PALANGKA RAYA,KALTENG POS-Sosok Syekh Abu Hamid, seorang ulama keturunan langsung dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, memegang peran penting dalam sejarah dan spiritualitas Islam di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Tengah. Meskipun waktu singgah beliau di tanah ini singkat, makam Syekh Abu Hamid di pesisir Ujung Pandaran, Kabupaten Kotawaringin Timur, kini menjadi salah satu tujuan ziarah religi yang ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah.
Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Tengah, Prof. Dr. H. Khairil Anwar, Syekh Abu Hamid bukanlah sosok sembarangan. Beliau merupakan bagian tak terpisahkan dari silsilah keilmuan dan spiritual yang dikenal sebagai Syajaratul Arsadiyah, yaitu garis keturunan dari Syekh Arsyad Al-Banjari, ulama besar yang gigih menyebarkan ajaran Islam di Kalimantan Selatan dan sekitarnya.
“Syekh Abu Hamid diketahui berasal dari Kalimantan Barat. Beliau dalam perjalanan hendak berziarah ke Kelampayan, makam datuknya, Syekh Arsyad Al-Banjari. Namun, takdir berkata lain. Beliau jatuh sakit di tengah perjalanan dan wafat di Ujung Pandaran. Makamnya pun akhirnya berada di sana dan sangat dimuliakan hingga kini,” jelas Prof. Khairil Anwar pada Jumat (27/6).
Meski secara historis Syekh Abu Hamid tidak sempat berdakwah secara langsung di wilayah Sampit atau sekitarnya, kehadiran makam beliau di Kotawaringin Timur tetap dianggap sebagai jejak penting dalam sejarah penyebaran Islam di Kalimantan Tengah. Hal ini didasari pada nilai keberkahan dan silsilah keulamaan yang melekat pada beliau, yang diyakini membawa pengaruh spiritual yang kuat bagi masyarakat sekitar dan para peziarah.
“Istimewanya, makam beliau ini pernah diziarahi oleh almarhum Guru Sekumpul atas petunjuk dari Guru Haji Muhammad Irsyad. Ini menunjukkan bahwa keberadaan makam beliau mendapat pengakuan dan penghormatan dari para ulama besar di Kalimantan,” terang Prof. Khairil.
Meski dokumentasi sejarah tertulis tentang Syekh Abu Hamid masih sangat terbatas dan sebagian besar informasi diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, pengaruh beliau tetap terasa kuat. Masyarakat setempat secara turun-temurun meyakini keberadaan beliau sebagai bagian integral dari rangkaian para penyebar Islam di Borneo, terutama melalui keturunan dan jejaring keulamaan Arsadiyah yang kuat.
“Sejarah ini memang banyak berasal dari mulut ke mulut, belum banyak ditemukan sumber tertulis otentik. Tapi di kalangan ulama dan masyarakat yang memahami silsilah Syajaratul Arsadiyah, keberadaan Syekh Abu Hamid tidak diragukan,” tambah Prof. Khairil.
Menurut beberapa peneliti sejarah lokal, nama Abu Hamid belum banyak disebut dalam literatur populer atau ensiklopedia daring seperti Wikipedia. Oleh karena itu, penting untuk terus menggali sejarah ulama Kalimantan ini dari para pewaris ilmu dan keturunan yang memahami silsilah dan perjalanan para wali di Kalimantan, guna memperkaya literasi sejarah Islam di Nusantara. (selesai/zia/ala)