Rabu, April 16, 2025
26.3 C
Palangkaraya

Guru Besar Hukum Unpad Sebut Penyitaan Lahan Sawit Tidak Sesuai Prosedur

 

JAKARTA-Tindakan penyitaan dan penyegelan terhadap lahan sawit yang dinilai illegal oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan menuai sorotan dari kalangan akademisi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH., MH, menilai langkah tersebut berpotensi cacat hukum karena tidak didasarkan pada prosedur pengukuhan kawasan hutan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Kehutanan dan juga bertentangan dengan prinsip negara hukum.

 

Prof. Pantja menekankan pentingnya memahami pengertian kawasan hutan secara hukum. Dia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 9 Februari 2012, yang menyatakan bahwa penunjukan kawasan hutan tidak dapat disamakan dengan pengukuhan kawasan hutan.

‘’Penunjukkan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemeritahan otoriter,’’ kata  Prof. Pantja dalam keterangannya.

 

Menurutnya, tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai harkat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukkan. Menurut putusan MK tersebut, pengukuhan kawasan hutan harus melewati empat tahapan sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UU Kehutanan, yakni: (1) Penunjukan kawasan hutan; (2) Penetapan batas kawasan hutan; (3) Pemetaan kawasan hutan; dan (4) Penetapan kawasan hutan secara resmi.

 

‘’Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan MK tersebut, apakah penyitaan dan penyegelan 1 juta hektare kebun sawit di kawasan yang diklaim sebagai kawasan hukum, sebelumnya sudah ada pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan melalui empat tahap yang diperintahkan oleh Pasal 15 UU Kehutanan?’’ tanya Prof Pantja.

 

Menurut dia, jika suatu kawasan belum dikukuhkan sebagai kawasan hutan melalui empat tahap yang diperintahkan oleh Pasal 15 UU Kehutanan, maka tindakan penyitaan dan penyegelan adalah tindakan tidak fair.

Sebab tindakan tersebut tidak berdasar atas hukum, yakni UU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 2021 dan PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.

Baca Juga :  Airlangga: Buka Lapangan Kerja Baru, Singapura Tambah Investasi di Indonesia

‘’Ditambah lagi baik UU Cipta Kerja maupun PP No.24 Tahun 2021 dan PP No. 43 Tahun 2021 tersebut sama sekali tidak ada klausul penyitaan dan penyegelan,’’ jelasnya.

 

Prof Pantja juga menjelaskan bahwa Satgas Penertiban Kawasan Hukum yang dibentuk oleh Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, hanya memiliki tugas yang dalam hukum administrasi negara disebut “bestuursdwang” (paksaan pemerintahan) dan “dwangsom” (pengenaan denda administratif).

Tugas “bestuursdwang” dilakukan dalam bentuk penertiban terhadap perseorangan ataupun badan hukum perdata yang melanggar norma hukum administrasi seperti tidak memiliki izin usaha pertambangan, perkebunan, dan lain-lainnya.

Adapun, tugas “dwangsom” yaitu pengenaan denda administratif. Sedangkan tindakan penyitaan dan penyegelan merupakan tindakan politional pro justisia dalam rangka law enforcement (penyelidikan dan penyidikan dalam kasus / perkara pidana).

 

 

Menurut dia, tindakan penyitaan dan penyegelan yang dilakukan oleh Satgas berdasarkan  Perpres No. 5 Tahun 2024, bertentangan dengan UU Cipta Kerja dan 2 PP, yang secara hierarkis kedudukan kedua peraturan perundang-undangan tersebut lebih tinggi daripada Perpres No. 5 Tahun 2025 tersebut.

Karena itu, tindakan Satgas tersebut dinilainya batal demi hukum atau dapat dibatalkan melalui gugatan Sengketa TUN atau Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Sengketa Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh badan dan/Pejabat Pemerintah (Onrechmatige Overheidsdaad) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

 

Lebih jauh, Prof Pantja mengungkapkan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah selain menimbulkan ketidakpastian hukum, juga berdampak serius terhadap investor yang ingin menanamkan investasinya di Indonesia.

Ditambah lagi, langkah pemerintah tersebut juga mereduksi peranan industri kelapa sawit yang telah memberikan andil sangat besar bagi pembangunan ekonomi melalui efek berlipat ganda (multiplier effect) berupa pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan negara.

