Jumat, Juli 5, 2024
23.5 C
Palangkaraya

Penyandang Disabilitas yang Enggan Menyerah dengan Keadaan (3)

Ibu Yosna, Berjualan Es Blender dan Mengajar Bahasa Isyarat Indonesia

Yosnarismayani merupakan salah satu penyandang disabilitas di Kota Palangka Raya. Ibu dua anak ini sehari-hari mengajar bahasa isyarat Indonesia dan berjualan es blender di depan rumahnya. Perempuan berusia 54 itu dikenal sebagai sosok yang ulet.

 WULAN SARI, Palangka Raya

TATKALA matahari berada tepat di atas kepala, seorang ibu yang telah berumur tampak duduk berjualan es blander di toko depan rumahnya, Jalan Salampak Umar No 2, Palangka Raya. Saya (penulis, red) pun menghampirinya, lalu menyampaikan maksud kedatangan. Kehadiran saya disambut dengan hangat. Bahkan ia mempersilakan saya untuk masuk ke rumahnya.

Namanya Yosnarismayani. Penyandang tunarungu yang satu ini memiliki semangat wirausaha yang tinggi dan aktif dalam kegiatan keorganisasian.

“Saya berempat bersaudara, semuanya sudah nikah. Saya anak pertama, yang kedua Mila tadi, dan duanya lagi ikut suami, tapi tidak di Kalimantan,” ucapnya mengawali pembicaraan kami siang itu.

Perempuan yang telah berusia 54 tahun itu pernah menempuh pendidikan umum sampai tsanawiyah dan lanjut ke jenjang sekolah menegah pertama (SMP) di sekolah luar biasa (SLB). Saat menempuh pendidikan di SLB, ia mengenal laki-laki bernama Roskurniandi, sesama penyandang tunarungu, yang kini menjadi suaminya.

“Dulu saya kenal bapak pas sekolah di SLB, kemudian tahun 1995 saya dan bapak menikah, kami dikaruniai dua anak laki-laki, anak pertama sekarang sedang bekerja di perusahaan sawit di Sampit, dan satunya lagi masih SMK kelas 2,” sebutnya.

 

Tahun 2006, ibu dua orang anak itu mencoba berjualan minuman untuk menambah pendapatan. Kebetulan rumahnya berada di samping SMPN 6 Palangka Raya. Dengan lapak yang dibuat seadanya di depan rumah, perempuan kelahiran Palangka Raya ini berjualan es blender. Sesekali berjualan snack serta roti-rotian.

“Ya, saya kerja buat bantu-bantulah, buat makan, suami saya kerja serabutan saja, ayah juga sudah pensiun dari PNS. Dengan tabungan yang tidak seberapa, saya belajar untuk berjualan dengan didampingi dan diarahkan adik. Mulai dari yang kecil-kecilan dengan bahan seadanya. Tak jarang suami juga akan ikut membantu saat senggang, hingga akhirnya bisa berkembang seperti sekarang ini,” ceritanya.

Baca Juga :  Siapkan Lahan Relokasi Warga Terdampak Ablasi

Meski dengan keterbatasan fisik dan ditinggal sosok ibu sejak usia 20 tahun, ia tidak pernah berkecil hati. Berkat dukungan keluarga, suami, dan teman-temannya, memotivasinya menjadi wanita tangguh yang bermental kuat dan tidak pernah takut untuk terus mencoba.

Baginya, jodoh, umur, dan rezeki sudah diatur Yang Kuasa. Tahun 2013, sang ayah wafat. Rumah diwariskan kepada anak sulung. Namun kemudian rumah itu kemudian ditempatinya bersama suami dan kedua anak laki-lakinya.

Tak ingin larut dalam kesedihan, perempuan yang akrab disapa Yosna ini mulai aktif mengikuti beberapa kegiatan, seperti pelatihan keterampilan maupun pertemuan sesama difabel khususnya tunarungu. Saat mengikuti pertemuan dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerkatin di Palangka Raya, ia mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi Dewan Pengurus Daerah (DPD) Gerkatin Kalteng. Akhirnya Yosna terpilih dan dipercayakan menempati posisi ketua DPD Gerkatin Kalteng.

