Rabu, Maret 12, 2025
25.7 C
Palangkaraya

Kadisbun Kalteng 2012-2020;Birokrasi Banyak Meja Buat Investor Sawit Serbasalah

PALANGKA RAYA-Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) saat ini menginjakkan kaki di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Mereka melakukan penindakan tegas berupa penyitaan lahan sawit yang diduga merambah hutan dan melakukan alih fungsi menjadi perkebunan sawit.

Rawing Rambang turut membuka suara terkait penindakan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2025 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2025 itu.

Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalteng periode 2012-2020 itu tetap melihat dengan kaca mata positif.

Artinya, dia meyakini dan percaya satgas akan bekerja profesional. Mereka punya pemahaman undang-undang, dan tentunya bisa melihat sisi positif dan negatif di tengah masyarakat.

“Tidak mungkin dengan situasi ekonomi dunia seperti ini (kurang baik, red), mereka bertindak serampangan, pasti melihat dampaknya juga,” ucapnya saat berbincang dengan Kalteng Pos di Kantor Gapki Kalteng, Senin sore (10/3/2025).

Pria yang pernah menjabat Kepala Biro Ekonomi Setda Kalteng periode 2011-2012 itu memilih menyoroti ihwal tumpang tindih kebijakan.

Industri sawit punya kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Namun, industri ini belum bisa mengoptimalkan potensinya, lantaran pengelolaan dan regulasinya menyangkut belasan kementerian atau lembaga negara.

“Kita terlalu banyak birokrasi, misalnya bila tanah urusan BPN, budi daya urusan Kementerian Pertanian, begitu juga hutan. Belum lagi mau kirim ekspor, urusan Kementerian Perdagangan. Pengurusan HGU harus ke kementerian ini, kementerian itu. Dan ini kadang-kadang aturannya berbeda. Itu hanya contoh,” katanya panjang.

Akibatnya, pengambilan kebijakan kurang cepat dan regulasi yang ada sering kali tumpang tindih satu institusi dengan lainnya.

“Saya pernah di Thailand. Di sana, dari tanam sampai ekspor urusannya satu kementerian. Itu satu meja. Sederhana. Sedangkan di Indonesia, ada berapa kementerian dan lembaga yang harus dilalui. Belum lagi memakan waktu yang lama,” ungkapnya.

Rawing pun menceritakan secara singkat sejarah sawit di Kalteng. Berdasarkan Perda Kalteng Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), wilayah Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain (KPPL) tidak membutuhkan pelepasan kawasan.

Baca Juga :  Gapki Komitmen Berkontribusi Membangun Kalteng

Lalu, di wilayah Kotawaringin Timur (Kotim), Seruyan, dan Kotawaringin Barat (Kobar) ramai-ramai orang investasi di sektor perkebunan sawit.

Setelah itu, keluarlah SK Menhut Nomor 529 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor:759/KPTS-UM/10/1982 tentang Penunjukan Areal Hutan.

Lalu, ada lagi PP Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP Nomor 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Salah satu poinnya, pemegang izin wajib tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti yang bukan kawasan hutan.

“Intinya, disebut dalam SK itu, wilayah KPP dan KPPR, perlu pelepasan kawasan. Itulah yang ramai berkembang, sehingga banyak perusahaan yang berusaha mengikuti aturan itu,” ungkap pria yang sudah tiga dekade bergelut di bidang perkebunan.

Waktu itu, dirinya menjabat sebagai Kadisbun di bawah pemerintahan Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang. Pihaknya berusaha supaya perusahaan perkebunan itu clean and clear. Artinya, beraktivitas di wilayah KPP atau APL saja.

“Namun, banyak perusahaan yang sudah terlanjur menanam di kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Ini yang terjadi,” ungkapnya seraya mengatakan momen itu berlanjut terus sampai keluarnya Perda Kalteng Nomor 5 Tahun 2015 tentang RTRWP.

Lahan yang bisa dipakai untuk perkebunan dan sektor lain hanya kebagian 17,6 persen dari total luas Kalteng.

Proses untuk menuju clean and clear juga tidak gampang. Proses izinnya ribet, dan sampai akhirnya keluarlah Undang-Undang Cipta Kerja.

“Undang-Undang Cipta Kerja belum tuntas, muncul lagi Perpres Nomor 5 Tahun 2025,” celetuk pria yang meraih gelar Sarjana Pertanian di Unlam tahun 1987 itu.

Perpres Nomor 5 Tahun 2025 bertujuan menertibkan kawasan hutan yang digunakan secara ilegal.

Sanksi administratif berupa denda dikenakan kepada pelaku pelanggaran penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Denda administratif yakni pembebanan kewajiban bagi pelaku pelanggaran untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu.

Baca Juga :  Empat Pekerja Sawit di Kobar Tersambar Petir, Dua Tewas, Dua Dirawat

Lalu, keluarlah SK Menhut Nomor 36 Tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan. SK itu menjadi dasar hukum penindakan Satgas PKH.

