Minggu, Januari 5, 2025
29.9 C
Palangkaraya

Jika TSM Terbukti di MK, Ini Dampaknya Menurut Pengamat Politik Kalteng

 

 

PALANGKA RAYA-Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) merupakan salah satu pelanggaran berat. Dimana sanksinya bisa mendiskualifikasi pasangan calon kepala daerah.

Di Kalimantan Tengah (Kalteng) sendiri ada beberapa calon kepala daerah melaporkan ada tindak pelanggaran TSM di Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Palangka Raya Farid Zaky menjelaskan bahwa terstruktur sendiri telah merujuk pada suatu struktur. Dengan artian sudah ada sistem yang sudah ada. Yang digunakan untuk mensuport kemenangan.

 

Sehingga TSM didalilkan akan merujuk pada pasangan calon yang menggunakan struktur organisasi, misalnya kepemerintahan, penyelenggara, bahkan bisa menggunakan TNI-Polri untuk memenangkan kontestasi.

 

“Namun dalam gugatan pelanggaran Pilkada TSM sendiri hukumannya yang diberikan berat, namun pembuktiannya juga berat. Dimana unsur terstruktur, sistemastis, dan masifnya harus dibuktikan secara keseluruhan. Sehingga bisa dikabulkan oleh MK. Akan tetap selama in, TSM sangat sulit untuk dikabulkan,” tegas Farid Zaky, baru-baru ini.

 

TSM sendiri Farid Zaky jelaskan bahwa banyak orang berpandangan petahana maupun dinasti pemerintahan diduga kuat melakukan pelanggaran tersebut. Hal ini dikarenakan yang memiliki otoritas tersebut merupakan para petahana.

 

“Masyarakat sering berprasangka TSM sendiri dilakukan oleh calon kepala daerah petahana atau penerus kepemimpinan. Hal ini bukan tanpa alasan yang pasti hal ini terjadi karena paslon tersebut telah memiliki modal struktural yang telah dibentuk pada periode ia menjabat yang lalu atau periode kepemimpinan terdahulu yang diperuntukan untuk si Paslon,” tegas Farid Zaky.

Baca Juga :  Tingkatkan Kualitas, IAHN Undang Dirjen Bimas Kemenag

 

Bagaimana sanksi terhadap para aparatur yang terbukti terlibat TSM. Praktisi hukum Hilyatul Asfia mengatakan sanksi bagi struktural yang terlibat dalam pembuktian TSM adalah kriteria pelanggaran pemilu yang melibatkan penggunaan struktur kekuasaan secara terorganisir untuk menguntungkan atau merugikan peserta pemilu.

Jika terbukti, sanksi bagi pihak struktural (seperti ASN, TNI, Polri, atau pejabat pemerintahan) tergantung pada tingkat keterlibatan aparatur tersebut.

Misalnyanya saja ASN akan mendapatkan sanksi administratif (pemecatan, penurunan pangkat) hingga pidana jika melanggar UU Pemilu atau UU ASN.  Lalu TNI/Polri akan penjatuhan sanksi sesuai aturan internal (seperti kode etik atau hukum militer), termasuk hukuman disiplin atau pidana.

Dan pejabat pemerintah akan disanksi administratif dari Kementerian Dalam Negeri (penonaktifan hingga pemberhentian) dan pidana jika melanggar UU Pemilu.

“Jika keterlibatan mereka memengaruhi hasil pemilu, sanksi dapat mencakup pembatalan kemenangan peserta yang terbantu,” tegas Asfia, Senin (30/12/2024).

 

Pada sejarah pemilu di Indonesia menunjukkan adanya keterlibatan sejumlah pihak struktural dalam pelanggaran pemilu, termasuk ASN, TNI, dan Polri.

Kasus yang pernah terjadi seperti kerap terlibat dalam kampanye terselubung atau mobilisasi massa, meski aturan melarangnya.

