Senin, Juli 14, 2025
25 C
Palangkaraya

Pakar Hukum Sebut Penyitaan Lahan Sawit di Kalteng Penuh Ketidakpastian & Berpotensi Timbulkan Konflik Agraria

SAMPIT – Tindakan penyegelan dan penyitaan lahan sawit oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) di Kalimantan Tengah, khususnya di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), menuai kritik tajam dari kalangan ahli hukum.

Muhammad Sofyan Noor, seorang praktisi hukum dan pemerhati kebijakan agraria di Kalteng, menyebut langkah tersebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum agraria nasional dan konstitusi.

“Saya anggap tindakan Satgas PKH cacat hukum dan mencederai prinsip supremasi hukum. Langkah-langkah seperti pemasangan plang di area perkebunan yang telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) tidak bisa dibenarkan secara hukum,” tegas Sofyan, Senin (14/7/2025).

Menurutnya, keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 yang dijadikan acuan Satgas tidak dapat dijadikan dasar penyitaan atau eksekusi lahan.

“Perpres itu hanya mengatur penertiban, bukan sebagai dasar hukum untuk menyita atau menyegel. Untuk menyita lahan harus ada proses hukum formil, bukan tindakan sepihak,” paparnya.

Sofyan juga menyoroti potensi tumpang tindih antara kawasan hutan dan lahan yang sudah memiliki sertifikasi HGU. Ia mempertanyakan keabsahan proses penetapan kawasan hutan yang bisa berkonflik dengan hak-hak agraria yang sah.

Baca Juga :  Setahun Berkeliaran, Pelaku Pemerkosaan Bocah SD di Kotim Akhirnya Ditangkap

“Jangan sampai pengesahan kawasan hutan justru menabrak legalitas HGU yang lebih dulu terbit. Ini bisa mengarah pada konflik agraria yang meluas,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa dalam hierarki hukum, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) tetap menjadi dasar hukum utama dalam pengaturan hak atas tanah. Karena itu, hak seperti SHM, HGU, dan HGB tidak bisa serta-merta dihapus hanya karena sebuah kawasan dimasukkan ke dalam peta hutan.

“UUPA hadir lebih dulu dan menjadi dasar hukum nasional agraria. Maka, UU Kehutanan harus menyesuaikan, bukan sebaliknya,” tambahnya.

Dalam konteks Kalimantan Tengah, proses penetapan dan revisi kawasan hutan telah dilakukan melalui berbagai Surat Keputusan Menteri Kehutanan, seperti SK Nomor 292/Menhut-II/2011 dan revisinya SK Nomor 529/Menhut-II/2012. SK tersebut merinci perubahan status kawasan dengan cakupan signifikan — termasuk pelepasan lebih dari 1,1 juta hektare menjadi area penggunaan lain (APL).

Namun, perubahan-perubahan itu belum mampu mengatasi tumpang tindih legalitas lahan antara status kehutanan dan hak atas tanah, yang kini memicu ketidakpastian hukum.

Sofyan juga menyampaikan kekhawatirannya atas dampak sosial-ekonomi dari tindakan sepihak ini. Banyak perusahaan yang telah mengantongi HGU sah merasa dirugikan secara finansial dan reputasi.

Baca Juga :  Banjir di Kotim Tahun Ini Terparah

Bahkan, muncul stigma negatif terhadap industri sawit yang seolah menjadi pelaku perambahan hutan.

“Padahal banyak dari mereka adalah korban ketidakteraturan tata ruang. Lahan yang dulu dilepas pemerintah kini kembali dianggap kawasan hutan,” ujarnya.

Tak hanya merugikan perusahaan, tindakan ini juga berdampak langsung pada ribuan pekerja di sektor perkebunan. Masyarakat menjadi takut bekerja di lahan sawit karena khawatir terseret persoalan hukum.

“Pekerja bingung, takut salah langkah. Ini menciptakan ketidakpastian yang serius di lapangan,” katanya.

Selain itu, Sofyan menyoroti tidak adanya pengawasan setelah plang penyitaan dipasang, yang menyebabkan maraknya pencurian buah sawit oleh pihak tidak bertanggung jawab. “Negara dan perusahaan sama-sama dirugikan. Satgas tidak menyiapkan sistem pengamanan yang memadai,” kritiknya.

Di akhir pernyataannya, Sofyan menyerukan agar penyelesaian persoalan tata ruang dilakukan secara adil dan berbasis hukum yang kuat, dengan melibatkan semua pihak, termasuk asosiasi industri seperti GAPKI.

