Selasa, September 17, 2024
31.7 C
Palangkaraya

Sanggar Igal Jue Sukses Pukau Penonton lewat Tari Mansi Junyung

Menyaksikan Semarak Pentas Seni di Bundaran Besar

Sanggar yang ikut dalam pentas seni menyemarakkan hari jadi ke-79 kemerdekaan RI di Bundaran Besar, Palangka Raya, Sabtu malam (3/8/2024) adalah Sanggar Igal Jue. Tarian itu menceritakan mengenai adat, budaya, dan tradisi di Bumi Tambun Bungai.

 MUTOHAROH, Palangka Raya

DALAM pentas seni kali ini, Sanggar Seni dan Budaya Igal Jue menampilkan tari mansi junyung. Mansi junyung merupakan sebuah mangkuk berisi beras dan lilin yang digunakan sebagai sarana memanggil roh leluhur pada proses barasamah oleh para wadian. Karena itu, tarian ini bermakna penerangan yang di tiap sudut pandang ke depannya selalu terang.

Ica sebagai salah satu penari Sanggar Seni dan Budaya Igal Jue mengatakan, tarian yang dipertunjukkan malam itu mengekspresikan harapan bagi Kalteng ke depan yang makin terang benderang dan berkah. Tarian itu dibalut dalam bentuk seni dan budaya yang tidak lepas dari nilai akar budaya Kalteng, terkhusus daerah Barito Timur (Bartim).

“Tarian ini menceritakan tentang mansi junyung, yakni tentang sebuah mangkuk yang dipakai seorang Balian atau orang yang memimpin pengobatan dalam tradisi suku Dayak Ma’anyan dan sekitarnya,” ungkap Ica.

Selain mangkuk atau mansi junyung, ciri khas lain dari tarian ini adalah gelang yang dipakai para penari, baik wanita maupun pria. Gelang tersebut merupakan bagian dari tarian, yang juga menggambarkan sebuah permohonan kepada Yang Kuasa untuk menyembuhkan orang yang sedang sakit. Kostum yang digunakan penari dalam tarian ini penuh corak berwarna hitam, putih, merah, kuning, dan hijau yang merupakan warna ciri khas Dayak. Selain kostum yang penuh warna, juga dilengkapi asesori juga berupa kalung taring dan janur.

Baca Juga :  Distributor Oksigen Fokus Layani Medis

Melalui tarian ini, Sanggar Seni dan Budaya Igal Jue ingin mengingatkan dan mengenalkan tradisi masyarakat Kalteng. Ica juga mengajak generasi muda untuk mau mengembangkan dan mengenalkan kepada dunia kekayaan dan keberagaman budaya dan kearifan lokal.

“Kami ingin memperkenalkan tradisi kita orang Kalteng, anak muda jangan malu untuk berkarya dan melestarikan budaya kita, kalau bukan kita siapa lagi yang akan mempertahankan, melestarikan, dan mengenalkan budaya, tradisi, dan kesenian kita orang Dayak,” katanya.

Lebih lanjut Ica mengatakan, secara keseluruhan waktu persiapan untuk pertunjukan tarian ini sangat singkat. Hanya sekitar satu minggu. Akan tetapi, berkat kerja sama tim dan kekompakan penari, pemusik, dan Ringgo Winardo selaku ketua sanggar, tari mansi junyung itu bisa terkonsepkan dengan baik. Dan pada malam itu, Sanggar Seni dan Budaya Igal Jue berhasil memukau penonton dengan penampilan mereka.

“Persiapan kami kurang lebih satu minggu, jumlah penari ada sepuluh orang dan pemusik lima orang, kesulitan yang kami hadapi yaitu saat membuat konsepnya, harus menyesuaikan tarian dengan sinopsis, kami ingin masyarakat paham konsep tarian dan pesan yang ingin kami sampaikan,” jelasnya.

Baca Juga :  Siap Gelar Event Bergengsi di Bundaran Besar

Tidak hanya mengikuti lomba atau tampil dalam acara pernikahan dan perayaan, sebagai regenerasi dan upaya menyebarkan kebudayaan Kalteng, sanggar ini juga membuka kelas latihan menari pedalaman bagi anak-anak dari usia 10 tahun. Latihan dilakukan di Sanggar Seni dan Budaya Igal Jue yang berlokasi di Jalan C Bangas, Palangka Raya.

Salah satu warga yang menyaksikan penampilan seni malam itu, Salamah, mengaku cukup sering menghadiri dan menyaksikan pagelaran seni, baik seni tari, teater, maupun pantonim.

“Kalau bisa kegiatan kesenian seperti ini rutin dilakukan dengan memanfaatkan ikon kota ini, kalau bisa enggak cuman di Bundaran Besar, tetapi juga di lokasi lain, seperti Taman Pasuk Kameloh atau Tugu Soekarno, itu bisa dimanfaatkan sebagai panggung seni dan budaya,” kata Salamah.

Perempuan berstatus mahasiswi itu juga mengharapkan bahwa kegiatan kebudayaan juga dapat merambat ke kesenian lain seperti tarian pesisir. Ia juga berharap bisa menyaksikan penampilan tarian tradisional yang dikolaborasikan dengan tarian modern, agar tarian daerah tidak dianggap ketinggalan zaman. Meski begitu, tetap harus diperhatikan makna dan pesan dari tradisi yang ingin disampaikan. Jangan sampai disalahartikan.