TNI/Polri: Secara hukum dilarang berpolitik, namun pernah ada kasus dugaan keberpihakan aparat keamanan dalam pemilu (meski sulit dibuktikan karena sifatnya cenderung implisit).

Baca Juga :  Banyak Belum Berizin dan Tak Layak Konsumsi

 

“Laporan keterlibatan ini biasanya disampaikan ke Bawaslu, meski tidak semuanya berakhir dengan putusan TSM. Sanksi terberat bagi penyelenggara pemilu yang terlibat Jika penyelenggara pemilu (seperti KPU, Bawaslu, atau DKPP) terbukti terlibat dalam pelanggaran TSM, sanksi yang diberikan bisa sangat berat,” tegas Dosen Hukum Universitas Palangka Raya (UPR).

 

Sanksi berat tersebut bisa berupa pemberhentian dari jabatan (sesuai keputusan DKPP).  Selanjutnya sanksi pidana jika terlibat tindak korupsi atau kecurangan yang melanggar UU Pemilu.

Dan pencabutan hak politik dalam kasus-kasus tertentu.  “Contohnya penyelenggara yang memanipulasi hasil pemilu atau melibatkan diri dalam politik praktis,” tegasnya.

 

Terkait pembuktian pelanggaran TSM sangat kompleks, namun mungkin dilakukan jika ada bukti kuat seperti seperti dokumen tertulis (surat perintah, anggaran).

Selain itu pihak penggugat mampu menunjukan rekaman suara/video yang menunjukkan keterlibatan.

Lalu ada saksi yang kredibel dan berani bersaksi di hadapan pengadilan atau Bawaslu dan audit forensik terhadap perangkat digital yang digunakan sebagai contoh: penyalahgunaan data.

Meski demikian, pembuktian sering kali terhambat oleh kurangnya transparansi dan keberanian saksi untuk bersaksi karena adanya tekanan politik atau ancaman.

“Upaya maksimal sering dilakukan oleh Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi untuk memastikan keadilan,” tegasnya.(irj/ram)

 

 

PALANGKA RAYA-Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) merupakan salah satu pelanggaran berat. Dimana sanksinya bisa mendiskualifikasi pasangan calon kepala daerah.

Di Kalimantan Tengah (Kalteng) sendiri ada beberapa calon kepala daerah melaporkan ada tindak pelanggaran TSM di Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Palangka Raya Farid Zaky menjelaskan bahwa terstruktur sendiri telah merujuk pada suatu struktur. Dengan artian sudah ada sistem yang sudah ada. Yang digunakan untuk mensuport kemenangan.

 

Sehingga TSM didalilkan akan merujuk pada pasangan calon yang menggunakan struktur organisasi, misalnya kepemerintahan, penyelenggara, bahkan bisa menggunakan TNI-Polri untuk memenangkan kontestasi.

 

“Namun dalam gugatan pelanggaran Pilkada TSM sendiri hukumannya yang diberikan berat, namun pembuktiannya juga berat. Dimana unsur terstruktur, sistemastis, dan masifnya harus dibuktikan secara keseluruhan. Sehingga bisa dikabulkan oleh MK. Akan tetap selama in, TSM sangat sulit untuk dikabulkan,” tegas Farid Zaky, baru-baru ini.

 

TSM sendiri Farid Zaky jelaskan bahwa banyak orang berpandangan petahana maupun dinasti pemerintahan diduga kuat melakukan pelanggaran tersebut. Hal ini dikarenakan yang memiliki otoritas tersebut merupakan para petahana.

 

“Masyarakat sering berprasangka TSM sendiri dilakukan oleh calon kepala daerah petahana atau penerus kepemimpinan. Hal ini bukan tanpa alasan yang pasti hal ini terjadi karena paslon tersebut telah memiliki modal struktural yang telah dibentuk pada periode ia menjabat yang lalu atau periode kepemimpinan terdahulu yang diperuntukan untuk si Paslon,” tegas Farid Zaky.

