PALANGKA RAYA-Elpiji 3 kilogram (kg) paling diburu ibu-ibu. Rela berpanas-panasan mengantre di pangkalan maupun saat operasi pasar demi bisa mendapatkan tabung melon dengan harga murah. Ketika kehabisan, masyarakat terpaksa membeli di eceran dengan harga yang sangat mahal. Fenomena ini membuat pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) membuat kebijakan pendistribusian elpiji hanya melalui penyalur resmi. Artinya, elpiji 3 kg tidak bisa lagi dijual melalui pengecer.
Pemerintah sudah menyiapkan sejumlah skema dalam penyaluran gas elpiji 3 kg agar betul-betul tepat sasaran. Salah satunya dengan memanfaatkan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). Penyalur resmi hanya melayani transaksi elpiji kepada warga yang sudah terdata pada P3KE berdasarkan input data NIK.
Kebijakan ini mendapat dukungan dari ekonom. Elpiji 3 kg seharusnya dinikmati masyarakat berekonomi menengah ke bawah. Karena itu penjualannya harus dibatasi. Dr Fitria Husnatarina SE MSi selaku pengamat ekonomi pasar menyebut, terkait mengapa masyarakat tetap bersikukuh menjual elpiji 3 kg secara eceran sampai sekarang masih ada tidaklah berasal dari bagaimana peraturan tersebut eksis, atau apakah peraturan tersebut tepat tidak tepatnya, melainkan bagaimana penerapan, penegakan, dan implementasi dari peraturan tersebut apakah sudah memang benar-benar dilakukan.
“Kadang kebijakan hanya berhenti di atas kertas saja, atau paling banter melakukan komunikasi atau sosialisasi saja, tapi terkait reward dan punishment kepada oknum yang seharusnya termuat dalam kebijakan itu justru tidak dipraktikkan,” jelas Fitria kepada Kalteng Pos lewat pesan suara WhatsApp, Senin (16/1).
Dosen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Palangka Raya (UPR) itu mengatakan, jika ada kebijakan terkait larangan penjualan elpiji subsidi di tingkat eceran, maka implementasi kebijakan itu di lapangan harus betul-betul dikawal.
“Kebijakan itu memang bagus untuk menjaga agar distribusi elpiji subsidi tepat sasaran, tapi kebijakan itu butuh implementasi yang memang benar-benar dipraktikkan, sehingga penjualan elpiji yang tidak pada tempatnya dapat ditertibkan,” ujarnya.
Fitria menyebut, selain oleh pemerintah dan pihak yang menegakkan aturan itu, masyarakat juga diharapkan memahami peraturan secara baik sehingga bisa menjalankannya.
“Kita ada aturan yang membantu pelaku usaha dan masyarakat, seperti membatasi penjualan elpiji, agar betul-betul tersalurkan ke mereka, tapi kalau masyarakatnya suka jalan pintas seperti membeli di eceran, bagaimana lagi? Kita bicara soal disiplin para pihak yang terlibat dalam pasar,” jelasnya.
Dikatakannya, yang terjadi selama ini dikarenakan disiplin dan kemauan masyarakat untuk menaati peraturan yang berlaku masih lemah. Agar peraturan dapat dijalankan masyarakat, SDM yang dilibatkan dalam menegakkan peraturan harus disiplin.
“Kalau kita ini mau elpiji tiga kilogram tidak dijual di tingkat eceran, kita harus bisa mengerahkan semua sumber daya untuk bisa mengimplementasikan secara sistematis peraturan itu, seperti edukasi, reward, punishment, dan lain-lain,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi, UKM, dan Perindustrian (DPKUKMP) Samsul Rizal belum berani menanggapi perihal wacana pemerintah membatasi penjualan elpiji 3 kg.
“Karena masih perencanaan, kami belum berani berkomentar. Nantinya warung heboh ketika kami larang berjualan elpiji,” kata Samsul Rizal di ruang kerjanya, Senin (16/1).
“Kami lakukan komunikasi dulu, silaturahmi dengan kepala Pertamina, karena kebijakan ini juga terkait dengan Pertamina, kami hanya pengawas di lapangan, sementara yang menyalurkan itu Pertamina,” tambahnya.
Samsul menyebut, begitu ada kebijakan dan pengumuman resmi dari Pertamina atau pemerintah, otomatis regulasi akan dijalankan.
Terpisah, Titin (77) penjual Elpiji 3 kg di Jalan RTA Milono, Palangka Raya mengaku tidak setuju dengan adanya aturan mengenai pembatasan dan larangan penjualan elpiji di tingkat eceran.
“Di Pertamina itu biasanya antre, jarang ada, selalu kosong tabung gasnya, kasihan penjual bakso harus beli ke Pertamina. Di pertamina itu lengkap tidak? Siap tidak?” tuturnya sembari melempar pertanyaan.
Titin menyebut menjual elpiji 3 kg seharga Rp35.000 per tabung. “Kami ini justru membantu warga berekonomi menengah ke bawah,” ucapnya.
Titin menambahkan, penjualan elpiji di warung akan lebih memudahkan warga saat membutuhkan. Pembelian di agen Pertamina harus menggunakan KTP, dan belum tentu ada stoknya. Sementara warga ingin cepat mendapatkan barang (tabung gas elpiji, red).
“Pernah suatu ketika ada seorang kakek yang bersepeda sekitar jam 9 malam hanya untuk membeli gas (elpiji 3 kg, red), biasanya disisakan 1 tabung gas untuk kakek itu. Kami hanya bantu warga yang perlu cepat,” bebernya.
Ayat (38), penjual elpiji di Jalan Bukit Rawi menyebut sudah tahu informasi perihal larangan penjualan elpiji 3 kg di warung-warung. Kabar itu ia dapatkan dari temannya. Ia menolak rencana pemerintah itu. Elpiji 3 kg dijual seharga Rp25.000. Dalam seminggu bisa 2-3 kali menyetok elpiji dengan jumlah 70 bahkan 100 tabung.
“Biasanya diantar, tapi sekarang kami ambil sendiri,” ucapnya.
Ayat mengatakan, sekarang ini calon pembeli elpiji di warung miliknya harus memperlihatkan KTP, untuk mengantispasi adanya pengecer yang ikut membeli dengan tujuan bisnis. Ayat menyebut bahwa 100 tabung elpiji bisa habis terjual dalam satu hari karena banyaknya permintaan konsumen. Ia berharap warung-warung masih tetap dibolehkan menjual elpiji untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. “Yang terpenting pemilik warung jangan menjualnya dengan harga terlalu mahal,” tegasnya. (dan/*rid/ce/ala)