Tersangka Mengaku Dibohongi, Sebut Belum Ada Pembayaran Jual Beli Beras
PALANGKA RAYA-Polresta Palangka Raya berhasil mengungkap kasus tindak pidana korupsi (tipikor) di PT Pertani cabang Kalteng. Satu orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penjualan beras ini. Total kerugian mencapai Rp1,2 miliar. Hal itu dibeberkan Kapolresta Palangka Raya Kombespol Budi Santoso melalui Wakapolresta AKBP Andiyatna dalam rilis pers yang digelar di aula mapolresta, Senin (13/6).
“Dugaan tindak pidana korupsi ini terjadi tahun 2016 sampai 2017,” kata Wakapolresta AKBP Andiyatna, didampingi Kasatreskrim Kompol Ronny Marthius Nababan.
Terkait kasus korupsi di PT Pertani ini, polisi telah menetapkan satu orang tersangka, yakni mantan kepala PT Pertani (Persero) cabang Kalteng berinisial HT. Tersangka dianggap merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas kerugian negara dalam kasus korupsi penjualan beras ini.
“Adapun nilai kerugian negara dalam kasus ini sebesar Rp1.225.375.000 (satu miliar dua ratus dua puluh lima juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah),” ucap Andiyatna.
Wakapolresta juga menyebut bahwa kasus korupsi ini terbongkar setelah ada laporan masuk ke polisi dari pihak PT Pertani terkait dugaan terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh HT.
Sementara mengenai kronologinya, diceritakan wakapolresta, HT yang saat itu menjabat sebagai kepala kantor cabang PT Pertani menawarkan kerja sama ke pihak Koperasi Sunan Manyuru di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar) untuk jual beli beras.
“Setelah kerja sama disetujui dan dilakukan transaksi jual beli beras, ditemukan fakta bahwa transaksi jual beli beras antara PT Pertani dengan Koperasi Sunan Manyuru tidak berjalan sesuai SOP alias tidak sesuai prosedur,” sebutnya.
Selain itu, belakangan diketahui bahwa tidak ada bukti uang yang disetor ke kas negara dari hasil transaksi jual beli beras antara PT Pertani dengan Koperasi Sunan Manyuru.
“Padahal yang bersangkutan melakukan transaksi jual beli beras itu tidak hanya sekali, tapi berkali kali, mungkin jumlahnya melebihi empat kali, dengan rata rata transaksi di atas 23 ton,” beber wakapolresta sembari menambahkan bahwa tak adanya penyetoran uang hasil jual beli beras ke kas negara mengakibatkan kerugian negara.
Dari hasil penyelidikan sementara pihak polisi, tersangka HT mengaku belum mendapat setoran uang dari pihak koperasi atas hasil jual beli beras tersebut.
“Tersangka ini beralasan bahwa uang yang harusnya dibayar oleh pihak yang memesan ternyata uangnya tidak ada, artinya yang bersangkutan merasa dibohongi, itu keterangan dari tersangka,” ujar AKBP Andiyatna.
Untuk membongkar kasus korupsi ini, pihak kepolisian telah melakukan pemeriksaan terhadap 16 orang saksi. 11 orang di antaranya merupakan pegawai PT Pertani, 2 orang dari pihak Koperasi Sunan Manyuru, 1 orang saksi ahli keuangan negara, dan 1 orang saksi dari tim audit BPKP.
Selain itu, polisi juga menyita dan mengamankan barang bukti berupa 98 lembar dokumen yang terkait dengan kasus tipikor, baik dari PT Pertani, Koperasi Sunan Manyuru, maupun tersangka HT sendiri. Dalam kasus ini HT dibidik dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dan ditambahkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Apabila terbukti bersalah, sanksi atau hukuman berdasarkan pasal tersebut adalah penjara paling singkat empat tahun dan maksimal 20 tahun serta denda paling sedikit 200 juta rupiah dan maksimal 1 miliar rupiah,” tegas wakapolresta.
Tersangka HT yang dihadirkan dalam press release pengungkapan kasus korupsi ini kemarin, dalam wawancara singkat dengan Wakapolresta AKBP Andiyatna, mengakui bahwa tujuan melakukan kerja sama dengan pihak Koperasi Sunan Manyuru semata-mata untuk meningkatkan omzet penjualan perusahaan yang dipimpinnya.
HT mengaku berani menjalin kerja sama, karena mengenal dan memiliki hubungan persaudaraan dengan pimpinan Koperasi Sunan Manyuru. “Dia itu adik saya,” ujar HT kepada wakapolresta. (sja/ce/ala/ko)