Hadar menambahkan, desain yang digunakan pada pemilu lalu sangat melelahkan. Pemilih harus membuka lima surat suara yang berbeda. Begitu pun dengan petugas yang harus menghitung lima surat suara secara berulang-ulang. “Banyak hal (aktivitas, red) yang sama diulang, dan itu meletihkan,” imbuhnya.
Jika menggunakan satu surat suara, proses pencoblosan atau penghitungan diyakini lebih efisien. Selain itu, lanjut Hadar, penggabungan surat suara akan ”memaksa” pemilih tidak hanya fokus pada pilpres. Sebagai contoh, dalam Pemilu 2019, ada puluhan juta surat suara pileg yang tidak sah. Salah satu penyebabnya adalah surat suara dikosongkan atau tidak digunakan pemilih. “Kalau disatukan, pemilih ’dipaksa’ untuk memilih. Atau setidaknya lebih mengarahkan untuk tetap memilih (pileg),” tutur dia.
Untuk desainnya, Hadar mengusulkan agar nama atau gambar calon anggota legislatif (caleg) tidak disertakan dalam surat suara. Detail tersebut bisa ditampilkan lengkap pada pengumuman TPS. Dalam surat suara cukup ditampilkan gambar partai. Nanti pemilih cukup menuliskan nomor urut calegnya saja pada surat suara yang disediakan. ”Perlu ada perubahan cara kita menyampaikan suara kita. Bisa menandai dan atau menuliskan nomor calegnya,” usul dia.
Terkait potensi persoalan seperti pemilih buta huruf, tidak bisa menulis, tidak hafal caleg, atau penyandang disabilitas, Hadar menilai itu sebagai tantangan yang harus dikaji. Dengan waktu yang ada, ia optimistis bisa dicari solusinya.