“Saya bicara atas nama keadilan. Semua kebijakan harus tunduk pada hukum, bukan justru menciptakan ketidakadilan baru,” pungkasnya.(bah/ram)

SAMPIT – Tindakan penyegelan dan penyitaan lahan sawit oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) di Kalimantan Tengah, khususnya di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), menuai kritik tajam dari kalangan ahli hukum.

Muhammad Sofyan Noor, seorang praktisi hukum dan pemerhati kebijakan agraria di Kalteng, menyebut langkah tersebut sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum agraria nasional dan konstitusi.

“Saya anggap tindakan Satgas PKH cacat hukum dan mencederai prinsip supremasi hukum. Langkah-langkah seperti pemasangan plang di area perkebunan yang telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) tidak bisa dibenarkan secara hukum,” tegas Sofyan, Senin (14/7/2025).

Menurutnya, keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 yang dijadikan acuan Satgas tidak dapat dijadikan dasar penyitaan atau eksekusi lahan.

“Perpres itu hanya mengatur penertiban, bukan sebagai dasar hukum untuk menyita atau menyegel. Untuk menyita lahan harus ada proses hukum formil, bukan tindakan sepihak,” paparnya.

Sofyan juga menyoroti potensi tumpang tindih antara kawasan hutan dan lahan yang sudah memiliki sertifikasi HGU. Ia mempertanyakan keabsahan proses penetapan kawasan hutan yang bisa berkonflik dengan hak-hak agraria yang sah.

Baca Juga :  Setahun Berkeliaran, Pelaku Pemerkosaan Bocah SD di Kotim Akhirnya Ditangkap

“Jangan sampai pengesahan kawasan hutan justru menabrak legalitas HGU yang lebih dulu terbit. Ini bisa mengarah pada konflik agraria yang meluas,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa dalam hierarki hukum, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) tetap menjadi dasar hukum utama dalam pengaturan hak atas tanah. Karena itu, hak seperti SHM, HGU, dan HGB tidak bisa serta-merta dihapus hanya karena sebuah kawasan dimasukkan ke dalam peta hutan.

“UUPA hadir lebih dulu dan menjadi dasar hukum nasional agraria. Maka, UU Kehutanan harus menyesuaikan, bukan sebaliknya,” tambahnya.

Dalam konteks Kalimantan Tengah, proses penetapan dan revisi kawasan hutan telah dilakukan melalui berbagai Surat Keputusan Menteri Kehutanan, seperti SK Nomor 292/Menhut-II/2011 dan revisinya SK Nomor 529/Menhut-II/2012. SK tersebut merinci perubahan status kawasan dengan cakupan signifikan — termasuk pelepasan lebih dari 1,1 juta hektare menjadi area penggunaan lain (APL).

Namun, perubahan-perubahan itu belum mampu mengatasi tumpang tindih legalitas lahan antara status kehutanan dan hak atas tanah, yang kini memicu ketidakpastian hukum.

Sofyan juga menyampaikan kekhawatirannya atas dampak sosial-ekonomi dari tindakan sepihak ini. Banyak perusahaan yang telah mengantongi HGU sah merasa dirugikan secara finansial dan reputasi.

Baca Juga :  Banjir di Kotim Tahun Ini Terparah

Bahkan, muncul stigma negatif terhadap industri sawit yang seolah menjadi pelaku perambahan hutan.

“Padahal banyak dari mereka adalah korban ketidakteraturan tata ruang. Lahan yang dulu dilepas pemerintah kini kembali dianggap kawasan hutan,” ujarnya.

Tak hanya merugikan perusahaan, tindakan ini juga berdampak langsung pada ribuan pekerja di sektor perkebunan. Masyarakat menjadi takut bekerja di lahan sawit karena khawatir terseret persoalan hukum.

“Pekerja bingung, takut salah langkah. Ini menciptakan ketidakpastian yang serius di lapangan,” katanya.

Selain itu, Sofyan menyoroti tidak adanya pengawasan setelah plang penyitaan dipasang, yang menyebabkan maraknya pencurian buah sawit oleh pihak tidak bertanggung jawab. “Negara dan perusahaan sama-sama dirugikan. Satgas tidak menyiapkan sistem pengamanan yang memadai,” kritiknya.

Di akhir pernyataannya, Sofyan menyerukan agar penyelesaian persoalan tata ruang dilakukan secara adil dan berbasis hukum yang kuat, dengan melibatkan semua pihak, termasuk asosiasi industri seperti GAPKI.

“Saya bicara atas nama keadilan. Semua kebijakan harus tunduk pada hukum, bukan justru menciptakan ketidakadilan baru,” pungkasnya.(bah/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/