“Dulu saya terpilih menjadi ketua Gerkatin, sewaktu ada pertemuan DDP di Kalteng tahun 2014. Saya sudah menjabat dua periode, 2024 nanti berakhir,” sambungnya.

 

Selain berjualan minuman dan menjadi ketua DPD Gerkatin, tahun 2016 Yosna juga menjadi salah seorang pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan berjualan tas dan aksesori handmade, dibantu teman-temannya sesama tunarungu yang ingin belajar dan mengisi waktu luang. Perlahan usaha itu terus berkembang. Sekarang lebih dikenal dengan nama IKM Mutiara Kelurahan Panarung.

“Alhamdulillah dari ikut menjadi anggota UMKM, kadang dapat bantuan peralatan atau sedikit modal usaha,” ujarnya.

Biasannya Yosna dan rekan-rekannya memproduksi handmade setelah mendapat pesanan. Tak jarang juga menjajakannya saat ada event-event seperti car free day (CFD), Kalteng Expo, dan sebagainya. Harga jualnya berkisar Rp70 ribu-Rp250 ribu.

Tahun 2018, suaminya meninggal karena sakit jantung. Tak ingin berlarut dalam kesedihan seperti sebelumnya, ibu dua anak itu memilih untuk fokus membesarkan anak-anaknya, menjalankan usaha, serta mengurus organisasi yang dipimpinnya. Adiknya juga ikut mendampingi.

Baca Juga :  PPKM Level Empat Berlanjut, Hingga 20 September

“Saya membesarkan anak-anak berkat hasil usaha minuman dan handmade yang saya jual. Dari penjualan itu kira-kira bisa terkumpul Rp700 ribu sampai Rp1 juta, bahkan bisa lebih kalau pembelian ramai, misalnya saat event-event seperti CFD, bazar, dan pameran,” ungkapnya.

 

Pada 2020, Yosna mulai membuka kelas belajar Basindo (bahasa isyarat Indonesia). Setahun kemudian ia membuka kelas belajar ngaji, bekerja sama dengan Dinas Sosial Provinsi Kalteng.

“Kegiatan sehari-hari sekarang, tiap pagi ngantar anak ke sekolah, lalu sekitar jam 3 sore jemput. Jadi di sela-sela itu, setiap hari (Senin-Jumat) saya berjualan es di depan rumah sambil menunggu jam anak pulang sekolah. Tiap Sabtu saya ngajar anak-anak tuli belajar basindo dan ngaji, lalu hari Minggu jualan handmade di lokasi CFD,” ujarnya.

Menurut Mila, adik Yosna yang tinggal di Palangka Raya, kakaknya merupakan seorang penyandang tunarungu yang paling percaya diri untuk berjualan maupun berinteraksi dengan sesama.

“Jadi dia yang koordinasi. Kalau ada pameran, dia ikut. Nanti kalau ada pelatihan dan dia dilibatkan, ya ikut juga, pokoknya orangnya sangat aktif, walau kadang pemahaman antara orang tuli dengan orang normal bisa berbeda, tetapi dia itu pantang menyerah, selalu percaya diri dan ingin terus maju,” ujarnya.

 

Keistimewaan sosok Yosna juga diutarakan Novi, guru yang mengajar anak-anak autis di SLB Kota Palangka Raya, yang juga ikut serta dalam program ngaji anak-anak tunarungu.

