PALANGKA RAYA-Perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) dari enam tahun menjadi delapan tahun menuai polemik. Sebagian pihak setuju, sebagian lagi menolak. Bahkan penolakan pun datang dari kades yang sedang menjabat. Kendati demikian, perpanjangan masa jabatan kades dinilai menjadi angin segar bagi realisasi program pembangunan desa. Meski begitu, seiring lamanya waktu menjabat, pengawasan terhadap kinerja dan penggunaan anggaran oleh kades harus makin diperkuat.
Ketua Komisi I DPRD Kalteng, Yohannes Freddy Ering mengatakan, perpanjangan masa jabatan kades bisa menjadi angin segar bagi kemajuan desa. Dengan catatan, kades bersangkutan sudah membuat perencanaan yang matang dan strategis dalam upaya membangun desa.
“Banyak aspek, baik program kerja maupun kegiatan-kegiatan lain yang bisa diberdayakan di desa dengan adanya waktu delapan tahun per periode,” ungkap Freddy kepada Kalteng Pos, Minggu (11/2).
Jika benar-benar dijabarkan dan diteliti pembangunan-pembangunan yang diperlukan di suatu desa, maka kemajuan baik di bidang infrastruktur, sosial, budaya, kesehatan, pendidikan, pertanian, perikanan, adat, dan lain-lain bisa lebih berkembang. Perlu waktu pelaksanaan yang panjang atas program-program pembangunan tersebut.
“Makin lama menjabat, makin banyak program yang direncanakan, lalu direalisasikan, maka bisa makin maju pula desa yang dipimpin,” tuturnya.
Wakil rakyat dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, delapan tahun masa kerja kades merupakan waktu yang cukup untuk merealisasikan visi, misi, dan program kerja yang sudah disusun.
“Perpanjangan masa jabatan mempermudah kades untuk merealisasikan seluruh program yang sudah direncanakan,” ucapnya.
Dengan adanya penambahan masa jabatan kades, pembangunan desa dapat dilakukan secara maksimal, dengan catatan sudah ada perencanaan yang matang terkait pembangunan desa, sesuai dengan potensi-potensi yang dimiliki desa bersangkutan.
Freddy juga mengakui bahwa ada sebagian kades yang tidak setuju dengan masa jabatan delapan tahun. Ia memperkirakan kades yang menolak itu sudah merealisasikan seluruh program kerjanya dengan masa jabatan yang sudah ditentukan sebelumnya, yakni enam tahun.
“Sebagian (yang menolak, red) mungkin merasa masa jabatan delapan tahun itu terlalu lama, tapi itu dari sudut pandang mereka yang menolak,” tambahnya.
Ia tidak menampik bahwa bisa saja potensi penyelewengan jabatan ada, seiring dengan makin panjangnya masa jabatan. Karena itu, ia menekankan agar manajemen pemerintahan desa terus dibenahi, sehingga potensi penyimpangan bisa diperkecil.
“Bagaimana pun ada beberapa kepala desa yang tersangkut korupsi penyalahgunaan dana desa, itu merupakan indikasi perlunya peningkatan pengawasan kinerja,” ucapnya.
Harus ada regulasi yang mengatur lebih ketat kinerja dan penggunaan anggaran desa, sehingga tidak ada potensi terjadi penyalahgunaan. “Pengawasan selama ini kan sudah berjalan, ada inspektorat, BPK, dan lembaga terkait, tapi memang ada kebutuhan untuk lebih diperkuat lagi pengawasannya, seiring dengan bertambahnya masa jabatan kades,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Desa Pilang, Rusdi mengaku setuju dengan adanya penambahan masa jabatan kades. Dengan demikian kades bisa melaksanakan seluruh program kerja yang digagas sejak awal.
“Mungkin kalau dengan masa jabatan delapan tahun, visi misi dan program kerja yang diutarakan saat kampanye seluruhnya bisa terealisasi, kami tentu menyambut baik penambahan masa jabatan itu,” tutur pria yang memimpin salah satu desa di Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau itu.
Rusdi dilantik sebagai Kades Pilang pada 9 April 2021. Kepemimpinannya sudah berjalan selama kurang lebih tiga tahun dan merupakan periode pertama menjabat.
“Kalau normal enam tahun masa jabatan, maka pada 2027 jabatan saya berakhir, kalau ada penambahan maka selesai nanti pada 2029,” ucapnya.
Jika masa jabatannya benar-benar menjadi delapan tahun alias berakhir pada 2029 nanti, Rusdi berkomitmen untuk menyelesaikan program-program yang menjadi prioritas desa sesuai dengan visi dan misinya ketika saat mencalon dahulu.
“Terkait ada kades lainnya yang tidak setuju, saya rasa itu mempertimbangkan apakah mereka sudah merealisasikan seluruh program kerjanya atau tidak, kalau desa kami masih butuh pembangunan infrastruktur, itu yang masih menjadi perhatian serius saya,” tambahnya.
Desa Pilang yang ia pimpin, lanjut Rusdi, memiliki luas wilayah 33 ribu hektare (ha), dengan 480-an kepala keluarga (KK) dan kurang lebih 1.700-an jiwa penduduk.
Sebelumnya, Kades Kinipan di Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Willem Hengki mengaku kurang setuju dengan usul perpanjangan masa jabatan kades. Hal itu mengingat jabatan-jabatan politis yang berada di atasnya dibatasi jangka waktu. Mulai dari tingkat puncak seperti presiden hingga bupati/wali kota, bahkan kepala desa sendiri. Anggota legislatif pun demikian.