“Kalau sudah begini, pelaku usaha bisa apa? Intinya apa kata pemerintah. Karena pemerintah itu sebagai stabilator, dinamisator, dan regulator pembangunan,” kata pria yang mendapat gelar S-2 Ekonomi Pertanian di Universitas Brawijaya itu.

“Kelihatannya begitu, UU Cipta Kerja kalah dengan perpres. Perpres itu baru tanggal 21 Januari. Kita yang namanya pelaku usaha atau pun masyarakat, karena masyarakat yang memiliki lahan dengan luas di atas 20 hektare harus ada Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan. Itu aturan dari pemerintah,” tambahnya.

Pria yang mendapat gelar S-3 Bidang Lingkungan di UPR itu meyakini Presiden Prabowo dan tim tidak sembarangan dalam membuat peraturan. Presiden tentu mempertimbangkan banyak aspek.

“Kalau misalnya aturannya begini, tetapi akan menyebabkan ekonomi runtuh, mungkin itu juga dipertimbangkan beliau. Misal, akan ada banyak pengurangan tenaga kerja,” sebutnya.

Apabila satgas menyegel semua perusahaan yang ada di SK Menhut, lantas bagaimana nanti kamtibmas di lokasi?

Rawing tidak ingin berandai-andai. Satgas PKH itu diketuai Menteri Pertahanan dan wakilnya adalah Jaksa Agung. Mereka orang-orang yang memiliki kompetensi.

“Jadi kami berharap, tindakan mereka selalu terukur, memperhatikan dampak-dampaknya, stabilitas ekonomi, politik, dan sosial. Jangan sampai menimbulkan dampak negatif bagi negara di tengah perekonomian dunia yang tidak menentu,” tutup Sekretaris Eksekutif Gapki Kalteng ini.

Sementara itu, Wakil Ketua Gapki Kalteng AU Rizky Djaya menyampaikan sengkarut perizinan perkebunan yang disoal atau dijadikan dasar pemerintah melakukan penindakan. Menurutnya, sawit di Kalteng tidak ber-HGU.

Kenapa? Bahwasanya PBS tidak memiliki HGU karena regulasi atau kebijakan yang berubah-ubah.

“Kalau kita lihat di sini, regulasi-regulasi yang ada itu membuat investor bingung dan serbasalah,” ucapnya kepada Kalteng Pos.

“Kami meminta pihak kementerian duduk bersama dan menyelaraskan dahulu aturan-aturan,” tambahnya.(nov/ce/ram)

PALANGKA RAYA-Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) saat ini menginjakkan kaki di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Mereka melakukan penindakan tegas berupa penyitaan lahan sawit yang diduga merambah hutan dan melakukan alih fungsi menjadi perkebunan sawit.

Rawing Rambang turut membuka suara terkait penindakan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2025 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2025 itu.

Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalteng periode 2012-2020 itu tetap melihat dengan kaca mata positif.

Artinya, dia meyakini dan percaya satgas akan bekerja profesional. Mereka punya pemahaman undang-undang, dan tentunya bisa melihat sisi positif dan negatif di tengah masyarakat.

“Tidak mungkin dengan situasi ekonomi dunia seperti ini (kurang baik, red), mereka bertindak serampangan, pasti melihat dampaknya juga,” ucapnya saat berbincang dengan Kalteng Pos di Kantor Gapki Kalteng, Senin sore (10/3/2025).

Pria yang pernah menjabat Kepala Biro Ekonomi Setda Kalteng periode 2011-2012 itu memilih menyoroti ihwal tumpang tindih kebijakan.

Industri sawit punya kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Namun, industri ini belum bisa mengoptimalkan potensinya, lantaran pengelolaan dan regulasinya menyangkut belasan kementerian atau lembaga negara.

“Kita terlalu banyak birokrasi, misalnya bila tanah urusan BPN, budi daya urusan Kementerian Pertanian, begitu juga hutan. Belum lagi mau kirim ekspor, urusan Kementerian Perdagangan. Pengurusan HGU harus ke kementerian ini, kementerian itu. Dan ini kadang-kadang aturannya berbeda. Itu hanya contoh,” katanya panjang.

Akibatnya, pengambilan kebijakan kurang cepat dan regulasi yang ada sering kali tumpang tindih satu institusi dengan lainnya.

“Saya pernah di Thailand. Di sana, dari tanam sampai ekspor urusannya satu kementerian. Itu satu meja. Sederhana. Sedangkan di Indonesia, ada berapa kementerian dan lembaga yang harus dilalui. Belum lagi memakan waktu yang lama,” ungkapnya.

Rawing pun menceritakan secara singkat sejarah sawit di Kalteng. Berdasarkan Perda Kalteng Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), wilayah Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain (KPPL) tidak membutuhkan pelepasan kawasan.

