SAMPIT – Di antara gemuruh aktivitas dan denyut modernitas Kota Sampit, berdiri tegak suatu bangunan yang seolah menolak lekang oleh waktu.
Gereja Maranatha tampak gagah dengan cat cokelat dan patung Yesus yang menyambut di gerbang utama. Gereja ini bukan sekadar rumah ibadah.Ia adalah penanda sejarah, saksi bisu perjalanan iman yang telah menembus hampir satu abad.

Di balik dinding kayu ulin yang kokoh, tersimpan kisah tentang kebersamaan, ketekunan, dan harapan yang diwariskan dari generasi ke generasi.Gereja tertua di Kota Sampit ini tidak hanya menyimpan sejarah rohani, tetapi juga kisah tentang keberagaman, gotong royong, dan semangat membangun bersama.
Seorang wanita paruh baya mempersilakan saya (penulis, red) memasuki ruangan utama gereja.Aroma khas kayu tua langsung tercium saat pertama kali saya menginjakkan kaki dalam ruang itu.
Kayu jenis ulin dan benuas membungkus bangunan berlantai tiga tersebut, mulai dari dinding, lantai, hingga atap yang seluruhnya terbuat dari kayu kokoh. Bangku-bangku panjang tersusun rapi, mulai dari teras hingga lantai dua gereja.
Nuansa bangunan zaman dahulu makin terasa dengan adanya piano akustik terbuat dari kayu yang masih bisa dimainkan.Kitab suci, bel kecil, dan gelas perjamuan yang dibawa langsung dari Yerusalem tersusun rapi di panggung depan.
Dua salib yang terbuat dari kayu dan dihiasi dengan kain, menambah nuansa indah di panggung yang menjadi tempat pendeta memimpin ibadah.Uniknya, warna kain tersebut akan diganti sesuai dengan ibadah yang dilaksanakan.
Paskah, misalnya, warna kain yang menyelimuti meja dan menghiasi salib diganti dengan warna hitam, menandakan umat Kristiani tengah berduka atas wafatnya Yesus Kristus. Total, ada tujuh warna yang digunakan secara berganti sesuai tema perayaan.
Tak berapa lama, Ketua Majelis Resort Gereja Kalimantan Evangelis (GKE) Sampit, Pendeta (Pdt) Mediorapano, datang.Ia bercerita panjang lebar tentang sejarah gereja yang sudah eksis sejak zaman kolonial Belanda ini.
Awal mula jejak kekristenan di wilayah Mentaya dimulai tahun 1924, di sebuah desa kecil bernama Kandan.Kala itu, para perantau dari Kapuas membawa kabar sukacita ke daerah ini. Zending menjadi ujung tombak pelayanan di masa-masa awal.
Perlahan tetapi pasti, kekristenan tumbuh dan berkembang, hingga kemudian menyebar ke Kota Sampit yang mulai ramai oleh para pekerja dari luar Pulau Kalimantan.
“Meski dibangun saat zaman kolonial, proses pembangunan gereja ini swadaya masyarakat kala itu, seperti kayu dan sebagainya, semua itu dari lokal,” ungkapnya kepada Kalteng Pos, Selasa (15/4/2025).
Kesadaran akan pentingnya tempat ibadah mendorong sekelompok umat Kristen mendirikan sebuah gereja sederhana berkonstruksi kayu pada 1937.Dua tahun berselang, tepatnya pada 1939, bangunan gereja ini diresmikan oleh seorang zending Belanda bernama Tuan Bekker.
Meski belum memiliki nama, gereja ini menjadi tempat naungan spiritual bagi para perantau yang mencari penghiburan dan kekuatan iman di tanah baru.Desain bangunan gereja tersebut dirancang oleh arsitek dari wilayah Mandumai, Kabupaten Kapuas.
Dahulu, GKE dimiliki oleh Sekolah Teknik Menengah (STM) Mandumai yang dikenal sebagai pengekspor mobiler hingga ke wilayah Eropa.“Ini adalah karya STM Mandumai yang terkenal sebagai pengekspor hingga wilayah Eropa dan Arab,” katanya.
Ia menceritakan, zending masuk ke Pulau Kalimantan pada 26 Juni 1835.Empat tahun setelah mereka bekerja, para pendatang dari Jerman dibaptis menjadi Kristen di wilayah Kapuas. Mereka menjadi cikal bakal penyebar ajaran Kristen di wilayah Kalteng.
“Dahulu orang Jerman itu datang ke Banjarmasin dan bekerja di sana. Lalu mereka mengajar di Sungai Murung, wilayah Mandumai.Dari situlah mereka mulai menyebar ke mana-mana,” jelasnya.
Di lantai dua bangunan, terdapat ruang persiapan dan ruang kontrol suara untuk ibadah.Bangku-bangku panjang diletakkan hampir seperempat bagian ruangan untuk menampung jemaat yang datang beribadah.
Naik ke lantai tiga, aroma khas kayu bahari makin terasa. Ruangan tersebut diperuntukkan sebagai perpustakaan kecil. Terdapat buku-buku agama yang tersusun rapi dalam lemari kecil.
Di ruangan ini pula terdapat lonceng gereja yang didatangkan langsung dari Swiss pada 1955.Lonceng tersebut diperkirakan berbobot puluhan kilogram. Gereja lain di Kota Sampit tidak memiliki lonceng seperti ini.
