Site icon KaltengPos

Jelang Ramadan, Harga Bapok Mulai Digodok

KEDELAI MAHAL: Siswanto, produsen tahu di Jalan Lele memindahkan sari kedelai ke papan pencetak tahu, Selasa (1/3).

PALANGKA RAYA-Bulan Ramadan tinggal menghitung hari. Kebutuhan pangan pun makin tinggi. Begitu juga soal harga. Kenaikan dianggap angin lalu. Toh, percuma kalau mau mengadu. Tak akan ada solusi cepat untuk menurunkan harga. Meski dalam hati mereka meronta.

Hal itulah yang dirasakan oleh Rama, salah satu pengunjung Pasar Besar. Harga minyak goreng membuatnya geleng-geleng. Belum lagi ancaman kenaikan harga bahan pokok (bapok, red) yang selalu terjadi saban bulan Ramadan. “Harga minyak goreng saja sudah bikin pusing. Semoga saja mendekati hari besar nanti, cukup minyak goreng saja yang bikin pusing,” ucapnya sambil terkekeh.

Di Pasar Besar, harga ayam potong berkisar Rp33-38 ribu/kilogram, cabai rawit Rp66-70 ribu/kilogram, dan daging sapi Rp130 ribu/kilogram. Masih relatif normal. Harga kedelai yang merangkak naik, juga memengarui ukuran tempe dan tahu. “Harganya sama, hanya ukuran saja lebih tipis dan kecil,” ucap Hadi.

Sukardi, produsen tahu di Jalan Lele mengaku jika harga kedelai memang naik. Saat ini Rp12 ribu/kilogram. Naik perlahan dalam beberapa bulan belakangan. Harga terendah sebelum pandemi lalu, Rp7-8 ribu/kilogram. “Untuk harga kedelai memang mengacu harga beli mata uang dollar, karena yang dipakai kedelai impor. Bisa jadi naik lagi, dampak perang Rusia dengan Ukraina,” ungkapnya.

Novem Budi Kurniawan yang merupakan produsen tempe mengatakan, pada dasarnya harga kedelai mulai naik sebelum pandemi Covid-19. Namun harga kembali mencekik pada Desember 2021 hingga Januari 2022.

Di pasaran, harga kedelai Rp13 ribu/kilogram dan Rp12 ribu/kilogram di agen.

“Setelah naik pada akhir 2021 dan awal 2022 lalu itu, harga kedelai per kilogram terus naik tiap harinya Rp100 rupiah per kilogram,” ucapnya ketika diwawancarai di rumah produksi Sarjana Tempe Palangka Raya, Jalan Ramin III, Gang Majapahit, Kelurahan Panarung.

Pria 30 tahun ini menyebut, sejak adanya kenaikan pada awal Januari lalu, pihaknya langsung melakukan pengurangan takaran tempe dan menaikkan harga jual. Pihaknya memang sudah mengetahui bahwa ada kenaikan harga kedelai, sehingga berdampak pada penjualan tempe dan tahu. Misal saja, ada tempe yang biasanya dijual seharga Rp6 ribu, naik menjadi Rp7 ribu.

Terpisah, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) Provinsi Kalteng Aster Bonawaty menyebut, kenaikan harga kedelai sangat bergantung pada kebijakan impor. Kedelai yang beredar di Kalteng dipasok dari distributor di Pulau Jawa.

Berkenaan dengan hal ini, pemerintah pusat saat ini tengah menggodok regulasi untuk menetapkan kebijakan kenaikan kedelai di Indonesia.

“Kedelai di Kalteng ini masih impor, sehingga kenaikan ini dampak dari gejolak di luar negeri, saat ini sedang digodok oleh kementerian untuk membijaki harga kedelai,” katanya, Selasa (1/3).

Sementara itu, berkenaan dengan harga bapok, saat ini sudah mulai ada kenaikan. Selain minyak goreng yang memang sudah lebih awal mengalami kenaikan, yang juga mengalami kenaikan adalah bawang merah. Yang sebelumnya dijual seharga Rp32 ribu/kilogram, naik menjadi Rp38 ribu/kilogram.

Disdagperin berencana untuk berkoordinasi dengan pihak terkait, mengupayakan agar kenaikan harga bapok tidak terlalu meroket menjelang Ramadan mendatang.

“Kami juga akan berkoordinasi dengan satgas pangan perihal distribusi pangan, supaya tidak ada penimbunan bahan pangan, sebagai antisipasi kelangkaan barang di pasaran,” ucapnya.

Sementara itu, Fitria Husnatarina selaku pengamat ekonomi mengatakan, perhatian pemerintah makin intens terkait harga bapok menjelang bulan Ramadan dan Hari Raya Idulfitri. “Pola permintaan konsumen yang makin besar jelang Ramadan, maka percepatan strategi penyelesaian distribusi harus diprioritaskan,” ujarnya.

Terkait mahalnya harga jual minyak goreng, menurutnya bisa disebabkan oleh berbagai aspek. Mulai dari aspek produksi, proses distribusi, hingga kondisi pasar. Kelangkaan minyak goreng di pasaran juga bisa terjadi karena rantai pasokan distribusi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

“Ada bagian-bagian dari elemen rantai pasok yang macet, misalnya dari distributor besar kepada distributor yang lebih kecil ada kemacetan, atau di jalur distribusi ini ada penimbunan atau penahanan sebagian besar produksi minyak goreng untuk kepentingan tertentu, sehingga kuantitas distribusi tidak memenuhi permintaan pasar,” ujar perempuan yang merupakan dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPR ini. (sja/nue/ena/abw/ce/ram/ko)

Exit mobile version