Minggu, September 29, 2024
23.7 C
Palangkaraya

Siapkan Konsep Menata Tepian Kahayan, Ada Skema Relokasi ke Tempat Baru

PALANGKA RAYA-Lokasi bantaran Sungai Kahayan yang kumuh dan berantakan bisa disulap menjadi lokasi yang indah dipandang mata dan bernilai wisata. Solusinya dengan menerapkan konsep water front city di wilayah pinggiran sungai itu.

Water front city merupakan konsep pengembangan daerah pinggir sungai dengan desain bangunan yang memadai, baik dari aspek lingkungan maupun kesehatan. Melalui pembangunan water front city, wajah pinggir sungai yang kumuh dan berantakan bisa diubah menjadi lokasi yang indah dipandang dan bahkan bernilai wisata.

Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah Provinsi Kalteng telah mengadakan sayembara desain konsep water front city yang cocok diterapkan di bantaran Sungai Kahayan. Pemenang sayembara pun sudah ditentukan. Desain yang ditampilkan begitu ciamik. Buah karya Alfriady Ivan Sahadula ST MT IAI. Selaku arsitek yang mendesain konsep water front city itu, dikatakannya bahwa awal pengembangan desain yang dibuat dan diposting baru-baru ini di akun Instagram pribadinya itu merupakan hasil sayembara tahun 2011.

“Hasil sayembara 2011 dan desain saya itu sudah mulai dilakukan pengembangan pembangunan pada tahun 2017, wujudnya itu area Taman Pasuk Kameloh dan Masjid, yang selebihnya terus dikembangkan sampai sekarang,” jelas Ivan kepada Kalteng Pos, Rabu (4/1).

Pria yang akrab disapa Ivan itu mengatakan, selain pemerintah daerah, juga ada keinginan dari pemerintah pusat untuk mengubah wajah kawasan itu menjadi lebih baik, khususnya untuk menangani kawasan kumuh. “Dari pemerintah pusat itu intervensinya untuk menangani kawasan kumuh, sementara pemko lebih pada menata taman kota,” bebernya.

 

Ia mengatakan, pemerintah provinsi kemudian melirik kembali desainnya, karena melihat potensi wisata di kawasan tepian Sungai Kahayan yang berprospek cerah. Khususnya pada desain water front city yang digagasnya.

“Desain saya itu mau direncanakan dan dilanjutkan lagi, akhirnya ada rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL) supaya plotting untuk membangun kawasan itu sesuai dengan aturan-aturan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga kawasan itu bermanfaat lebih bagi masyarakat,” jelasnya. “Dengan mempertimbangan sesuai konteks daerah seperti apa,” tambahnya.

Dikatakan Ivan, konsep desain itu mempertimbangkan banyak aspek. Utamanya aspek sosial dan budaya. Apalagi kawasan itu diperuntukkan sebagai permukiman atau hunian warga. Wajah kumuh dan tak tertata menjadi pemicu perlunya mewujudkan desain water front city. Sesuai dengan desain itu, strategi pihaknya ke depan, lanjut Ivan, ingin mengembalikan kawasan pinggir Sungai Kahayan itu sesuai fungsinya, yakni sebagai area konservasi atau area hijau.

“Strategi kita ke depan kawasan itu sebenarnya mau dikembalikan ke fungsi awalnya, kalau dulu direncanakan sebagai jalur hijau, karena bantaran sungai memang semestinya bebas dari permukiman penduduk,” tuturnya.

Ada dua skema untuk merealisasikan desain tersebut. Skema pertama adalah dengan merelokasi warga ke lokasi baru. Skema kedua adalah menata kembali kawasan tersebut yang memungkinkan warga tetap tinggal di wilayah itu.

“Permukimannya tetap ada, tapi dengan penataan yang lebih baik, atau masyarakat bersedia direlokasi dari kawasan itu, tergantung komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat di kawasan itu,” ujarnya.

Sarjana jebolan arsitektur UPR itu menuturkan, desain timnya bisa memenangkan sayembara karena lebih mementingkan karakteristik lingkungan dan sosial.

“Kami menerapkan desain yang sesuai karakteristik lingkungan dan sosial yang ada di wilayah itu,” jelasnya.

Berdasarkan perhitungan kasar, desain itu dapat diwujudkan dengan estimasi di atas Rp500 miliar. “Ini masih prediksi ya, karena kami tidak tahu akan dibangun sekaligus atau beberapa saja, atau malah keseluruhan,” tambahnya.

Ivan menegaskan pihaknya tidak punya kewenangan mengeksekusi desain tersebut, karena hanya sebatas mendesain. “Yang berwenang itu pemerintah provinsi dan pemerintah kota,” tambahnya.

Terpisah, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Palangka Raya Arbert Tombak menyebut, masalah terkait pembenahan wilayah bantaran Sungai Kahayan bukan kewenangan pihaknya, melainkan kewenangan PUPR provinsi.

“Untuk wilayah pinggir Sungai Kahayan itu kewenangan PUPR provinsi, silakan konfirmasi ke sana saja,” ucapnya, Senin (3/1).