Baca Juga :  Jud0l di Indonesia Makin Mengkhawatirkan, Rp28 Triliun Mengalir ke Luar Negeri

‘’Presiden (Prabowo) dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintahan (chief of government) yang memimpin dan bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan, serta sebagai Kepala Kekuasaan Eksekutif (Chief of Executive) bertanggung jawab untuk melaksanakan UUD dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya, sesuai dengan lafal sumpah jabatannya sebagai Presiden,’’ tuturnya.

 

Dalam wawancara dengan sejumlah pemimpin redaksi media nasional beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa Kejaksaan dibantu Polri dan TNI (Satgas) sudah menyita 1 juta hektare kebun sawit yang dinilai bermasalah.

Bahkan, kemungkinan dalam waktu dekat, penyitaan kebun sawit yang dinilai melanggar itu bisa mencapai 2 juta hektare.

‘’Saya dapat laporan, dari BPKP, Jaksa Agung, Ini sebelum saya jadi presiden, di kabinet sebelum saya sudah dilaporkan, ada kurang lebih 3,7 juta kebun kelapa sawit yang bermasalah, yang melanggar aturan dan melanggar hukum. Saya bilang kalau itu temuan lembaga yudisial, lembaga penegak hukum, proses sesuai hukum,’’ papar Kepala Negara.

Menurut dia, apa yang dilakukannya merupakan sebuah kemajuan karena sebelumnya ada kasus-kasus tidak berani disentuh.

‘’Kita mulai bertindak. Ini bukan pekerjaan ringan. Perjalanan masih panjang,’’ tambah Presiden.

 

Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo mengatakan pemerintah seharusnya memahami duduk persoalan jutaan hektare lahan sawit yang ditanam secara ilegal di kawasan hutan. Ada andil kesalahan pemerintahan di masa lalu.

Saat proses merumuskan UU Cipta Kerja, kata dia, ditemukan keterlanjuran lahan sawit yang berada di kawasan hutan yang luasnya jutaan hektare tersebut.

 

‘’Bagaimana cara menyelesaikannya? Kan tidak bisa yang seperti itu kita lepas, faktanya juga kita memungut pajak dari mereka, kita dapat feedback dari dana ekspor. Akhirnya kita carikan solusi, dengan melakukan pemutihan terhadap ketelanjuran,” ujar Firman Soebagyo.  Dia meminta agar masalah sawit untuk tidak dikedepankan sanksi pidana, tapi diselesaikan dulu dari sisi administrasinya.(ram)

 

JAKARTA-Tindakan penyitaan dan penyegelan terhadap lahan sawit yang dinilai illegal oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan menuai sorotan dari kalangan akademisi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH., MH, menilai langkah tersebut berpotensi cacat hukum karena tidak didasarkan pada prosedur pengukuhan kawasan hutan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Kehutanan dan juga bertentangan dengan prinsip negara hukum.

 

Prof. Pantja menekankan pentingnya memahami pengertian kawasan hutan secara hukum. Dia merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45/PUU-IX/2011 tanggal 9 Februari 2012, yang menyatakan bahwa penunjukan kawasan hutan tidak dapat disamakan dengan pengukuhan kawasan hutan.

‘’Penunjukkan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemeritahan otoriter,’’ kata  Prof. Pantja dalam keterangannya.

 

Menurutnya, tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai harkat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukkan. Menurut putusan MK tersebut, pengukuhan kawasan hutan harus melewati empat tahapan sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UU Kehutanan, yakni: (1) Penunjukan kawasan hutan; (2) Penetapan batas kawasan hutan; (3) Pemetaan kawasan hutan; dan (4) Penetapan kawasan hutan secara resmi.

 

‘’Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan MK tersebut, apakah penyitaan dan penyegelan 1 juta hektare kebun sawit di kawasan yang diklaim sebagai kawasan hukum, sebelumnya sudah ada pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan melalui empat tahap yang diperintahkan oleh Pasal 15 UU Kehutanan?’’ tanya Prof Pantja.

 

Menurut dia, jika suatu kawasan belum dikukuhkan sebagai kawasan hutan melalui empat tahap yang diperintahkan oleh Pasal 15 UU Kehutanan, maka tindakan penyitaan dan penyegelan adalah tindakan tidak fair.

Sebab tindakan tersebut tidak berdasar atas hukum, yakni UU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 2021 dan PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah.

Baca Juga :  Airlangga: Buka Lapangan Kerja Baru, Singapura Tambah Investasi di Indonesia

‘’Ditambah lagi baik UU Cipta Kerja maupun PP No.24 Tahun 2021 dan PP No. 43 Tahun 2021 tersebut sama sekali tidak ada klausul penyitaan dan penyegelan,’’ jelasnya.

