Selasa, September 17, 2024
24.2 C
Palangkaraya

Ini Alasan Tepian Kahayan Harus Dikosongkan dari Bangunan

PALANGKA RAYA-Ablasi di tepian Sungai Kahayan mengakibatkan beberapa rumah warga di kawasan Flamboyan Bawah rusak. Fenomena ini juga mengancam rumah warga lainnya. Jika tidak segera diantisipasi, maka ablasi berpotensi meluas ke kompleks permukiman warga di bantaran Sungai Kahayan.

Ancaman ablasi ini mendapat sorotan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng maupun akademisi yang punya perhatian terhadap isu-isu lingkungan hidup. Kedua pihak sama-sama menyampaikan pernyataan yang mengarah pada kesimpulan bahwa permukiman penduduk di bantaran Sungai Kahayan harus segera direlokasi.

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengatakan, secara umum fenomena ablasi terjadi karena faktor alam dan nonalam. Faktor alam terjadi karena debit air sungai yang terus naik, sementara faktor non alam berupa aktivitas manusia yang mempercepat terjadinya ablasi.

“Ablasi bisa terjadi karena debit air yang tinggi akibat aktivitas di wilayah hulu sungai atau daerah-daerah resapan air, itu juga menjadi faktor terjadinya ablasi di wilayah pinggir Sungai Kahayan,” jelas Bayu kepada Kalteng Pos, Selasa (3/1).

Selain faktor alam, ada faktor nonalam. Biasanya terjadi karena adanya intervensi dari manusia, seperti aktivitas pertambangan atau pembangunan permukiman yang tidak sesuai atau tidak cocok dengan alokasi ruang.

“Dua faktor itu menjadi indikator yang memperparah ablasi di Kalteng, khususnya di DAS Kahayan ya,” tuturnya.

Bayu mengatakan, secara spesifik daerah Flamboyan merupakan area rawa. Dalam ilmu tata ruang, tidak layak dijadikan area pemukiman, karena posisi wilayahnya persis berada di cekungan atau teluk sungai.

“Kalau dari sudut pandang penataan ruang, harusnya wilayah seperti ini dilakukan upaya rehabilitasi sesuai fungsinya,” ucap Bayu.

Lebih lanjut dikatakannya, wilayah Flamboyan semestinya menjadi daerah cekungan atau teluk sungai yang bebas dari permukiman. Perlu ada upaya agar sungai bisa dipulihkan kembali, dengan cara rehabilitasi. Konsekuensinya perlu dilakukan relokasi permukiman warga agar wilayah itu berfungsi seperti sedia kala.

Baca Juga :  Vonis Mantan Camat Berkurang di Tingkat Banding

“Kalau kita bicara dalam konteks pemulihan sungai, berarti kita harus menghilangkan intervensi-intervensi yang ada di sana, seperti pemanfaatan wilayah yang tidak sesuai ruangnya, tentunya ada konsekuensi berupa relokasi,” jelasnya.

Namun relokasi juga harus memperhatikan aspek sosial. Mengingat masyarakat Dayak maupun masyarakat secara umum banyak bermukim di bantaran sungai. Perlu adanya pengetahuan yang baik dan lintas disiplin, tak hanya mengkaji aspek lingkungan, tapi juga aspek sosial, agar solusi merelokasi warga bisa komprehensif.

Jika pemerintah berencana menerapkan konsep Water Front City (WFC) dengan upaya penataan ruang untuk merehabilitasi kawasan itu, lanjut Bayu, maka hak-hak masyarakat pun perlu dipenuhi.

“Tidak serta-merta merelokasi tanpa ada pemulihan hak masyarakat, termasuk aspek sosialnya. Misalnya, permukiman baru harus difasilitasi oleh pemerintah,” ujarnya.

Bayu menyarankan agar pemerintah bisa memastikan intervensi di wilayah hulu sungai benar-benar dihentikan sebagai upaya jangka panjang. Sementara solusi jangka pendek, pemerintah harus melihat kembali apa saja kebutuhan masyarakat di kawasan Flamboyan.

“Jika diidentifikasi, sejauh ini sudah ada warga yang mau untuk direlokasi, jadi harus difasilitasi pemerintah, lokasi untuk kawasan permukiman baru harus disiapkan, sehingga upaya-upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan atau infrastruktur bisa diminimalkan,” tandasnya.

Terpisah, dosen senior Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMPR) Siti Maimunah SHut MP mengatakan, bantaran sungai bukanlah lokasi yang baik untuk dijadikan pemukiman. Bantaran sungai harusnya merupakan lahan terbuka hijau yang dijaga dan dirawat. Sesuai peraturan, wilayah bantaran sungai atau area sepanjang 100 meter pada sisi kanan dan kiri sungai merupakan kawasan konservasi untuk menjaga daerah aliran sungai (DAS).

