Rabu, Januari 8, 2025
27.1 C
Palangkaraya

Sengketa Pilkada di Kalteng; Sejumlah Gugatan ke MK Diprediksi Kandas

PALANGKA RAYA-Mahkamah Konstitusi (MK) menerima 10 gugatan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Meski semua permohonan itu teregistrasi dan masuk tahap pemeriksaan, para praktisi hukum memprediksi sejumlah gugatan bakal kandas atau tumbang pada fase ini, sehingga tidak dilanjutkan ke tahap pembuktian dan saksi.

Praktisi hukum Ari Yunus Hendrawan mengatakan, perkara di MK baru masuk pada tahap selesainya hasil pemeriksaan.

Terhadap permohonan-permohonan itu telah dilakukan pemeriksaan dan telah dicatat dalam buku registrasi perkara yang memuat catatan mengenai nomor perkara, nama pemohon dan atau kuasa hukum, termohon dan atau kuasa hukum, pihak terkait dan atau kuasa hukum, Badan Pengawas Pemilihan Umum dan atau kuasa hukum, pokok perkara, waktu penerimaan permohonan, perbaikan permohonan (pukul, tanggal, hari, bulan, dan tahun), dan kelengkapan permohonan.

Ari Yunus menggarisbawahi tahap tersebut bukan permohonan diterima. Namun, selanjutnya proses perkara akan masuk persidangan fase satu atau memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan serta memeriksa dan mengesahkan alat bukti pemohon.

“Pada persidangan fase satu dilakukan mulai dari pemeriksaan pendahuluan, penyampaian jawaban termohon, keterangan pihak terkait, dan keterangan Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota,” ungkap Ari Yunus kepada Kalteng Pos, Senin (6/1/2025).

Baca Juga :  Banyak Aduan Masyarakat Soal PBS

Selanjutnya dalam persidangan dilakukan pemeriksaan persidangan, pelaksanaan rapat permusyawaratan hakim, dan pengucapan putusan/ketetapan. Pada persidangan fase satu belum masuk ke pembuktian dan belum ada keterangan saksi.

“Kita ambil contoh apakah gugatan calon wali kota Rojikinnor pada Pilkada Kota Palangka Raya bisa dilanjutkan pembuktian atau tidak, itu tergantung keputusan pemeriksaan persidangan fase satu yang hanya dihadiri tiga hakim,” jelasnya.

Ia menambahkan, terhadap selisih suara yang melebihi ambang batas bisa dikesampingkan, asalkan dalam persidangan fase satu nanti bisa menunjukkan data terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) memengaruhi secara signifikan melebihi 30 ribu. Hal itu juga yang terjadi pada Pilkada Barito Selatan dan Kotawaringin Timur karena selisih yang terbilang besar.

Ia menjelaskan, MK dalam sejumlah putusan telah menunjukkan keberpihakannya pada asas keadilan dengan menunda pemberlakuan Pasal 158 dalam situasi tertentu.

“Beberapa putusan penting yang menjadi sorotan adalah Putusan MK Nomor 2/PHP.KOT-XVI/2018 di Pare-Pare. Dalam kasus ini, MK menunda pemberlakuan ambang batas karena adanya indikasi pelanggaran TSM yang berpotensi memengaruhi hasil pemilu,” tegasnya.

Selain itu, ada Putusan MK Nomor 84/PHP.BUP-XIX/2021 pada Pilkada Nabire. Dalam putusan itu, MK memutuskan untuk tetap memeriksa pokok perkara meski selisih suara melampaui ambang batas, dengan alasan pelanggaran yang dilaporkan sangat serius dan memengaruhi integritas pemilu.

Baca Juga :  Mantan Plt Kadisdik Katingan Dua Kali Menang Praperadilan

Selanjutnya, ada Putusan MK Nomor 135/PHP.BUP-XIX/2021 di Sabu Raijua, di mana terjadi pelanggaran administratif berupa pencalonan yang tidak memenuhi syarat, dianggap sebagai pelanggaran fundamental yang melampaui kepatuhan pada ambang batas suara.

Terakhir, Putusan MK Nomor 21/PHP.KOT-XIX/2021 pada Pilkada Banjarmasin. MK memutuskan untuk mempertimbangkan pelanggaran substantif bersama dengan ambang batas, menunjukkan bahwa tiap perkara harus dinilai secara komprehensif.

Ia memprediksi persidangan yang akan berjalan alot akan terjadi pada selisih suara yang kecil. Di antaranya, Barito Utara dan Murung Raya.

“Sedangkan yang lain mungkin akan banyak tumbang pada persidangan fase satu, tidak sampai masuk ke tahap pembuktian dan saksi,” tegasnya.

Ia menyebut, dalam praktiknya berdasarkan data yang tercatat MK, sampai dengan tahun 2021 telah ada 1.136 perkara sengketa pilkada yang diajukan.

Akan tetapi hanya 38 perkara yang dikabulkan atau sekitar 3,3% dari total kasus yang diajukan. Hal ini menunjukkan bahwa MK sangat selektif dalam mengabulkan permohonan sengketa pilkada.(irj/ala)

PALANGKA RAYA-Mahkamah Konstitusi (MK) menerima 10 gugatan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) di Kalimantan Tengah (Kalteng).

