“Semenjak ada undang-undang itu, gubernur yang berkedudukan sebagai kepala daerah tingkat provinsi dan sebagai wakil pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan yang kuat, karena semua berada di pusat. Karena itu kami berharap pemerintah pusat dapat mengakomodasi pemerintah provinsi sebagai solusi mengatasi illegal mining dan ratifikasi UU Nomor 3 Tahun 2020,” harapnya.
Menurut Edy, Komisi VII DPR RI telah mendengarkan pemaparan dan penjelasan Dirjen Minerba dan para gubernur. Antara lain soal kegiatan illegal mining yang berakibat terjadi kerusakan lingkungan dan infrastruktur jalan serta hilangnya potensi pendapatan negara.
Secara regulasi, kegiatan pertambangan tanpa izin dikenakan pidana yang cukup berat (pasal 258, pasal 160 dan pasal 161 UU Nomor 3 Tahun 2022). Namun dalam implementasinya, hingga saat ini penerapan sanksi belum maksimal. Pemerintah daerah provinsi perlu diberi kewenangan yang lebih luas dan dilibatkan dalam pengawasan terhadap praktik illegal mining, mengingat jumlah sumber daya manusia yang dimiliki Kementerian ESDM terbatas.
Sehubungan dengan maraknya illegal mining, perintah provinsi meminta untuk diberi kewenangan melakukan pengawasan, pembinaan, dan menangani permasalahan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam rapat itu, pemerintah provinsi telah mengusulkan penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR) sebanyak 191 blok atau seluas lebih kurang 126.094,49 hektare (ha).
Untuk mengurangi kegiatan pertambangan tanpa izin, diusulkan agar distribusi solar industri dilakukan melalui satu pintu, dalam hal ini PT Pertimina atau pihak yang memiliki izin resmi di daerah setempat. Komisi VII DPR RI mendesak Dirjen Minerba KESDM untuk segera menginformasikan dan melakukan pembinaan terkait kegiatan penambangan tanpa izin, agar mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan, seperti kerusakan lingkungan, penyelundupan, serta hilangnya potensi pendapatan negara.