PALANGKA RAYA-Ramadan bukan sekadar bulan penuh berkah bagi umat Islam, tetapi juga momentum strategis untuk membangun kesadaran kolektif dalam menciptakan lingkungan yang lebih ramah anak.
Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, yakni 87,08% atau sekitar 245,97 juta jiwa (Data Ditjen Dukcapil Kemendagri, semester I 2024).
Dengan demikian, bulan suci ini menjadi kesempatan emas untuk memperkuat nilai-nilai pengasuhan, pendidikan, dan kesejahteraan anak.
Namun, di balik keberkahan Ramadan, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam hal perlindungan anak.
Data menunjukkan bahwa masih banyak anak yang mengalami pengasuhan tidak layak, gangguan kesehatan mental, serta kekerasan di lingkungan keluarga, sekolah, maupun secara daring.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aris Adi Leksono, menyoroti betapa seriusnya tantangan yang dihadapi anak-anak Indonesia saat ini.
Menurutnya, jika situasi ini terus dibiarkan, impian membangun generasi emas Indonesia hanya akan menjadi angan-angan belaka.
“Kondisi pengasuhan, kesehatan mental, dan perlindungan anak di Indonesia masih jauh dari ideal. Ramadan seharusnya menjadi momentum bagi keluarga untuk lebih dekat dengan anak, bukan justru makin abai terhadap mereka,” ucapnya, Minggu (2/3/2025).
Bahkan, kata Aris, berbagai data mengungkap kondisi yang mengkhawatirkan, seperti pengasuhan yang tidak memadai.
Ia mengatakan, 2,85% balita mengalami pengasuhan yang tidak layak. Lalu, 3,59% anak tidak tinggal bersama orang tua, sementara 12,25% anak tidak makan atau belajar bersama orang tua/wali (Susenas 2022-2023).
“Kondisi ini menunjukkan kurangnya afeksi dalam keluarga, yang dapat memicu meningkatnya angka perceraian serta krisis moral dan karakter anak,” tuturnya.
Kondisi lainnya adalah krisis kesehatan mental anak. Tercatat, 1 dari 3 anak usia 10-17 tahun mengalami masalah kesehatan mental, serta 1 dari 20 remaja mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey 2023).
“Tekanan mental yang tidak tertangani membuat anak lebih rentan terhadap kekerasan, baik sebagai korban maupun pelaku,” ungkapnya.
Lebih memprihatinkan lagi, jumlah tindak kekerasan anak meningkat. Ada 30 dari 100 anak usia 13-17 tahun mengalami kekerasan emosional dalam setahun terakhir (SNPHAR 2024).
Bahkan, dalam periode 2020-2024, KPAI menerima 23.089 aduan kasus pelanggaran perlindungan anak, dengan rincian 51,1% kasus terjadi di lingkungan keluarga, 15,9% terjadi di lingkungan pendidikan, dan 33% berupa kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan daring.
Lebih tragis lagi, sepanjang tahun 2024, 46 anak mengakhiri hidup mereka akibat tekanan mental dan kondisi sosial yang tidak kondusif.
“Jika kita tidak segera bertindak, situasi ini akan menjadi ancaman nyata bagi masa depan bangsa. Bonus demografi yang kita harapkan bisa berubah menjadi bencana sosial,” tegas Aris.
Oleh sebab itu, ia menekankan bahwa momen Ramadan merupakan peluang emas membangun keluarga yang lebih ramah anak.
Lebih lanjut ia menyampaikan, di tengah berbagai tantangan itu, Ramadan membawa peluang besar untuk menciptakan perubahan nyata dalam pola pengasuhan dan perlindungan anak.
“Suasana spiritual yang tinggi, waktu berkumpul keluarga yang lebih banyak, serta meningkatnya kepedulian sosial dapat dimanfaatkan untuk membangun kebiasaan positif yang berdampak jangka panjang bagi tumbuh kembang anak,” tambahnya.
Ia menyebut sejumlah langkah yang dapat dilakukan selama Ramadan untuk membangun lingkungan yang lebih ramah anak.
Pertama, meningkatkan kualitas waktu bersama. Ramadan menghadirkan lebih banyak momen kebersamaan, terutama saat sahur dan berbuka.
Orang tua bisa memanfaatkan waktu ini untuk lebih banyak berkomunikasi dengan anak, mendengarkan keluh kesah mereka, serta memperkuat ikatan emosional dalam keluarga.
Kedua, pendidikan nilai dan pembentukan karakter. Ramadan adalah waktu yang tepat untuk mengajarkan anak tentang nilai-nilai kehidupan, seperti kesabaran, empati, dan berbagi. Orang tua dapat mengenalkan makna puasa dan pentingnya berbuat baik kepada sesama.
Ketiga, mengajak anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Mengajak anak berbagi dengan sesama, seperti membagikan makanan kepada yang membutuhkan, dapat menumbuhkan rasa kepedulian dan tanggung jawab sosial dalam diri mereka.
Keempat, nemberikan dukungan emosional dan moral. Orang tua harus lebih terbuka dalam memberikan dukungan emosional kepada anak, membangun rasa percaya diri mereka, serta mengajarkan pentingnya toleransi dan saling menghormati.
Kelima, membangun rutinitas sehat dan seimbang. Ramadan bisa menjadi momen untuk memperkenalkan kebiasaan baik, seperti pola makan sehat, tidur yang cukup, serta pengurangan penggunaan gadget secara berlebihan.
Keenam, mendorong kemandirian anak. Orang tua dapat membimbing anak untuk membuat keputusan sendiri, seperti kapan mereka siap berpuasa dan bagaimana mereka ingin berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan.
“Jika mayoritas keluarga muslim di Indonesia benar-benar berkomitmen menjadikan Ramadan sebagai momentum membangun pola pengasuhan yang lebih baik, maka kita dapat melahirkan generasi yang lebih kuat, sehat secara mental, dan memiliki karakter yang baik,” jelasnya.
Dengan memperkuat nilai-nilai keagamaan, kedekatan keluarga, serta kepedulian sosial, Ramadan bukan hanya menjadi ibadah pribadi, tetapi juga langkah konkret dalam membangun bangsa yang lebih baik.
“Kita harus menjadikan Ramadan bukan hanya sebagai bulan ibadah, tetapi juga momentum kebangkitan keluarga Indonesia dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak kita. Jika kita semua berperan, maka generasi emas bukan sekadar impian, tetapi bisa kita wujudkan,” pungkasnya. (ovi/ce/ala)