Baca Juga :  Gapki Komitmen Berkontribusi Membangun Kalteng

Lalu, di wilayah Kotawaringin Timur (Kotim), Seruyan, dan Kotawaringin Barat (Kobar) ramai-ramai orang investasi di sektor perkebunan sawit.

Setelah itu, keluarlah SK Menhut Nomor 529 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor:759/KPTS-UM/10/1982 tentang Penunjukan Areal Hutan.

Lalu, ada lagi PP Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP Nomor 10 tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Salah satu poinnya, pemegang izin wajib tukar-menukar kawasan hutan dengan lahan pengganti yang bukan kawasan hutan.

“Intinya, disebut dalam SK itu, wilayah KPP dan KPPR, perlu pelepasan kawasan. Itulah yang ramai berkembang, sehingga banyak perusahaan yang berusaha mengikuti aturan itu,” ungkap pria yang sudah tiga dekade bergelut di bidang perkebunan.

Waktu itu, dirinya menjabat sebagai Kadisbun di bawah pemerintahan Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang. Pihaknya berusaha supaya perusahaan perkebunan itu clean and clear. Artinya, beraktivitas di wilayah KPP atau APL saja.

“Namun, banyak perusahaan yang sudah terlanjur menanam di kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Ini yang terjadi,” ungkapnya seraya mengatakan momen itu berlanjut terus sampai keluarnya Perda Kalteng Nomor 5 Tahun 2015 tentang RTRWP.

Lahan yang bisa dipakai untuk perkebunan dan sektor lain hanya kebagian 17,6 persen dari total luas Kalteng.

Proses untuk menuju clean and clear juga tidak gampang. Proses izinnya ribet, dan sampai akhirnya keluarlah Undang-Undang Cipta Kerja.

“Undang-Undang Cipta Kerja belum tuntas, muncul lagi Perpres Nomor 5 Tahun 2025,” celetuk pria yang meraih gelar Sarjana Pertanian di Unlam tahun 1987 itu.

Perpres Nomor 5 Tahun 2025 bertujuan menertibkan kawasan hutan yang digunakan secara ilegal.

Sanksi administratif berupa denda dikenakan kepada pelaku pelanggaran penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Denda administratif yakni pembebanan kewajiban bagi pelaku pelanggaran untuk melakukan pembayaran sejumlah uang tertentu.

Baca Juga :  Empat Pekerja Sawit di Kobar Tersambar Petir, Dua Tewas, Dua Dirawat

Lalu, keluarlah SK Menhut Nomor 36 Tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan. SK itu menjadi dasar hukum penindakan Satgas PKH.

“Kalau sudah begini, pelaku usaha bisa apa? Intinya apa kata pemerintah. Karena pemerintah itu sebagai stabilator, dinamisator, dan regulator pembangunan,” kata pria yang mendapat gelar S-2 Ekonomi Pertanian di Universitas Brawijaya itu.

“Kelihatannya begitu, UU Cipta Kerja kalah dengan perpres. Perpres itu baru tanggal 21 Januari. Kita yang namanya pelaku usaha atau pun masyarakat, karena masyarakat yang memiliki lahan dengan luas di atas 20 hektare harus ada Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan. Itu aturan dari pemerintah,” tambahnya.

Pria yang mendapat gelar S-3 Bidang Lingkungan di UPR itu meyakini Presiden Prabowo dan tim tidak sembarangan dalam membuat peraturan. Presiden tentu mempertimbangkan banyak aspek.

“Kalau misalnya aturannya begini, tetapi akan menyebabkan ekonomi runtuh, mungkin itu juga dipertimbangkan beliau. Misal, akan ada banyak pengurangan tenaga kerja,” sebutnya.

Apabila satgas menyegel semua perusahaan yang ada di SK Menhut, lantas bagaimana nanti kamtibmas di lokasi?

Rawing tidak ingin berandai-andai. Satgas PKH itu diketuai Menteri Pertahanan dan wakilnya adalah Jaksa Agung. Mereka orang-orang yang memiliki kompetensi.

“Jadi kami berharap, tindakan mereka selalu terukur, memperhatikan dampak-dampaknya, stabilitas ekonomi, politik, dan sosial. Jangan sampai menimbulkan dampak negatif bagi negara di tengah perekonomian dunia yang tidak menentu,” tutup Sekretaris Eksekutif Gapki Kalteng ini.

Sementara itu, Wakil Ketua Gapki Kalteng AU Rizky Djaya menyampaikan sengkarut perizinan perkebunan yang disoal atau dijadikan dasar pemerintah melakukan penindakan. Menurutnya, sawit di Kalteng tidak ber-HGU.

Kenapa? Bahwasanya PBS tidak memiliki HGU karena regulasi atau kebijakan yang berubah-ubah.

“Kalau kita lihat di sini, regulasi-regulasi yang ada itu membuat investor bingung dan serbasalah,” ucapnya kepada Kalteng Pos.

“Kami meminta pihak kementerian duduk bersama dan menyelaraskan dahulu aturan-aturan,” tambahnya.(nov/ce/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/