Arbert juga tak memberi tanggapan saat ditantai terkait konsep desain water front city. “Lain kali saja ya mas, karena saya sedang cuti,” tuturnya.

Menyikapi masalah ablasi yang terus terjadi di kompleks permukiman warga di tepian Sungai Kahayan, Sekda Kota Palangka Raya Dr Hera Nugrahayu mengatakan pihaknya sudah melakukan tindakan untuk memastikan perlindungan kepada masyarakat. Gerakan awal, pemko sudah turun ke lapangan untuk memastikan warga punya penampungan sementara.

“Dua hari yang lalu pak wali kota langsung memimpin rapat dalam rangka penanganan, sudah ada konsep-konsep untuk ke depannya, walau belum bisa clear, karena harus ada beberapa hal yang harus kami cek di lapangan. Kemarin camat, lurah, dan perangkat daerah terkait sudah memastikan kondisi teknis di lapangan,” ucap Hera kepada wartawan di halaman Kantor Kemenag Kota Palangka Raya, Kamis (5/1).

Pemko, kata sekda, masih mempertimbangkan berbagai hal teknis. Sejauh ini untuk penanganan awal, pemerintah bergerak cepat mencarikan tempat tinggal sementara bagi warga yang terdampak ablasi.

“Sudah ada gambaran, tapi belum diputuskan wali kota, opsi-opsinya sudah ada, jangka menengah dan jangka panjang, tentu saja berbagai regulasi harus kami kaji kembali, aturan-aturan berkaitan dengan penataan ruang dan sebagainya,” ucap Hera.

Pihaknya juga akan berkolaborasi dan bersinergi dengan pemprov, karena pihak pemprov menginginkan area Flamboyan Bawah dan sekitarnya, termasuk Pahandut Seberang dijadikan water front city.

Dikatakan Hera bahwa pemprov sudah punya konsep. Tinggal duduk bersama membahas tahapan-tahapan untuk pembangunan wilayah bantaran sungai. Menurutnya persoalan ini memerlukan perhatian dan keseriusan serta kolaborasi yang kuat.

“Tidak bisa hanya diurus pemko atau perangkat daerah teknis terkait saja,” ungkapnya.

Aspek sosial budaya dan lainnya harus dipertimbangkan. Intinya adalah penanganan tahap awal dan menengah sudah punya konsep tersendiri. “Kami sangat ingin warga yang ada di sana itu benar-benar terlindungi, jangan sampai ada yang jadi korban,” bebernya. (dan/*rid/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Lokasi bantaran Sungai Kahayan yang kumuh dan berantakan bisa disulap menjadi lokasi yang indah dipandang mata dan bernilai wisata. Solusinya dengan menerapkan konsep water front city di wilayah pinggiran sungai itu.

Water front city merupakan konsep pengembangan daerah pinggir sungai dengan desain bangunan yang memadai, baik dari aspek lingkungan maupun kesehatan. Melalui pembangunan water front city, wajah pinggir sungai yang kumuh dan berantakan bisa diubah menjadi lokasi yang indah dipandang dan bahkan bernilai wisata.

Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah Provinsi Kalteng telah mengadakan sayembara desain konsep water front city yang cocok diterapkan di bantaran Sungai Kahayan. Pemenang sayembara pun sudah ditentukan. Desain yang ditampilkan begitu ciamik. Buah karya Alfriady Ivan Sahadula ST MT IAI. Selaku arsitek yang mendesain konsep water front city itu, dikatakannya bahwa awal pengembangan desain yang dibuat dan diposting baru-baru ini di akun Instagram pribadinya itu merupakan hasil sayembara tahun 2011.

“Hasil sayembara 2011 dan desain saya itu sudah mulai dilakukan pengembangan pembangunan pada tahun 2017, wujudnya itu area Taman Pasuk Kameloh dan Masjid, yang selebihnya terus dikembangkan sampai sekarang,” jelas Ivan kepada Kalteng Pos, Rabu (4/1).

Pria yang akrab disapa Ivan itu mengatakan, selain pemerintah daerah, juga ada keinginan dari pemerintah pusat untuk mengubah wajah kawasan itu menjadi lebih baik, khususnya untuk menangani kawasan kumuh. “Dari pemerintah pusat itu intervensinya untuk menangani kawasan kumuh, sementara pemko lebih pada menata taman kota,” bebernya.

 

Ia mengatakan, pemerintah provinsi kemudian melirik kembali desainnya, karena melihat potensi wisata di kawasan tepian Sungai Kahayan yang berprospek cerah. Khususnya pada desain water front city yang digagasnya.

“Desain saya itu mau direncanakan dan dilanjutkan lagi, akhirnya ada rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL) supaya plotting untuk membangun kawasan itu sesuai dengan aturan-aturan dari berbagai disiplin ilmu, sehingga kawasan itu bermanfaat lebih bagi masyarakat,” jelasnya. “Dengan mempertimbangan sesuai konteks daerah seperti apa,” tambahnya.

