Site icon KaltengPos

Demi Efisiensi, KPU Kaji Wacana Penggabungan Suara

LOGISTIK PILKADA: KPU melakukan pendistribusian logistik ke seluruh kecamatan se-Kota Palangka Raya pada pilkada serentak 2020 lalu. Saat ini KPU pusat sedang mengkaji penyederhanaan teknis pelaksanaan untuk Pemilu 2024. (DENAR/KALTENG POS)

Upaya penyederhanaan teknis pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang terus digodok. Salah satu wacana terbaru yang tengah dikaji penyelenggara adalah penyederhanaan surat suara.

SEPERTI diketahui, dalam pemilu yang bakal dilaksanakan pada 2024 nanti, ada lima jenis pemilihan yang digelar bersamaan. Yakni pemilihan presiden (pilpres), DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Jika mengacu pada Pemilu 2019, ada lima surat suara yang harus dicoblos pemilih. Karena itu perlu dilakukan penyederhanaan agar tidak melelahkan.

Ketua KPU RI Ilham Saputra menyatakan, desain lima surat suara cukup memberatkan. Baik bagi pemilih maupun penyelenggara. Karena itu, penyederhanaan surat suara menjadi salah satu objek kajian saat ini. “Bisa saja hanya satu surat suara atau dua,” katanya dalam diskusi, Minggu (30/5).

Teknisnya, lanjut Ilham, masih dibicarakan lebih jauh. Apakah surat suara pilpres dan pemilihan DPR/DPD digabungkan atau bahkan jadi satu seluruhnya. Termasuk dikaji bagaimana menggabungkannya agar efisien dan memudahkan.

Ilham mengatakan, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam penyederhanaan desain surat suara. Selain kemudahan dan pemahaman pemilih, juga perlu dilihat aspek teknis lain seperti pendistribusiannya. “Logistik jangan tertukar (antardaerah, red) karena baru buat kita,” imbuhnya. Hal yang paling penting adalah pemahaman masyarakat akan desain barunya.

Peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay mendukung rencana tersebut. Dia mengungkapkan, praktik penggabungan beberapa jenis pemilihan dalam satu surat suara banyak dilakukan negara lain, termasuk Amerika Serikat. “Surat suara nggak sendiri-sendiri, tapi jadi satu,” ucap mantan komisioner KPU RI itu.

Hadar menambahkan, desain yang digunakan pada pemilu lalu sangat melelahkan. Pemilih harus membuka lima surat suara yang berbeda. Begitu pun dengan petugas yang harus menghitung lima surat suara secara berulang-ulang. “Banyak hal (aktivitas, red) yang sama diulang, dan itu meletihkan,” imbuhnya.

Jika menggunakan satu surat suara, proses pencoblosan atau penghitungan diyakini lebih efisien. Selain itu, lanjut Hadar, penggabungan surat suara akan ”memaksa” pemilih tidak hanya fokus pada pilpres. Sebagai contoh, dalam Pemilu 2019, ada puluhan juta surat suara pileg yang tidak sah. Salah satu penyebabnya adalah surat suara dikosongkan atau tidak digunakan pemilih. “Kalau disatukan, pemilih ’dipaksa’ untuk memilih. Atau setidaknya lebih mengarahkan untuk tetap memilih (pileg),” tutur dia.

Untuk desainnya, Hadar mengusulkan agar nama atau gambar calon anggota legislatif (caleg) tidak disertakan dalam surat suara. Detail tersebut bisa ditampilkan lengkap pada pengumuman TPS. Dalam surat suara cukup ditampilkan gambar partai. Nanti pemilih cukup menuliskan nomor urut calegnya saja pada surat suara yang disediakan. ”Perlu ada perubahan cara kita menyampaikan suara kita. Bisa menandai dan atau menuliskan nomor calegnya,” usul dia.

Terkait potensi persoalan seperti pemilih buta huruf, tidak bisa menulis, tidak hafal caleg, atau penyandang disabilitas, Hadar menilai itu sebagai tantangan yang harus dikaji. Dengan waktu yang ada, ia optimistis bisa dicari solusinya.

Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati juga mendukung rencana tersebut. Berdasarkan survei LIPI, desain lima surat suara dikeluhkan mayoritas pemilih. ”Bisa jadi yang dia buka hanya pilpres,” ujarnya.

Wanita yang akrab disapa Ninis itu menambahkan, jika ada desain baru surat suara, KPU harus melakukan sosialisasi terlebih dahulu. “Perlu sosialisasi dan simulasi yang masif,” tuturnya. (far/deb/c9/bay/jpg/ce/ala)

Exit mobile version