Dahulu, lonceng dibunyikan tiap hari Sabtu dan Minggu pagi, serta pada acara gereja sebagai penanda ibadah.Sayangnya, kini lonceng tersebut tidak difungsikan lagi.“Dibeli dari Swiss karena memang kualitasnya bagus dan bunyi dentingnya nyaring.
Lonceng ini sebagai penanda bagi umat Kristen.Namun, sekarang sudah tidak digunakan di seluruh gereja, karena informasi dan pemberitahuan bisa dilakukan melalui media seperti WhatsApp grup,” bebernya.Waktu berlalu.
Pertumbuhan ekonomi dan arus urbanisasi menjadikan Kota Sampit makin semarak.Hal ini turut membawa dampak positif bagi pertumbuhan jemaat gereja.Makin banyak umat Kristen dari berbagai penjuru Tanah Air menetap dan beribadah di gereja tersebut.
Melihat jumlah jemaat yang kian bertambah serta kondisi bangunan yang sudah tidak memadai lagi, para pendeta, pengurus, dan jemaat sepakat untuk merenovasi total bangunan gereja pada 1980. Proses pembangunan dilakukan secara gotong royong.
Tidak hanya dari kalangan internal jemaat, dukungan juga datang dari perusahaan kayu yang saat itu masih aktif, PT Inhutani.Lima tahun berselang atau tahun 1985, bangunan baru gereja resmi berdiri megah dan diberi nama “Maranatha,” suatu kata dalam bahasa Aram yang berarti “Tuhan datang.”
Nama ini dipilih sebagai pengingat akan kedatangan Kristus dan sebagai semangat hidup beriman di tengah zaman yang terus berubah.“Gereja ini kemudian diresmikan Bupati Kotim kala itu, HA Kusnan Daryono, pada tanggal 13 Oktober 1985,” sebutnya.
Gereja Maranatha bukan hanya megah dari segi fisik, tetapi juga unik dalam ragam ekspresi seni dan budaya. Salah satu ciri khas yang membedakannya dari gereja lain adalah patung Yesus yang berdiri kokoh di depan gereja, seolah menyambut siapa pun yang datang.
Di bagian dalam, dinding pembatas gereja dihiasi dengan mural-mural cerita Alkitab yang penuh warna.Uniknya, mural ini dibuat oleh seniman beragama Islam asal Jawa, sebagai sumbangan tulus dan bentuk penghargaan atas keberagaman agama di tanah Sampit.
Hingga kini, Gereja Maranatha masih tetap eksis. Hal itu dibuktikan dengan ratusan jemaat yang datang ketika waktu ibadah tiba. Jumlahnya kian banyak. Kebanyakan mereka merupakan pendatang. Ibadah hari Minggu dilakukan dalam tiga sesi, yakni pagi, siang, dan sore. Selain itu, kegiatan rutin bagi para perempuan juga diadakan tiap Minggu.
“Gereja ini sering digunakan karena suaranya bagus, sebab terbuat dari kayu. Kalau gereja lain seperti Eka Sinta, itu suaranya masih kurang jelas karena terbuat dari beton,” katanya.
Kini, Gereja Maranatha bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol kebersamaan, toleransi, dan sejarah panjang umat Kristen di Kota Sampit. Ia berdiri bukan hanya dari batu dan kayu, tetapi juga dari doa, peluh, dan cinta umat yang percaya bahwa iman bukan hanya soal keyakinan, tetapi juga tentang karya.
“Jelas bahwa gereja sangat menghargai orang lain sebagai simbol toleransi. Selain itu, gereja juga sebagai wadah pendidikan. Kita tidak mengajarkan sesuatu yang merusak kerukunan,” imbuhnya.
Sementara itu, seorang jemaat bernama Maria Fransiska (45), mengenang kisah hidupnya yang tak bisa dilepaskan dari Gereja Maranatha. Ia telah beribadah di gereja ini sejak kecil dan menyaksikan sendiri bagaimana tempat ini tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.
“Setiap kali masuk ke dalam gereja, aroma kayu langsung mengingatkan saya pada masa kecil, saat kami duduk rapi di bangku-bangku panjang sambil menyanyikan lagu pujian,” tuturnya.
Maria mengatakan, yang membuat gereja ini istimewa bukan hanya bangunannya yang megah atau sejarahnya yang panjang, tetapi karena rasa kekeluargaan yang begitu kuat di antara para jemaat.
“Di sini, kami bukan sekadar datang beribadah. Kami saling mengenal, saling menguatkan, dan tumbuh bersama. Bahkan ketika ada jemaat yang mengalami kesulitan, semua ikut peduli. Itu yang membuat saya bertahan di sini sampai sekarang, dan berharap anak cucu saya pun bisa merasakan hal yang sama,” tuturnya.
Ibu tiga orang anak ini juga merasa bangga karena gereja ini mampu menjadi contoh nyata kerukunan antarumat beragama. Bagi Maria dan ratusan jemaat lain, Gereja Maranatha bukan sekadar bangunan.
Ia adalah saksi hidup perjalanan iman, tempat tumbuhnya nilai-nilai persaudaraan, dan harapan bahwa semangat kebersamaan akan terus terjaga di tengah perubahan zaman.“Gereja ini bukan hanya simbol iman, tetapi juga simbol cinta kasih lintas batas,” pungkasnya. (mif/ce/ram)