 

Prof Pantja juga menjelaskan bahwa Satgas Penertiban Kawasan Hukum yang dibentuk oleh Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, hanya memiliki tugas yang dalam hukum administrasi negara disebut “bestuursdwang” (paksaan pemerintahan) dan “dwangsom” (pengenaan denda administratif).

Tugas “bestuursdwang” dilakukan dalam bentuk penertiban terhadap perseorangan ataupun badan hukum perdata yang melanggar norma hukum administrasi seperti tidak memiliki izin usaha pertambangan, perkebunan, dan lain-lainnya.

Adapun, tugas “dwangsom” yaitu pengenaan denda administratif. Sedangkan tindakan penyitaan dan penyegelan merupakan tindakan politional pro justisia dalam rangka law enforcement (penyelidikan dan penyidikan dalam kasus / perkara pidana).

 

 

Menurut dia, tindakan penyitaan dan penyegelan yang dilakukan oleh Satgas berdasarkan  Perpres No. 5 Tahun 2024, bertentangan dengan UU Cipta Kerja dan 2 PP, yang secara hierarkis kedudukan kedua peraturan perundang-undangan tersebut lebih tinggi daripada Perpres No. 5 Tahun 2025 tersebut.

Karena itu, tindakan Satgas tersebut dinilainya batal demi hukum atau dapat dibatalkan melalui gugatan Sengketa TUN atau Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Sengketa Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh badan dan/Pejabat Pemerintah (Onrechmatige Overheidsdaad) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

 

Lebih jauh, Prof Pantja mengungkapkan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah selain menimbulkan ketidakpastian hukum, juga berdampak serius terhadap investor yang ingin menanamkan investasinya di Indonesia.

Ditambah lagi, langkah pemerintah tersebut juga mereduksi peranan industri kelapa sawit yang telah memberikan andil sangat besar bagi pembangunan ekonomi melalui efek berlipat ganda (multiplier effect) berupa pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, penciptaan lapangan kerja dan pendapatan negara.

Baca Juga :  Jud0l di Indonesia Makin Mengkhawatirkan, Rp28 Triliun Mengalir ke Luar Negeri

‘’Presiden (Prabowo) dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintahan (chief of government) yang memimpin dan bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan, serta sebagai Kepala Kekuasaan Eksekutif (Chief of Executive) bertanggung jawab untuk melaksanakan UUD dan menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya, sesuai dengan lafal sumpah jabatannya sebagai Presiden,’’ tuturnya.

 

Dalam wawancara dengan sejumlah pemimpin redaksi media nasional beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa Kejaksaan dibantu Polri dan TNI (Satgas) sudah menyita 1 juta hektare kebun sawit yang dinilai bermasalah.

Bahkan, kemungkinan dalam waktu dekat, penyitaan kebun sawit yang dinilai melanggar itu bisa mencapai 2 juta hektare.

‘’Saya dapat laporan, dari BPKP, Jaksa Agung, Ini sebelum saya jadi presiden, di kabinet sebelum saya sudah dilaporkan, ada kurang lebih 3,7 juta kebun kelapa sawit yang bermasalah, yang melanggar aturan dan melanggar hukum. Saya bilang kalau itu temuan lembaga yudisial, lembaga penegak hukum, proses sesuai hukum,’’ papar Kepala Negara.

Menurut dia, apa yang dilakukannya merupakan sebuah kemajuan karena sebelumnya ada kasus-kasus tidak berani disentuh.

‘’Kita mulai bertindak. Ini bukan pekerjaan ringan. Perjalanan masih panjang,’’ tambah Presiden.

 

Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo mengatakan pemerintah seharusnya memahami duduk persoalan jutaan hektare lahan sawit yang ditanam secara ilegal di kawasan hutan. Ada andil kesalahan pemerintahan di masa lalu.

Saat proses merumuskan UU Cipta Kerja, kata dia, ditemukan keterlanjuran lahan sawit yang berada di kawasan hutan yang luasnya jutaan hektare tersebut.

 

‘’Bagaimana cara menyelesaikannya? Kan tidak bisa yang seperti itu kita lepas, faktanya juga kita memungut pajak dari mereka, kita dapat feedback dari dana ekspor. Akhirnya kita carikan solusi, dengan melakukan pemutihan terhadap ketelanjuran,” ujar Firman Soebagyo.  Dia meminta agar masalah sawit untuk tidak dikedepankan sanksi pidana, tapi diselesaikan dulu dari sisi administrasinya.(ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/