PALANGKA RAYA-Kasus penjarahan sawit mengancam keberlangsungan investasi sektor perkebunan. Persoalan itu menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan. Pemerintah telah bergerak cepat dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Konflik Sosial (PKS). Satgas ini bertugas menangani berbagai permasalahan sosial yang terjadi di berbagai sektor investasi di Bumi Tambun Bungai.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Pusat, Hadi Sugeng memastikan seluruh perusahaan yang menjadi anggota Gapki memahami regulasi-regulasi terkait perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pihaknya sudah mengajak kepada seluruh anggota agar memenuhi kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat (FPKM) atau plasma yang sesuai regulasi 20 persen.
“Kami tegak lurus dengan pemerintah, selama itu ada regulasinya, saya imbau kepada seluruh anggota harus mengikuti regulasi, tuntutan-tuntutan lain harus diselesaikan, tapi jangan lari dari ranah perundang-undangan,” ungkap Hadi kepada awak media usai menghadiri forum diskusi bertajuk Prospek Perkebunan Sawit Pasca-UUCK di Swiss-Belhotel Danum, Palangka Raya, Senin (5/2).
Terkait dengan kasus penjarahan kebun sawit, Hadi menyebut hal itu terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Pihaknya sudah melakukan sosialisasi kepada beberapa pihak agar dapat bersama-sama menyikapi persoalan ini dengan bijak.
“Alhamdulillah sampai hari ini sudah mereda, tinggal kami terus mendorong agar anggota mematuhi regulasi perundang-undangan yang berlaku,” sebutnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rizky R Badjuri mengatakan, pertemuan tersebut merupakan forum diskusi dan merupakan bagian dari tahapan koordinasi terhadap penyelesaian konflik-konflik yang terjadi di lapangan.
“Kami kan masih mencari solusi, kalau solusi sudah ada, masyarakat bisa sejahtera, perusahaan bisa berinvestasi dengan nyaman di Kalteng, tentu tidak ada yang dirugikan,” sebutnya.
Ia menyebut secara persuasif kini pihaknya masih mencari langkah solusi terbaik bagi konflik-konflik yang ada. Ia mengakui bahwa masih banyak konflik agraria di sektor perkebunan yang terjadi di Kalteng. Ke depan tentu ada arahan dari gubernur dan kapolda untuk membuat dunia investasi tetap berjalan.
“Mudah-mudahan ini menjadi hal yang baik untuk penyelesaian konflik, yang penting konfliknya selesai dulu,” ucapnya.
Menanggapi maraknya fenomena penjarahan, Rizky menyebut adanya fenomena itu tentu tidak akan terjadi jika taraf hidup masyarakat sudah sejahtera. Maka dari itu, pihaknya mendorong agar realisasi plasma oleh korporasi bisa terlaksana. Sudah ada 21 perusahaan yang melaksanakan plasma tersebut.
“Kami melihat dengan realistis, perusahaan dan masyarakat, tetapi kalau memang perusahaan sudah memberikan dengan pola yang lain, kami edukasi kepada masyarakat bahwa itu sudah, tapi kalau belum, memang perusahaan yang berdiri di bawah 2007 tidak wajib, tetapi kami bisa mendorong dengan cara yang lain agar masyarakat sejahtera,” jelasnya.
Di tempat yang sama, pakar hukum kehutanan Indonesia, Sadino mengatakan, dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), istilah plasma terjadi pembaruan. Realisasinya pun tidak harus dalam bentuk tanaman, melainkan dalam bentuk lain yang nilainya hampir sama atau mendekati.
“Lebih lanjut ini menjadi tugas pemerintah untuk merumuskan itu, karena merupakan amanah dari UUCK klaster perkebunan, Permentan Nomor 26 Tahun 2021, dan Permentan Nomor 18 Tahun 2021, hitung-hitungan tadi yang sampai sekarang belum turun,” tuturnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, jika realisasi plasma hanya terbatas pada tanaman, harus dalam bentuk tanaman sawit. Yang menjadi kesulitan adalah daerah-daerah yang minim ketersediaan lahan seperti Kalteng. Jika perusahaan membuka kebun dalam kawasan hutan, maka perusahaan akan bermasalah di kemudian hari.
“Kalau membuka lahan baru di atas kawasan, perusahaan bisa kena pelanggaran, kemitraan juga. Makanya, karena ketersediaan lahan tidak terpenuhi, muncullah aturan soal pengganti tanaman sawit,” jelasnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia itu menyebut, sudah menjadi tugas regulator, dalam hal ini pemerintah untuk menentukan pemenuhan plasma dalam bentuk apa saja. Jika pemerintah sudah menentukan adanya ekuivalensi, misalnya dalam kemitraan per hektare adalah Rp3juta atau Rp20 juta, yang terpenting adalah aturan yang menaungi itu sudah ada.
“Kalau sudah ada aturannya, pasti akan dibayar oleh pelaku usaha, karena dengan ada peraturan itu, artinya pemenuhan kewajiban itu sudah ada. Masalahnya, kalau perusahaan mau membayar pun, dasar hukumnya tidak ada, jangan-jangan tidak diakui,” terangnya.
Ia juga menekankan adanya peran dari pemerintah daerah terkait dengan kemitraan. Pemerintah harus memastikan siapa saja warga yang berhak memperoleh plasma tersebut.
“Misalnya bupati, kalau ada bagi lahan, calon petani calon lahan (CPCL) itu kan juga dari bupati, dalam kondisi ini sering ditarik ulur, ada klausul bahwa kemitraan itu harus masyarakat sekitar, ini tugasnya dari pemerintah daerah,” jelasnya.
Sementara itu, Kapolda Kalteng Irjen Djoko Poerwanto mengatakan, terdapat sejumlah temuan pelanggaran perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalteng yakni kebunnya dibuka tanpa izin dan tanpa hak atas tanah. Salah satunya adalah kebun yang dibuka di atas kawasan hutan. Hal itu tentu saja memicu konflik dengan masyarakat, di samping tidak dilaksanakannya FPKM, kegiatan kemitraan, atau usaha produktif.
“Yang memicu konflik sosial juga adalah adanya kegiatan kebun di luar izin yang diberikan dan keberadaan pabrik kelapa sawit tanpa kebun,” bebernya.
Untuk mencegah konflik meletus, pihaknya mengidentifikasi sejumlah potensi konflik akibat pelanggaran aturan perkebunan kelapa sawit. Secara garis besar pemicunya adalah hal-hal yang disebutkan tadi. Akibat kebun berdiri di atas kawasan hutan, potensi konflik seperti terganggunya fungsi kawasan, potensi kekurangan penerimaan negara, dan sengketa antara perusahaan pemegang IUP dengan badan usaha lain yang memperoleh izin usaha lain dapat terjadi.
“Sementara kalau FPKM, jika itu tidak dilakukan, tentu akan memicu konflik antara perusahaan dan masyarakat sekitar yang menuntut realisasi, itu pula yang sedikit banyak memicu penjarahan atau pencurian tandan buah segar,” sebutnya.
Keberadaan kebun di luar izin yang diberikan juga menyebabkan berkurangnya pemasukan negara dan terjadi gesekan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar yang mengklaim lahan di areal yang telah diusahakan oleh perusahaan. Di samping itu, eksisnya pabrik kelapa sawit tanpa kebun menimbulkan sejumlah masalah.
“Adanya pabrik tanpa kebun ini menyebabkan maraknya penjarahan atau pencurian TBS di areal kebun sawit dan memicu terjadinya tindak pidana lain, salah satunya tindak pidana narkoba,” tandasnya. (dan/ce/ala)