Baca Juga :  Relokasi Permukiman Tepian Kahayan Perlu Pertimbangkan Aspek Sosial

”Flamboyan Bawah itu adalah kawasan kanan dan kiri sungai yang seharusnya merupakan wilayah konservasi, malah dijadikan pemukiman. Tidak adanya pelindung permukaan tanah dari hantaman air sungai karena tidak adanya akar pohon yang menguatkan tanah mengakibatkan mudahnya terjadi ablasi, apalagi selalu terjadi pasang surut air sungai,” jelas alumnus Instiper Yogyakarta, Selasa (3/1).

Menanggapi soal ablasi yang terjadi, Siti menyarankan adanya penanaman pohon di wilayah bantaran sungai dan merelokasi pemukiman warga. Selain itu perlu memasang pemecah gelombang berupa cerucuk bambu atau pohon sungkai atau galam di sepanjang bantaran sungai.

“Ablasi bisa saja makin meluas karena akan menggerus lebih dalam, bisa saja menjadi bencana rutin bila tidak dikendalikan secara benar,” ungkapnya.

Menurut Siti, solusi paling efektif adalah dengan merelokasi permukiman di wilayah bantaran sungai untuk selanjutnya ditanami pohon, lalu membuat terasering agar dapat mencegah ablasi yang lebih besar.

“Solusinya ya itu tadi, kosongkan bantaran sungai dari pemukiman, tanam pohon di sekitaran bantaran sungai, dan buat terasering untuk mencegah ablasi yang lebih besar,” tandasnya.

Sementara itu, Anggota DPRD Palangka Raya Reja Framika menyebut bahwa keberadaan bangunan di bantaran Sungai Kahayan sangat berisiko. Sudah sejak lama pemko mencanangkan relokasi warga yang bermukim di wilayah bantaran Sungai Kahayan. Namun rencana itu belum bisa direalisasikan karena ada penolakan dari warga.

“Ada banyak sekali alasan mereka menolak, ada yang karena akses ke tempat kerja. Saya berharap Dinas Perkimtan bisa melakukan inspeksi untuk mencari tahu penyebab ablasi itu,” kata Reja.

Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini juga meminta pemko bersama dinas terkait segera berkomunikasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah Flamboyan Bawah untuk bersama-sama mencari solusi terbaik. (dan/ena/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Ablasi di tepian Sungai Kahayan mengakibatkan beberapa rumah warga di kawasan Flamboyan Bawah rusak. Fenomena ini juga mengancam rumah warga lainnya. Jika tidak segera diantisipasi, maka ablasi berpotensi meluas ke kompleks permukiman warga di bantaran Sungai Kahayan.

Ancaman ablasi ini mendapat sorotan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng maupun akademisi yang punya perhatian terhadap isu-isu lingkungan hidup. Kedua pihak sama-sama menyampaikan pernyataan yang mengarah pada kesimpulan bahwa permukiman penduduk di bantaran Sungai Kahayan harus segera direlokasi.

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengatakan, secara umum fenomena ablasi terjadi karena faktor alam dan nonalam. Faktor alam terjadi karena debit air sungai yang terus naik, sementara faktor non alam berupa aktivitas manusia yang mempercepat terjadinya ablasi.

“Ablasi bisa terjadi karena debit air yang tinggi akibat aktivitas di wilayah hulu sungai atau daerah-daerah resapan air, itu juga menjadi faktor terjadinya ablasi di wilayah pinggir Sungai Kahayan,” jelas Bayu kepada Kalteng Pos, Selasa (3/1).

Selain faktor alam, ada faktor nonalam. Biasanya terjadi karena adanya intervensi dari manusia, seperti aktivitas pertambangan atau pembangunan permukiman yang tidak sesuai atau tidak cocok dengan alokasi ruang.

“Dua faktor itu menjadi indikator yang memperparah ablasi di Kalteng, khususnya di DAS Kahayan ya,” tuturnya.

Bayu mengatakan, secara spesifik daerah Flamboyan merupakan area rawa. Dalam ilmu tata ruang, tidak layak dijadikan area pemukiman, karena posisi wilayahnya persis berada di cekungan atau teluk sungai.

“Kalau dari sudut pandang penataan ruang, harusnya wilayah seperti ini dilakukan upaya rehabilitasi sesuai fungsinya,” ucap Bayu.

Lebih lanjut dikatakannya, wilayah Flamboyan semestinya menjadi daerah cekungan atau teluk sungai yang bebas dari permukiman. Perlu ada upaya agar sungai bisa dipulihkan kembali, dengan cara rehabilitasi. Konsekuensinya perlu dilakukan relokasi permukiman warga agar wilayah itu berfungsi seperti sedia kala.