Baca Juga :  Tingkatkan Kualitas, IAHN Undang Dirjen Bimas Kemenag

 

Bagaimana sanksi terhadap para aparatur yang terbukti terlibat TSM. Praktisi hukum Hilyatul Asfia mengatakan sanksi bagi struktural yang terlibat dalam pembuktian TSM adalah kriteria pelanggaran pemilu yang melibatkan penggunaan struktur kekuasaan secara terorganisir untuk menguntungkan atau merugikan peserta pemilu.

Jika terbukti, sanksi bagi pihak struktural (seperti ASN, TNI, Polri, atau pejabat pemerintahan) tergantung pada tingkat keterlibatan aparatur tersebut.

Misalnyanya saja ASN akan mendapatkan sanksi administratif (pemecatan, penurunan pangkat) hingga pidana jika melanggar UU Pemilu atau UU ASN.  Lalu TNI/Polri akan penjatuhan sanksi sesuai aturan internal (seperti kode etik atau hukum militer), termasuk hukuman disiplin atau pidana.

Dan pejabat pemerintah akan disanksi administratif dari Kementerian Dalam Negeri (penonaktifan hingga pemberhentian) dan pidana jika melanggar UU Pemilu.

“Jika keterlibatan mereka memengaruhi hasil pemilu, sanksi dapat mencakup pembatalan kemenangan peserta yang terbantu,” tegas Asfia, Senin (30/12/2024).

 

Pada sejarah pemilu di Indonesia menunjukkan adanya keterlibatan sejumlah pihak struktural dalam pelanggaran pemilu, termasuk ASN, TNI, dan Polri.

Kasus yang pernah terjadi seperti kerap terlibat dalam kampanye terselubung atau mobilisasi massa, meski aturan melarangnya.

TNI/Polri: Secara hukum dilarang berpolitik, namun pernah ada kasus dugaan keberpihakan aparat keamanan dalam pemilu (meski sulit dibuktikan karena sifatnya cenderung implisit).

Baca Juga :  Banyak Belum Berizin dan Tak Layak Konsumsi

 

“Laporan keterlibatan ini biasanya disampaikan ke Bawaslu, meski tidak semuanya berakhir dengan putusan TSM. Sanksi terberat bagi penyelenggara pemilu yang terlibat Jika penyelenggara pemilu (seperti KPU, Bawaslu, atau DKPP) terbukti terlibat dalam pelanggaran TSM, sanksi yang diberikan bisa sangat berat,” tegas Dosen Hukum Universitas Palangka Raya (UPR).

 

Sanksi berat tersebut bisa berupa pemberhentian dari jabatan (sesuai keputusan DKPP).  Selanjutnya sanksi pidana jika terlibat tindak korupsi atau kecurangan yang melanggar UU Pemilu.

Dan pencabutan hak politik dalam kasus-kasus tertentu.  “Contohnya penyelenggara yang memanipulasi hasil pemilu atau melibatkan diri dalam politik praktis,” tegasnya.

 

Terkait pembuktian pelanggaran TSM sangat kompleks, namun mungkin dilakukan jika ada bukti kuat seperti seperti dokumen tertulis (surat perintah, anggaran).

Selain itu pihak penggugat mampu menunjukan rekaman suara/video yang menunjukkan keterlibatan.

Lalu ada saksi yang kredibel dan berani bersaksi di hadapan pengadilan atau Bawaslu dan audit forensik terhadap perangkat digital yang digunakan sebagai contoh: penyalahgunaan data.

Meski demikian, pembuktian sering kali terhambat oleh kurangnya transparansi dan keberanian saksi untuk bersaksi karena adanya tekanan politik atau ancaman.

“Upaya maksimal sering dilakukan oleh Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi untuk memastikan keadilan,” tegasnya.(irj/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/