Dikatakan Ivan, konsep desain itu mempertimbangkan banyak aspek. Utamanya aspek sosial dan budaya. Apalagi kawasan itu diperuntukkan sebagai permukiman atau hunian warga. Wajah kumuh dan tak tertata menjadi pemicu perlunya mewujudkan desain water front city. Sesuai dengan desain itu, strategi pihaknya ke depan, lanjut Ivan, ingin mengembalikan kawasan pinggir Sungai Kahayan itu sesuai fungsinya, yakni sebagai area konservasi atau area hijau.

“Strategi kita ke depan kawasan itu sebenarnya mau dikembalikan ke fungsi awalnya, kalau dulu direncanakan sebagai jalur hijau, karena bantaran sungai memang semestinya bebas dari permukiman penduduk,” tuturnya.

Ada dua skema untuk merealisasikan desain tersebut. Skema pertama adalah dengan merelokasi warga ke lokasi baru. Skema kedua adalah menata kembali kawasan tersebut yang memungkinkan warga tetap tinggal di wilayah itu.

“Permukimannya tetap ada, tapi dengan penataan yang lebih baik, atau masyarakat bersedia direlokasi dari kawasan itu, tergantung komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat di kawasan itu,” ujarnya.

Sarjana jebolan arsitektur UPR itu menuturkan, desain timnya bisa memenangkan sayembara karena lebih mementingkan karakteristik lingkungan dan sosial.

“Kami menerapkan desain yang sesuai karakteristik lingkungan dan sosial yang ada di wilayah itu,” jelasnya.

Berdasarkan perhitungan kasar, desain itu dapat diwujudkan dengan estimasi di atas Rp500 miliar. “Ini masih prediksi ya, karena kami tidak tahu akan dibangun sekaligus atau beberapa saja, atau malah keseluruhan,” tambahnya.

Ivan menegaskan pihaknya tidak punya kewenangan mengeksekusi desain tersebut, karena hanya sebatas mendesain. “Yang berwenang itu pemerintah provinsi dan pemerintah kota,” tambahnya.

Terpisah, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kota Palangka Raya Arbert Tombak menyebut, masalah terkait pembenahan wilayah bantaran Sungai Kahayan bukan kewenangan pihaknya, melainkan kewenangan PUPR provinsi.

“Untuk wilayah pinggir Sungai Kahayan itu kewenangan PUPR provinsi, silakan konfirmasi ke sana saja,” ucapnya, Senin (3/1).

Arbert juga tak memberi tanggapan saat ditantai terkait konsep desain water front city. “Lain kali saja ya mas, karena saya sedang cuti,” tuturnya.

Menyikapi masalah ablasi yang terus terjadi di kompleks permukiman warga di tepian Sungai Kahayan, Sekda Kota Palangka Raya Dr Hera Nugrahayu mengatakan pihaknya sudah melakukan tindakan untuk memastikan perlindungan kepada masyarakat. Gerakan awal, pemko sudah turun ke lapangan untuk memastikan warga punya penampungan sementara.

“Dua hari yang lalu pak wali kota langsung memimpin rapat dalam rangka penanganan, sudah ada konsep-konsep untuk ke depannya, walau belum bisa clear, karena harus ada beberapa hal yang harus kami cek di lapangan. Kemarin camat, lurah, dan perangkat daerah terkait sudah memastikan kondisi teknis di lapangan,” ucap Hera kepada wartawan di halaman Kantor Kemenag Kota Palangka Raya, Kamis (5/1).

Pemko, kata sekda, masih mempertimbangkan berbagai hal teknis. Sejauh ini untuk penanganan awal, pemerintah bergerak cepat mencarikan tempat tinggal sementara bagi warga yang terdampak ablasi.

“Sudah ada gambaran, tapi belum diputuskan wali kota, opsi-opsinya sudah ada, jangka menengah dan jangka panjang, tentu saja berbagai regulasi harus kami kaji kembali, aturan-aturan berkaitan dengan penataan ruang dan sebagainya,” ucap Hera.

Pihaknya juga akan berkolaborasi dan bersinergi dengan pemprov, karena pihak pemprov menginginkan area Flamboyan Bawah dan sekitarnya, termasuk Pahandut Seberang dijadikan water front city.

Dikatakan Hera bahwa pemprov sudah punya konsep. Tinggal duduk bersama membahas tahapan-tahapan untuk pembangunan wilayah bantaran sungai. Menurutnya persoalan ini memerlukan perhatian dan keseriusan serta kolaborasi yang kuat.

“Tidak bisa hanya diurus pemko atau perangkat daerah teknis terkait saja,” ungkapnya.

Aspek sosial budaya dan lainnya harus dipertimbangkan. Intinya adalah penanganan tahap awal dan menengah sudah punya konsep tersendiri. “Kami sangat ingin warga yang ada di sana itu benar-benar terlindungi, jangan sampai ada yang jadi korban,” bebernya. (dan/*rid/ce/ala)

Artikel Terkait