Meski semua permohonan itu teregistrasi dan masuk tahap pemeriksaan, para praktisi hukum memprediksi sejumlah gugatan bakal kandas atau tumbang pada fase ini, sehingga tidak dilanjutkan ke tahap pembuktian dan saksi.

Praktisi hukum Ari Yunus Hendrawan mengatakan, perkara di MK baru masuk pada tahap selesainya hasil pemeriksaan.

Terhadap permohonan-permohonan itu telah dilakukan pemeriksaan dan telah dicatat dalam buku registrasi perkara yang memuat catatan mengenai nomor perkara, nama pemohon dan atau kuasa hukum, termohon dan atau kuasa hukum, pihak terkait dan atau kuasa hukum, Badan Pengawas Pemilihan Umum dan atau kuasa hukum, pokok perkara, waktu penerimaan permohonan, perbaikan permohonan (pukul, tanggal, hari, bulan, dan tahun), dan kelengkapan permohonan.

Ari Yunus menggarisbawahi tahap tersebut bukan permohonan diterima. Namun, selanjutnya proses perkara akan masuk persidangan fase satu atau memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan serta memeriksa dan mengesahkan alat bukti pemohon.

“Pada persidangan fase satu dilakukan mulai dari pemeriksaan pendahuluan, penyampaian jawaban termohon, keterangan pihak terkait, dan keterangan Bawaslu provinsi atau Bawaslu kabupaten/kota,” ungkap Ari Yunus kepada Kalteng Pos, Senin (6/1/2025).

Baca Juga :  Banyak Aduan Masyarakat Soal PBS

Selanjutnya dalam persidangan dilakukan pemeriksaan persidangan, pelaksanaan rapat permusyawaratan hakim, dan pengucapan putusan/ketetapan. Pada persidangan fase satu belum masuk ke pembuktian dan belum ada keterangan saksi.

“Kita ambil contoh apakah gugatan calon wali kota Rojikinnor pada Pilkada Kota Palangka Raya bisa dilanjutkan pembuktian atau tidak, itu tergantung keputusan pemeriksaan persidangan fase satu yang hanya dihadiri tiga hakim,” jelasnya.

Ia menambahkan, terhadap selisih suara yang melebihi ambang batas bisa dikesampingkan, asalkan dalam persidangan fase satu nanti bisa menunjukkan data terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) memengaruhi secara signifikan melebihi 30 ribu. Hal itu juga yang terjadi pada Pilkada Barito Selatan dan Kotawaringin Timur karena selisih yang terbilang besar.

Ia menjelaskan, MK dalam sejumlah putusan telah menunjukkan keberpihakannya pada asas keadilan dengan menunda pemberlakuan Pasal 158 dalam situasi tertentu.

“Beberapa putusan penting yang menjadi sorotan adalah Putusan MK Nomor 2/PHP.KOT-XVI/2018 di Pare-Pare. Dalam kasus ini, MK menunda pemberlakuan ambang batas karena adanya indikasi pelanggaran TSM yang berpotensi memengaruhi hasil pemilu,” tegasnya.

Selain itu, ada Putusan MK Nomor 84/PHP.BUP-XIX/2021 pada Pilkada Nabire. Dalam putusan itu, MK memutuskan untuk tetap memeriksa pokok perkara meski selisih suara melampaui ambang batas, dengan alasan pelanggaran yang dilaporkan sangat serius dan memengaruhi integritas pemilu.

Baca Juga :  Mantan Plt Kadisdik Katingan Dua Kali Menang Praperadilan

Selanjutnya, ada Putusan MK Nomor 135/PHP.BUP-XIX/2021 di Sabu Raijua, di mana terjadi pelanggaran administratif berupa pencalonan yang tidak memenuhi syarat, dianggap sebagai pelanggaran fundamental yang melampaui kepatuhan pada ambang batas suara.

Terakhir, Putusan MK Nomor 21/PHP.KOT-XIX/2021 pada Pilkada Banjarmasin. MK memutuskan untuk mempertimbangkan pelanggaran substantif bersama dengan ambang batas, menunjukkan bahwa tiap perkara harus dinilai secara komprehensif.

Ia memprediksi persidangan yang akan berjalan alot akan terjadi pada selisih suara yang kecil. Di antaranya, Barito Utara dan Murung Raya.

“Sedangkan yang lain mungkin akan banyak tumbang pada persidangan fase satu, tidak sampai masuk ke tahap pembuktian dan saksi,” tegasnya.

Ia menyebut, dalam praktiknya berdasarkan data yang tercatat MK, sampai dengan tahun 2021 telah ada 1.136 perkara sengketa pilkada yang diajukan.

Akan tetapi hanya 38 perkara yang dikabulkan atau sekitar 3,3% dari total kasus yang diajukan. Hal ini menunjukkan bahwa MK sangat selektif dalam mengabulkan permohonan sengketa pilkada.(irj/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/