangkan pengakuan wilayah adat.

Masyarakat juga sudah melakukan pemetaan wilayah adat secara partisipatif. Namun hingga saat ini, pengakuan itu tak kunjung didapatkan dari pemerintah daerah.

“Dalam memperjuangkan hutan adat, kami juga sudah mengusulkan untuk mendapatkan surat keputusan (SK) hutan adat seluas 10 ribu hektare ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK),” ujarnya dalam sesi dialog penyambutan Menteri LHK dan rombongan Bezos Earth Fund (BEF) di Desa Kinipan, Sabtu (7/9).

Sejauh ini, kata Buhing, yang sudah pihaknya terima adalah SK pencadangan hutan adat yang seluas 6.800 ha. Namun, hingga saat ini, SK pencadangan itu pun belum diverifikasi di lapangan. Dalam peta SK tersebut juga terdapat kebun dan ladang masyarakat.

Saat itu ada lahan konsesi yang masuk dalam wilayah dan hutan adat seluas 5.000 ha. Seluas 1.700 ha di antaranya sudah digarap perusahaan.

Baca Juga :  Pendapatan Pemprov Kalteng Melebihi Target

Effendi Buhing mewakili masyarakat adat Kinipan memohon kepada KLHK untuk meninjau ulang izin tersebut dan dicabut demi mencegah konflik permanen.

“Pencabutan izin itu penting, karena wilayah tersebut merupakan bagian dari ruang hidup kami masyarakat adat Kinipan dan potensial untuk dijadikan hutan adat,” tegasnya.

Mereka juga meminta agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamandau dan KLHK segera memberi pengakuan subjek hukum masyarakat adat Kinipan, kemudian memberikan pengakuan wilayah adat dan mengesahkan hutan adatnya.

Satu kendala yang pihaknya hadapi dalam upaya pengakuan wilayah adat, lanjut dia, adalah tata batas Kinipan dengan Karangtaba yang diputuskan secara sepihak oleh Bupati Lamandau Hendra Lesmana.

Keputusan sepihak itu, kata Buhing, bukan hanya terkait dengan Karangtaba, tetapi juga merusak kesepakatan tata batas dengan Desa Suja dan Kelurahan Tapinbini.

“Kami meminta pemerintah daerah menyelesaikan konflik tata batas dengan memfasilitasi para pihak (desa) terkait untuk duduk bersama menyelesaikan konflik ini. Selama ini kami sudah berupaya meminta duduk bersama, tetapi belum terealisasi,” ungkap pria berusia 55 tahun itu.

Baca Juga :  Kapolda: Personel Harus Siap dan Siaga

Berkaitan dengan agenda kunjungan tersebut, Buhing juga meminta KLHK yang punya maksud baik untuk mempercepat penguatan masyarakat adat, agar benar-benar melibatkan secara aktif masyarakat Kinipan, terutama menyangkut kesejarahan, tata batas, dan lainnya.

“Kami minta agar pengakuan dan penetapan masyarakat adat beserta wilayah tenurialnya ditetapkan segera melalui SK Bupati Lamandau, yang setelahnya ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan Kabupaten Lamandau,” ujarnya.

Buhing menegaskan, jika pengakuan dan penetapan hutan adat sudah terlaksana, mereka ingin segala perencanaan yang bersinggungan dengan hutan adat Kinipan itu dimulai dan dilaksanakan melalui persetujuan mereka.

Program apa pun dari luar maupun dalam negeri, kata Buhing, harus disesuaikan dengan keinginan masyarakat adat setempat.

“Kami tidak ingin menjadi karyawan di tanah kami sendiri, melainkan tuan di tanah warisan leluhur kami,” ucapnya.

Pihaknya meminta komitmen pemerintah daerah untuk membantu dan bersama-sama masyarakat adat Kinipan mengembangkan pengelolaan wilayah adat, meliputi bidang sosial, budaya, ekonomi, dan keamanan. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/