“Awalnya saya tertarik dengan bahasa isyarat orang tuli karena saya tidak paham apa yang mereka bicarakan. Akhirnya saya kenal dengan Ibu Yosna dan Ibu Mila, lalu ikut belajar bahasa isyarat dari mereka sampai sekarang ini. Alhamdulillah, sekarang sudah bisa sedikit-sedikit dan juga ikut mengajar ngaji untuk para penyandang tunarungu,” tuturnya. (*wls/ce/ram)

Yosnarismayani merupakan salah satu penyandang disabilitas di Kota Palangka Raya. Ibu dua anak ini sehari-hari mengajar bahasa isyarat Indonesia dan berjualan es blender di depan rumahnya. Perempuan berusia 54 itu dikenal sebagai sosok yang ulet.

 WULAN SARI, Palangka Raya

TATKALA matahari berada tepat di atas kepala, seorang ibu yang telah berumur tampak duduk berjualan es blander di toko depan rumahnya, Jalan Salampak Umar No 2, Palangka Raya. Saya (penulis, red) pun menghampirinya, lalu menyampaikan maksud kedatangan. Kehadiran saya disambut dengan hangat. Bahkan ia mempersilakan saya untuk masuk ke rumahnya.

Namanya Yosnarismayani. Penyandang tunarungu yang satu ini memiliki semangat wirausaha yang tinggi dan aktif dalam kegiatan keorganisasian.

“Saya berempat bersaudara, semuanya sudah nikah. Saya anak pertama, yang kedua Mila tadi, dan duanya lagi ikut suami, tapi tidak di Kalimantan,” ucapnya mengawali pembicaraan kami siang itu.

Perempuan yang telah berusia 54 tahun itu pernah menempuh pendidikan umum sampai tsanawiyah dan lanjut ke jenjang sekolah menegah pertama (SMP) di sekolah luar biasa (SLB). Saat menempuh pendidikan di SLB, ia mengenal laki-laki bernama Roskurniandi, sesama penyandang tunarungu, yang kini menjadi suaminya.

“Dulu saya kenal bapak pas sekolah di SLB, kemudian tahun 1995 saya dan bapak menikah, kami dikaruniai dua anak laki-laki, anak pertama sekarang sedang bekerja di perusahaan sawit di Sampit, dan satunya lagi masih SMK kelas 2,” sebutnya.

 

Tahun 2006, ibu dua orang anak itu mencoba berjualan minuman untuk menambah pendapatan. Kebetulan rumahnya berada di samping SMPN 6 Palangka Raya. Dengan lapak yang dibuat seadanya di depan rumah, perempuan kelahiran Palangka Raya ini berjualan es blender. Sesekali berjualan snack serta roti-rotian.

“Ya, saya kerja buat bantu-bantulah, buat makan, suami saya kerja serabutan saja, ayah juga sudah pensiun dari PNS. Dengan tabungan yang tidak seberapa, saya belajar untuk berjualan dengan didampingi dan diarahkan adik. Mulai dari yang kecil-kecilan dengan bahan seadanya. Tak jarang suami juga akan ikut membantu saat senggang, hingga akhirnya bisa berkembang seperti sekarang ini,” ceritanya.

Baca Juga :  Siapkan Lahan Relokasi Warga Terdampak Ablasi

Meski dengan keterbatasan fisik dan ditinggal sosok ibu sejak usia 20 tahun, ia tidak pernah berkecil hati. Berkat dukungan keluarga, suami, dan teman-temannya, memotivasinya menjadi wanita tangguh yang bermental kuat dan tidak pernah takut untuk terus mencoba.

Baginya, jodoh, umur, dan rezeki sudah diatur Yang Kuasa. Tahun 2013, sang ayah wafat. Rumah diwariskan kepada anak sulung. Namun kemudian rumah itu kemudian ditempatinya bersama suami dan kedua anak laki-lakinya.

Tak ingin larut dalam kesedihan, perempuan yang akrab disapa Yosna ini mulai aktif mengikuti beberapa kegiatan, seperti pelatihan keterampilan maupun pertemuan sesama difabel khususnya tunarungu. Saat mengikuti pertemuan dengan Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerkatin di Palangka Raya, ia mendapat kesempatan untuk mengikuti seleksi Dewan Pengurus Daerah (DPD) Gerkatin Kalteng. Akhirnya Yosna terpilih dan dipercayakan menempati posisi ketua DPD Gerkatin Kalteng.

