PALANGKA RAYA-Konflik perkebunan antara masyarakat dengan korporasi di sejumlah wilayah mendapat perhatian serius Dewan Adat Dayak (DAD) Kalteng. Lembaga adat yang santer menangani persoalan itu pun buka suara. Pihaknya ingin menegaskan posisi masyarakat adat Dayak dalam sebagian besar arus konflik itu.
Ketua Umum (Ketum) DAD Kalteng Agustiar Sabran melalui Sekretaris Umum DAD Kalteng Yulindra Dedy menegaskan, masyarakat Dayak Kalteng bukanlah masyarakat yang memiliki jiwa pencuri. Masyarakat Dayak adalah pekerja. Tidak ada dalam aturan adat yang menganjurkan masyarakat untuk mencuri.
“Saya tegaskan, masyarakat Dayak tidak punya jiwa pencuri, juga tidak ada dalam aturan hukum adat bahwa masyarakat diperkenankan untuk mencuri, masyarakat Dayak punya mental pekerja, punya kemampuan bekerja, termasuk bersinergi dengan perusahaan untuk mengelola perkebunan yang ada,” kata Dedy kepada wartawan usai menghadiri kegiatan Hasupa Hasundau DAD Kalteng di Aula Dinas Perhubungan (Dishub) Kalteng, Selasa (4/6).
Dedy menyebutkan, ada banyak skema yang ditawarkan perusahaan yang tertuang dalam regulasi untuk mempekerjakan warga lokal. Saat sidang adat yang dilakukan beberapa waktu lalu, pihaknya tidak ingin permasalahan investasi yang ada berdampak secara negatif bagi masyarakat secara luas, seperti konflik yang menimbulkan luka bagi masyarakat.
“Kami lebih menganjurkan pola kemitraan, sambil mencari pola-pola tadi dengan adanya kebijakan pusat yang menyebut bahwa pemutihan adalah salah satu skema untuk menata karut-marut penggunaan lahan di Indonesia, ini peluang bagi kita untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tuturnya.
Pada prinsipnya, Dedy menyebut pihaknya tidak mendukung kegiatan pencurian yang dilakukan oleh sekelompok warga. Pihaknya juga keberatan dengan stigma negatif yang melekat pada masyarakat adat Dayak Kalteng selama ini, khususnya yang tinggal di sekitar perkebunan perusahaan.
Menanggapi terkait kasus tertembaknya seorang warga di perkebunan sawit PT Sinar Cipta Cemerlang (SCC) baru-baru ini, Dedy menyebut pihaknya menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kasus itu kepada aparat penegak hukum. Seperti diketahui, korban merupakan warga Desa Rubung Buyung, Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).
“Kami dari sisi adat akan memonitor kalau ada pelanggaran dari sisi adat, pihak kepolisian pasti akan berkomunikasi dengan kelembagaan adat agar bersama-sama memberikan kesejukan kepada masyarakat dalam menyelesaikan sengketa adat,” ucapnya.
Birokrat yang menjabat Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kalteng itu menyebut, Pemprov Kalteng sudah memiliki pedoman atau acuan terkait penyelesaian konflik tenurial. Seperti Perda Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kebun Berkelanjutan dan Pergub Nomor 42 Tahun 2014 yang mengatur tentang pedoman penyelesaian konflik tenurial antara masyarakat dengan perusahaan besar swasta (PBS) di bidang perkebunan.
“Aturan itulah yang menjadi acuan kami, saling bersinergi, penyelesaian ini tidak hanya menjadi tanggung jawab kelembagaan adat ketika ada yang terluka dan lain-lain, tetapi sama-sama menyelesaikan, ada pemerintah daerah, aparat penegak hukum, atau instansi terkait lain, kan bisa duduk bersama mencarikan solusi terbaik,” jelasnya.
Peristiwa jatuhnya korban jiwa saat kepolisian melakukan pengamanan di perkebunan sawit milik PT SCC juga mendapat sorotan dari Wakil Ketua Komisi I DPRD Kalteng, Kuwu Senilawati. Kuwu menegaskan, pemerintah daerah harus ikut serta dalam upaya pencegahan maupun menyelesaikan tiap konflik yang melibatkan masyarakat dan pihak investor.
“Jangan sampai investasi menelan korban. Pemerintah daerah harus turun tangan membantu pencegahan maupun penyelesaian (konflik agraria),” ucap Kuwu, Senin (3/6).
Menurutnya, kejadian tersebut akan terus berulang jika pemerintah abai dan tidak peduli, hingga berakibat merugikan banyak pihak. “Semua ini akan terus berulang kalau tidak dilakukan pencegahan-pencegahan yang indikatornya mengarah kepada konflik sosial di masyarakat,” terangnya.
Ia meyakini konflik-konflik agraria yang terjadi selama ini tidak jauh dari masalah tumpang tindih lahan, CSR yang tidak diimplementasikan, hingga persoalan pembagian kebun masyarakat atau plasma. “Dari semua indikator itu, terpusat ke urusan kampung tengah (perut, red). Artinya masyarakat juga butuh makan. Kalau semua merasa benar, yang salah siapa,” ujarnya.
Wakil rakyat dari Fraksi Partai Gerindra itu menyebut Kalteng memang membutuhkan investasi untuk membangun daerah. Namun di sisi lain, masyarakat tidak semestinya menjadi korban.
“Kita membuka peluang investasi di Kalteng ini, tujuannya untuk memberikan peningkatan pada ekonomi sosial masyarakat. Kalau bukan masyarakat yang merasakan hasilnya, untuk apa investasi,” ujarnya. (dan/ce/ala)