“Menurut saya enam tahun masa jabatan kades itu cukup, mengingat kalau suatu waktu seorang kades tidak dalam kondisi sehat, ditambah lagi masa jabatannya delapan tahun, akan repot,” ungkap Hengki saat dihubungi Kalteng Pos, Jumat (9/2).
Menguatnya wacana perpanjangan masa jabatan kades didasarkan pada pandangan bahwa makin lama jabatan seorang kades, maka akan makin baik pembangunan desa. Namun Willem berpendapat bahwa lamanya masa jabatan dan kemajuan pembangunan desa tidak punya hubungan.
“Tidak ada hubungannya. Mengingat kalau memang bagus, maka masyarakat tentu akan mempercayai sosok tersebut menjadi kades lagi, kan bagus tidaknya masyarakat yang menilai,” tuturnya.
Anggota Apdesi Lamandau 2023-2028 yang menempati Biro Pedesaan dan Desa Tertinggal itu berpandangan, masa jabatan delapan tahun untuk satu periode merupakan waktu yang lama. Perlu ada pembatasan waktu layaknya kepala daerah pada tingkatan yang lebih tinggi.
“Lama masa jabatan kades itu kan disesuaikan dengan jangka waktu pembangunan, sudah cukup sebenarnya satu periode,” ucapnya.
Perpanjangan masa jabatan kades juga diduga kuat mengalami politisasi oleh segelintir pihak bertepatan dengan momentum politik 2024. Terkait hal itu, Willem berpendapat tidak ada pengaruhnya jika berkaca dari kondisi masyarakat di desa yang dipimpinnya.
“Tidak ada pengaruhya, hanya saja takut diduga kalau teman-teman kades yang di Jawa, kan kuat sekali nuansa politik atau semacamnya, apalagi saat ini kan ada momentum politik,” tutur pria kelahiran 6 Mei 1981 itu.
Terpisah, pengamat politik dan pemerintahan, Farid Zaky Yopiannor menaruh curiga atas proses penetapan lama masa jabatan kades. Ia berpendapat, dalam perumusan kebijakan itu terdapat kondisi yang disebut dengan jendela kebijakan, yakni suatu kondisi di mana pengesahan suatu kebijakan akan terbuka kalau ada momentum tertentu yang dapat memicunya.
“Relevan dengan kondisi saat ini, perpanjangan masa jabatan kepala desa terbuka karena mendekati hari pemilu. Dari sini bisa kita membaca, akan ada banyak kepentingan politis yang berebut momentum,” ungkap Zaky kepada Kalteng Pos, Kamis (8/2).
Menurut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammadiyah Palangka Raya (UMPR) itu, perumusan kebijakan perpanjangan masa jabatan kades sejatinya tidak terlalu memicu perdebatan, jika tidak terjadi pada momentum pemilu.
“Namun karena ada momentum pemilu, menjadikan nalar kritis publik muncul, akan ada gelombang kecurigaan bahwa jangan-jangan ada kegiatan transaksional di balik perpanjangan itu,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Barometer Kebijakan Publik dan Politik Daerah (Bajakah) Institute itu berpendapat, secara keilmuan belum ada relasi antara panjangnya masa jabatan kades dengan kemajuan pembangunan suatu desa. Kebanyakan faktor yang memengaruhi kemajuan suatu desa adalah bagaimana efektivitas kepemimpinan, bukan durasi panjangnya masa kepemimpinan.
“Justru dengan masa jabatan sepanjang itu, saya khawatir substansi pembangunan desa menjadi kabur, lalu para kades terjebak pada syahwat kuasa,” ujarnya.
Pengamat ekonomi pembangunan, Irawan menyarankan pentingnya melakukan elaborasi terlebih dahulu atas program-program yang dilaksanakan di desa, sebelum adanya perpanjangan masa jabatan pucuk pimpinan desa. Apakah bersentuhan langsung dengan indikator pembangunan, seperti untuk meningkatkan produksi, mengurangi kesenjangan antardaerah, menurunkan tingkat kemiskinan, dan sebagainya.
“Hal yang tidak kalah penting adalah rencana strategis desa (renstra), yang terdiri atas jangka pendek satu tahunan, menengah per lima tahun, dan jangka panjang per 10-25 tahun,” ungkap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Palangka Raya (UPR) itu.
Perpanjangan masa jabatan kades juga harus memerhatikan figur kades yang memegang amanah. Jika kepala desa yang dimaksud mampu menjalankan roda pembangunan dan target-target capaian, maka akan berdampak positif. Jika sebaliknya, maka masa jabatan yang lama tersebut bisa menjadi sumber penyelewengan kekuasaan.
“Jadi poinnya pada figur kadesnya, apakah memiliki kompetensi dan kemampuan atau tidak untuk menerjemahkan rencana pembangunan desa sesuai target capaian yang disusun bersama dengan perangkat lainnya di desa,” tuturnya.
Irawan menyebut, anggaran dana desa yang berasal dari APBN dan digelontorkan tiap tahun nilainya cukup besar. Jangan sampai anggaran yang besar itu tidak mampu menjadi stimulus pembangunan desa. Lebih parah lagi jika sampai disalahgunakan. (dan/ce/ala)