Baca Juga :  Vonis Mantan Camat Berkurang di Tingkat Banding

“Kalau kita bicara dalam konteks pemulihan sungai, berarti kita harus menghilangkan intervensi-intervensi yang ada di sana, seperti pemanfaatan wilayah yang tidak sesuai ruangnya, tentunya ada konsekuensi berupa relokasi,” jelasnya.

Namun relokasi juga harus memperhatikan aspek sosial. Mengingat masyarakat Dayak maupun masyarakat secara umum banyak bermukim di bantaran sungai. Perlu adanya pengetahuan yang baik dan lintas disiplin, tak hanya mengkaji aspek lingkungan, tapi juga aspek sosial, agar solusi merelokasi warga bisa komprehensif.

Jika pemerintah berencana menerapkan konsep Water Front City (WFC) dengan upaya penataan ruang untuk merehabilitasi kawasan itu, lanjut Bayu, maka hak-hak masyarakat pun perlu dipenuhi.

“Tidak serta-merta merelokasi tanpa ada pemulihan hak masyarakat, termasuk aspek sosialnya. Misalnya, permukiman baru harus difasilitasi oleh pemerintah,” ujarnya.

Bayu menyarankan agar pemerintah bisa memastikan intervensi di wilayah hulu sungai benar-benar dihentikan sebagai upaya jangka panjang. Sementara solusi jangka pendek, pemerintah harus melihat kembali apa saja kebutuhan masyarakat di kawasan Flamboyan.

“Jika diidentifikasi, sejauh ini sudah ada warga yang mau untuk direlokasi, jadi harus difasilitasi pemerintah, lokasi untuk kawasan permukiman baru harus disiapkan, sehingga upaya-upaya mengurangi dampak kerusakan lingkungan atau infrastruktur bisa diminimalkan,” tandasnya.

Terpisah, dosen senior Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMPR) Siti Maimunah SHut MP mengatakan, bantaran sungai bukanlah lokasi yang baik untuk dijadikan pemukiman. Bantaran sungai harusnya merupakan lahan terbuka hijau yang dijaga dan dirawat. Sesuai peraturan, wilayah bantaran sungai atau area sepanjang 100 meter pada sisi kanan dan kiri sungai merupakan kawasan konservasi untuk menjaga daerah aliran sungai (DAS).

Baca Juga :  Relokasi Permukiman Tepian Kahayan Perlu Pertimbangkan Aspek Sosial

”Flamboyan Bawah itu adalah kawasan kanan dan kiri sungai yang seharusnya merupakan wilayah konservasi, malah dijadikan pemukiman. Tidak adanya pelindung permukaan tanah dari hantaman air sungai karena tidak adanya akar pohon yang menguatkan tanah mengakibatkan mudahnya terjadi ablasi, apalagi selalu terjadi pasang surut air sungai,” jelas alumnus Instiper Yogyakarta, Selasa (3/1).

Menanggapi soal ablasi yang terjadi, Siti menyarankan adanya penanaman pohon di wilayah bantaran sungai dan merelokasi pemukiman warga. Selain itu perlu memasang pemecah gelombang berupa cerucuk bambu atau pohon sungkai atau galam di sepanjang bantaran sungai.

“Ablasi bisa saja makin meluas karena akan menggerus lebih dalam, bisa saja menjadi bencana rutin bila tidak dikendalikan secara benar,” ungkapnya.

Menurut Siti, solusi paling efektif adalah dengan merelokasi permukiman di wilayah bantaran sungai untuk selanjutnya ditanami pohon, lalu membuat terasering agar dapat mencegah ablasi yang lebih besar.

“Solusinya ya itu tadi, kosongkan bantaran sungai dari pemukiman, tanam pohon di sekitaran bantaran sungai, dan buat terasering untuk mencegah ablasi yang lebih besar,” tandasnya.

Sementara itu, Anggota DPRD Palangka Raya Reja Framika menyebut bahwa keberadaan bangunan di bantaran Sungai Kahayan sangat berisiko. Sudah sejak lama pemko mencanangkan relokasi warga yang bermukim di wilayah bantaran Sungai Kahayan. Namun rencana itu belum bisa direalisasikan karena ada penolakan dari warga.

“Ada banyak sekali alasan mereka menolak, ada yang karena akses ke tempat kerja. Saya berharap Dinas Perkimtan bisa melakukan inspeksi untuk mencari tahu penyebab ablasi itu,” kata Reja.

Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini juga meminta pemko bersama dinas terkait segera berkomunikasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah Flamboyan Bawah untuk bersama-sama mencari solusi terbaik. (dan/ena/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/