“Dulu saya terpilih menjadi ketua Gerkatin, sewaktu ada pertemuan DDP di Kalteng tahun 2014. Saya sudah menjabat dua periode, 2024 nanti berakhir,” sambungnya.

 

Selain berjualan minuman dan menjadi ketua DPD Gerkatin, tahun 2016 Yosna juga menjadi salah seorang pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan berjualan tas dan aksesori handmade, dibantu teman-temannya sesama tunarungu yang ingin belajar dan mengisi waktu luang. Perlahan usaha itu terus berkembang. Sekarang lebih dikenal dengan nama IKM Mutiara Kelurahan Panarung.

“Alhamdulillah dari ikut menjadi anggota UMKM, kadang dapat bantuan peralatan atau sedikit modal usaha,” ujarnya.

Biasannya Yosna dan rekan-rekannya memproduksi handmade setelah mendapat pesanan. Tak jarang juga menjajakannya saat ada event-event seperti car free day (CFD), Kalteng Expo, dan sebagainya. Harga jualnya berkisar Rp70 ribu-Rp250 ribu.

Tahun 2018, suaminya meninggal karena sakit jantung. Tak ingin berlarut dalam kesedihan seperti sebelumnya, ibu dua anak itu memilih untuk fokus membesarkan anak-anaknya, menjalankan usaha, serta mengurus organisasi yang dipimpinnya. Adiknya juga ikut mendampingi.

Baca Juga :  PPKM Level Empat Berlanjut, Hingga 20 September

“Saya membesarkan anak-anak berkat hasil usaha minuman dan handmade yang saya jual. Dari penjualan itu kira-kira bisa terkumpul Rp700 ribu sampai Rp1 juta, bahkan bisa lebih kalau pembelian ramai, misalnya saat event-event seperti CFD, bazar, dan pameran,” ungkapnya.

 

Pada 2020, Yosna mulai membuka kelas belajar Basindo (bahasa isyarat Indonesia). Setahun kemudian ia membuka kelas belajar ngaji, bekerja sama dengan Dinas Sosial Provinsi Kalteng.

“Kegiatan sehari-hari sekarang, tiap pagi ngantar anak ke sekolah, lalu sekitar jam 3 sore jemput. Jadi di sela-sela itu, setiap hari (Senin-Jumat) saya berjualan es di depan rumah sambil menunggu jam anak pulang sekolah. Tiap Sabtu saya ngajar anak-anak tuli belajar basindo dan ngaji, lalu hari Minggu jualan handmade di lokasi CFD,” ujarnya.

Menurut Mila, adik Yosna yang tinggal di Palangka Raya, kakaknya merupakan seorang penyandang tunarungu yang paling percaya diri untuk berjualan maupun berinteraksi dengan sesama.

“Jadi dia yang koordinasi. Kalau ada pameran, dia ikut. Nanti kalau ada pelatihan dan dia dilibatkan, ya ikut juga, pokoknya orangnya sangat aktif, walau kadang pemahaman antara orang tuli dengan orang normal bisa berbeda, tetapi dia itu pantang menyerah, selalu percaya diri dan ingin terus maju,” ujarnya.

 

Keistimewaan sosok Yosna juga diutarakan Novi, guru yang mengajar anak-anak autis di SLB Kota Palangka Raya, yang juga ikut serta dalam program ngaji anak-anak tunarungu.

“Awalnya saya tertarik dengan bahasa isyarat orang tuli karena saya tidak paham apa yang mereka bicarakan. Akhirnya saya kenal dengan Ibu Yosna dan Ibu Mila, lalu ikut belajar bahasa isyarat dari mereka sampai sekarang ini. Alhamdulillah, sekarang sudah bisa sedikit-sedikit dan juga ikut mengajar ngaji untuk para penyandang tunarungu,” tuturnya. (*wls/ce/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/