PALANGKA RAYA-Tercatat 42 persen perkebunan kelapa sawit Indonesia merupakan perkebunan petani swadaya. Pulau Sumatera dan Kalimantan memiliki luas lahan terbesar, menyusul wilayah timur Indonesia seperti Sulawesi, Maluku, dan Papua. Dari total tutupan sawit yang ada, seluas 2,4 juta hektare perlu dilakukan peremajaan.
Program peremajaan sawit rakyat (PSR) ini dalam rangka mendukung program peremajaan petani rakyat untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani, sekaligus mengurangi risiko pembukaan lahan secara ilegal. Sampai dengan saat ini, bantuan peremajaan sawit sudah dimanfaatkan oleh Provinsi Kalteng sekitar 16.583 hektare, dengan dana yang sudah disalurkan Rp449 miliar lebih untuk 6.765 orang penerima.
Direktur Keuangan Umum Kepatuhan dan Manajemen Risiko (KUKMR) Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Zaid Burhan Ibrahim mengatakan, PSR ini berbentuk hibah yang nilainya Rp30 juta per hektare. Maksimal empat hektare per orang yang diperuntukkan bagi petani-petani sawit yang ada di Kalteng. Bantuan kepada para petani sawit untuk PSR ini bisa mencapai Rp120 juta, jika Rp30 juta per hektare dikalikan maksimal empat hektare lahan.
“Saat ini kami tengah melakukan kajian untuk meningkatkan jumlah nominal PSR, mungkin sekitar Rp50 juta sampai Rp60 juta per hektare, tapi kajian sedang berjalan,” katanya saat menghadiri sinergi pemberdayaan UMKM Kemenkeu Satu Kalteng 2023 di Kanwil Ditjen Perbendaharaan Kalteng, Selasa (14/3).
Menurutnya, dana tersebut masih bisa dimanfaatkan lebih tinggi oleh Pemprov Kalteng, lantaran target PSR per tahun adalah 180 ribu hektare.
“Artinya kami akan menyiapkan dana sekitar Rp5,4 triliun per tahun, ini bisa dimanfaatkan oleh petani-petani sawit di Kalteng,” ucapnya
Bantuan ini khusus untuk petani-petani sawit, bukan untuk perusahaan. Pihaknya memberikan kesempatan kepada gubernur, wali kota, dan bupati di Kalteng agar memanfaatkan dana ini, terutama daerah-daerah yang punya kebun-kebun sawit.
“Ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas sawit-sawit masyarakat di daerah,” tegasnya.
Biasanya, program peremajaan sawit ini empat tahun baru panen. Namun dengan adanya kemajuan teknologi dewasa ini, panen sudah bisa dilakukan setelah penanaman 2,8 tahun atau kurang dari tiga tahun. “Artinya bisa lebih cepat, kalau ini bisa dimanfaatkan, apalagi harga sawit sekarang sudah mulai naik, akan sangat membantu petani-petani sawit,” jelas Zaid.
Ditegaskannya lagi bahwa dana ini diberikan kepada petani sawit yang tergabung dalam kelembagaan pekebun berbentuk poktan, gapoktan, koperasi, atau kelembagaan pekebun lainnya, beranggotakan paling sedikit 20 pekebun, atau memiliki hamparan paling sedikit seluas 50 hektare dengan jarak antarkebun paling jauh 10 kilometer.
“Poktan dan gapoktan terdaftar pada sistem informasi penyuluhan pertanian (Simluhtan) atau surat keterangan dari Kepala Dinas Perkebunan yang membawahi bidang perkebunan,” kata dia.
Untuk kriteria lahan, legalitas lahan terdiri atas SHM atau dokumen penguasaan tanah, dibuktikan dengan surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah sesuai dengan ketentuan. Jika nama SHM tidak sama dengan identitas pekebun, maka harus dilengkapi dengan surat keterangan kepala desa atau yang dipersamakan.
“Kawasan lahan tidak berada di dalam kawasan hutan dan atau lahan HGU, umur tanaman telah melewati 25 tahun atau produktivitas kebun kurang dari atau sama dengan 10 ton TBS/hektare/tahun pada umur paling sedikit tujuh tahun, atau tanaman menggunakan benih tidak unggul,” pungkasnya. (abw/ce/ala)