“Kayaknya agak jarang tarian tradisional dipadukan dengan tarian modern, kalau ingin maju maka dua hal itu harus bisa dipadukan, dengan catatan tetap harus diperhatikan nilai, ciri khas, dan makna dari tarian tradisional yang ingin dibawakan, jangan sampai hilang atau disalahartikan,” tutupnya. (*/ce/ala)

Menyaksikan Semarak Pentas Seni di Bundaran Besar

Sanggar yang ikut dalam pentas seni menyemarakkan hari jadi ke-79 kemerdekaan RI di Bundaran Besar, Palangka Raya, Sabtu malam (3/8/2024) adalah Sanggar Igal Jue. Tarian itu menceritakan mengenai adat, budaya, dan tradisi di Bumi Tambun Bungai.

 MUTOHAROH, Palangka Raya

DALAM pentas seni kali ini, Sanggar Seni dan Budaya Igal Jue menampilkan tari mansi junyung. Mansi junyung merupakan sebuah mangkuk berisi beras dan lilin yang digunakan sebagai sarana memanggil roh leluhur pada proses barasamah oleh para wadian. Karena itu, tarian ini bermakna penerangan yang di tiap sudut pandang ke depannya selalu terang.

Ica sebagai salah satu penari Sanggar Seni dan Budaya Igal Jue mengatakan, tarian yang dipertunjukkan malam itu mengekspresikan harapan bagi Kalteng ke depan yang makin terang benderang dan berkah. Tarian itu dibalut dalam bentuk seni dan budaya yang tidak lepas dari nilai akar budaya Kalteng, terkhusus daerah Barito Timur (Bartim).

“Tarian ini menceritakan tentang mansi junyung, yakni tentang sebuah mangkuk yang dipakai seorang Balian atau orang yang memimpin pengobatan dalam tradisi suku Dayak Ma’anyan dan sekitarnya,” ungkap Ica.

Selain mangkuk atau mansi junyung, ciri khas lain dari tarian ini adalah gelang yang dipakai para penari, baik wanita maupun pria. Gelang tersebut merupakan bagian dari tarian, yang juga menggambarkan sebuah permohonan kepada Yang Kuasa untuk menyembuhkan orang yang sedang sakit. Kostum yang digunakan penari dalam tarian ini penuh corak berwarna hitam, putih, merah, kuning, dan hijau yang merupakan warna ciri khas Dayak. Selain kostum yang penuh warna, juga dilengkapi asesori juga berupa kalung taring dan janur.

Baca Juga :  Distributor Oksigen Fokus Layani Medis

Melalui tarian ini, Sanggar Seni dan Budaya Igal Jue ingin mengingatkan dan mengenalkan tradisi masyarakat Kalteng. Ica juga mengajak generasi muda untuk mau mengembangkan dan mengenalkan kepada dunia kekayaan dan keberagaman budaya dan kearifan lokal.

“Kami ingin memperkenalkan tradisi kita orang Kalteng, anak muda jangan malu untuk berkarya dan melestarikan budaya kita, kalau bukan kita siapa lagi yang akan mempertahankan, melestarikan, dan mengenalkan budaya, tradisi, dan kesenian kita orang Dayak,” katanya.

Lebih lanjut Ica mengatakan, secara keseluruhan waktu persiapan untuk pertunjukan tarian ini sangat singkat. Hanya sekitar satu minggu. Akan tetapi, berkat kerja sama tim dan kekompakan penari, pemusik, dan Ringgo Winardo selaku ketua sanggar, tari mansi junyung itu bisa terkonsepkan dengan baik. Dan pada malam itu, Sanggar Seni dan Budaya Igal Jue berhasil memukau penonton dengan penampilan mereka.

“Persiapan kami kurang lebih satu minggu, jumlah penari ada sepuluh orang dan pemusik lima orang, kesulitan yang kami hadapi yaitu saat membuat konsepnya, harus menyesuaikan tarian dengan sinopsis, kami ingin masyarakat paham konsep tarian dan pesan yang ingin kami sampaikan,” jelasnya.

Baca Juga :  Siap Gelar Event Bergengsi di Bundaran Besar

Tidak hanya mengikuti lomba atau tampil dalam acara pernikahan dan perayaan, sebagai regenerasi dan upaya menyebarkan kebudayaan Kalteng, sanggar ini juga membuka kelas latihan menari pedalaman bagi anak-anak dari usia 10 tahun. Latihan dilakukan di Sanggar Seni dan Budaya Igal Jue yang berlokasi di Jalan C Bangas, Palangka Raya.

Salah satu warga yang menyaksikan penampilan seni malam itu, Salamah, mengaku cukup sering menghadiri dan menyaksikan pagelaran seni, baik seni tari, teater, maupun pantonim.

“Kalau bisa kegiatan kesenian seperti ini rutin dilakukan dengan memanfaatkan ikon kota ini, kalau bisa enggak cuman di Bundaran Besar, tetapi juga di lokasi lain, seperti Taman Pasuk Kameloh atau Tugu Soekarno, itu bisa dimanfaatkan sebagai panggung seni dan budaya,” kata Salamah.

Perempuan berstatus mahasiswi itu juga mengharapkan bahwa kegiatan kebudayaan juga dapat merambat ke kesenian lain seperti tarian pesisir. Ia juga berharap bisa menyaksikan penampilan tarian tradisional yang dikolaborasikan dengan tarian modern, agar tarian daerah tidak dianggap ketinggalan zaman. Meski begitu, tetap harus diperhatikan makna dan pesan dari tradisi yang ingin disampaikan. Jangan sampai disalahartikan.

“Kayaknya agak jarang tarian tradisional dipadukan dengan tarian modern, kalau ingin maju maka dua hal itu harus bisa dipadukan, dengan catatan tetap harus diperhatikan nilai, ciri khas, dan makna dari tarian tradisional yang ingin dibawakan, jangan sampai hilang atau disalahartikan,” tutupnya. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/