Oleh; Agus Pramono
EMPAT orang anak punk menghampiri warung bakso. Pakaiannya serba hitam. Dekil. Rambutnya ada yang ikal. Bertato. “Permisi, maaf mengganggu waktu makannya.” Begitu ucapan yang pertama kali ke luar dari mulutnya diiringi suara petikan gitar kecil.
Dia menyanyi. Saya mendengarkan. Menyimak. Kebetulan, bakso tanpa mie dan sayur yang saya pesan belum datang. Hehehe
Mereka mengkritik melalui lirik. Berbau politik. Mengkritik kebijakan pemerintah.
Mengkritik tingkah laku wakilnya yang duduk di kursi legislatif. Ya, begitulah anak punk. Mereka punya cara sendiri dalam menyampaikan aspirasi.
Satu lagu selesai. Satu dari mereka berjalan dari meja satu ke meja lainnya. Menyodorkan tangannya yang memegang kantong plastik. Bekas jajanan.
Badan pemuda itu sedikit membungkuk. Senyum tipis. Berharap uang receh. Ada yang memberi. Ada yang tidak. Entah berapa uang yang didapat dalam satu lagu itu.
Di penghujung lirik, mereka tak malu menatap wajah semua orang secara bergilirian. Menyempatkan untuk mengucap salam. Berterima kasih sudah diberi uang recehan.
Tak lupa, mereka mendoakan orang yang ada di warung bakso itu selalu diberi kesehatan dan rezeki. Tak terkecuali kepada orang yang enggak beri uang recehan.
Diiringi petikan gitar, doa itu begitu lantang diucapkan. Saya pun mengamini. Siapa tahu, Tuhan mengabulkan doa anak-anak punk itu. Allahhualam.
Dari pemandangan itu, saya lagi-lagi diajarkan soal adab. Wajah mereka boleh kusam. Pakaian boleh compang-camping. Tapi, saya yakin, orang tuanya pernah mengajarkan adab ketika masih bocah.
Adab merupakan ekspresi yang lahir dari watak manusia. Contohnya ya momen lima menit yang saya lihat dari perilaku anak-anak punk itu.
Meski berpakaian lusuh, mereka datang dengan sikap yang menghormati, menghibur dengan alunan gitar dan nada yang menggugah jiwa.
Setelah mendapat rezeki, melangkah pergi dengan tetap beretika. Tidak sludar sludur, kata orang Jawa. Mereka pun meninggalkan jejak kesan yang mendalam di hati saya.(*)
*) Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos