Jumat, November 22, 2024
31.2 C
Palangkaraya

Tradisi Leluhur Dayak Ngaju Tak Akan Lebur

“Orang Dayak itu lahir beradat, hidup beradat, mati pun beradat,”

Kardinal Tarung, Damang Kecamatan Jekan Raya

PALANGKA RAYA-Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Budaya berasal dari kata budi dan daya, yang dapat diartikan sebagai sebuah rasa, karsa, dan cinta.

Menurut antropolog Amerika Robert H Lowie, kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diperoleh oleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan karena kreativitas sendiri melainkan warisan masa lampau.

Di Kalimantan Tengah, beragam suku dan agama hidup berdampingan dan tumbuh subur. Suku Dayak menjadi suku asli. Jumlahnya pun beragam. Ada Dayak Ngaju, Dayak Tomun, Dayak Ma’anyan, dan Dayak Bakumpai. Kaharingan menjadi agama asli suku Dayak masa lampau yang tetap eksis sampai saat ini.

Banyak tradisi yang menjadi rujukan masyarakat Dayak Ngaju dan penganut Kaharingan khususnya. Salah satunya, tradisi kehidupan dan kematian suku Dayak Ngaju. Tradisi itu secara singkat bisa dipelajari di Museum Balanga, Palangka Raya.

Tercatat ada 14 nama tradisi. Dimulai dari ritual kehamilan. Ritual ini dilakukan ketika seorang ibu positif hamil, ketika usia kandungan tiga bulan, tujuh bulan, dan sembilan bulan. Untuk perlengkapan ritual, biasanya empunya hajat menyiapkan hewan kurban berupa ayam atau babi, manik-manik untuk ehet, tambak, behas tawur, sesajen, manik-manik lilis, serta manas.

Menurut Suparan A Gaman selaku mantir adat Kelurahan Menteng, ritual kehamilan umumnya dilaksanakan untuk kehamilan pertama seorang wanita. Jarang dilakukan untuk kehamilan kedua, ketiga, dan seterusnya.

“Biasanya yang paling sering dilakukan itu saat usia kehamilan memasuki tujuh bulan,” ucapnya kepada Kalteng Pos beberapa hari lalu.

Selanjutnya adalah ritual kelahiran, ritual malas bidan atau hambaruan. “Untuk ritual malas bidan, kalau saat melahirkan dibantu bidan, jadi roh anak berada di tangan bidan, ritual ini bertujuan agar roh dari sang anak kembali ke orang tuanya,” ungkapnya.

Ketika menginjak fase remaja, ada ritual hakumbang auh. Hakumbang auh merupakan pembicaraan untuk menyampaikan niat laki-laki melamar gadis. Keinginan tersebut disampaikan melalui perantara dan disertai dengan tanda bukti. Dari sini pula, orang Dayak sudah mempertimbangkan bobot, bibit, bebet. Pihak keluarga gadis akan berdiskusi sebelum memutuskan menerima atau menolak.

“Uang dan beras merupakan tanda keseriusan pihak laki-laki untuk melamar perempuan,” terang Suparan.

Dalam ritual ini pihak perempuan bisa menolak jika memang tidak sesuai. Jawaban dari lamaran harus diberikan paling lama enam bulan dan paling cepat tiga sampai empat bulan.

Ketika memasuki masa kematian, ada ritual kematian dan ritual balian tantulak ambun rutas matei.

Ritual ini bertujuan untuk membuang sial atau rutas akibat meninggalnya anggota keluarga. Filosofi ritual ini adalah proses awal manusia kembali ke asalnya. Ritual ini dilakukan untuk menyambung tali pusar yang dipotong ketika lahir. Setelah tali pusar disambung, roh atau zat orang mati tersebut dikembalikan ke rahim ibunya, sedangkan roh atau zat yang berasal dari tanah atau bumi kembali ke tanah atau bumi.

Baca Juga :  Anggota Ormas Wajib Dengar, Ada Pesan dari Dirreskrimum Polda Kalteng

Terakhir ada ritual tiwah. Ini merupakan upacara kematian tingkat akhir bagi penganut Kaharingan. Dalam ritual ini, zat atau roh orang yang meninggal akan dipindahkan atau dikembalikan kepada orang tuanya. Zat atau roh dari ayah dikembalikan ke ayah, sedangkan roh dari ibu dikembalikan ke ibunya. Sementara roh dari Tuhan kembali ke Tuhan, yang disebut roh panyalumpuk atau hambaruan. Setelah ritual itu dilakukan, dipercayai bahwa orang yang mati akan hidup sempurna di surga atau lewu tatau dia rumpang tulang rundung raja isen dia kamalesu uhat. (selengkapnya pada tabel)

“Orang Dayak itu lahir beradat, hidup beradat, mati pun beradat,” tegas Kardinal Tarung selaku Damang Kecamatan Jekan Raya menanggapi pertanyaan Kalteng Pos terkait tradisi-tradisi Dayak Ngaju, beberapa hari lalu.

Adat tidak bisa dilepas begitu saja dengan keyakinan. Generasi penerus dipersiapakan dari lahir sampai perkawinan. Diarahkan menjadi hidup beradat. Dalam konteks hidup beradat, anak-anak akan diajarkan tentang tiga sikap. Yakni sikap sembah, sikap hormat, dan sikap sopan. Sejak kecil pula, orang Dayak itu sudah diajarkan bahwa ada kuasa Yang Maha Tinggi yang harus disembah.

Semua itu sudah tergambar dalam tradisi-tradisi atau ritual yang dilakukan para leluhur dahulu kala dan masih dilestarikan sampai saat ini. “Orang Dayak dikenal sebagai orang yang sangat menghormati orang lain, karena itulah muncul filosofi huma betang, bisa menerima suku apa saja, agama apa saja, dalam satu atap,” ungkapnya.

Kalteng Pos juga menemui Bethel S Nanyan untuk mendapatkan informasi perihal tradisi arau ritual adat Dayak Ngaju. Mantir Adat Desa Tuwung itu menyebut, eksistensi tradisi bisa terancam jika tidak ada campur tangan generasi penerus untuk turut melestarikan.

Menurutnya, dewasa ini pengetahuan soal tradisi leluhur mengalami kemunduran. Contoh nyata yang terjadi di kampung halamannya saat ini. Anak-anak muda justur kurang tertarik atau kurang mengerti makna tradisi adat.

“Saran saya, pemerintah harus berperan aktif menyalurkan ilmu pengetahuan tentang adat istiadat Dayak kepada anak-anak muda sekarang ini. Seperti membuat program khusus pendidikan basir,” ungkap ayah 16 anak yang sudah memimpin ritual adat sejak usia 18 tahun.

Minimnya Sosok Basir di Palangka Raya

Kalimantan Tengah tidak hanya terkenal dengan keindahan alam, tetapi juga tradisi serta ritul adatnya. Hingga saat ini masyarakat masih terus melakukan dan melestarikan ritual yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Ritual yang dilakukan tentunya bersifat sakral dan tidak boleh sembarangan dilakukan. Karena itu, dalam pelaksanaannya selalu ada seseorang yang akan memimpin jalannya ritual, yang biasa disebut basir.

Baca Juga :  Kendalikan Pergerakan Orang, Cegah Lonjakan dan Varian Omicron

Sosok basir bukanlah orang sembarangan. Basir haruslah orang yang sangat paham proses dan apa saja yang harus dilakukan serta dipenuhi dalam suatu ritual. Akan tetapi, dewasa ini keberadaan basir adat cukup sulit ditemukan di perkotaan. Hal itu dibenarkan mantir adat Kelurahan Menteng, Suparan A Gaman.

“Kalau di kota seperti ini, basir emang sudah agak jarang ditemukan, tapi basir tetap ada, cuman jumlahlah enggak banyak, paling satu atau dua orang, itu pun sering dipanggil sampai luar kota buat memimpin ritual, kebanyakan orang sini juga manggil basir dari desa-desa,” ucap Suparan kepada Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Namun, kelangkaan basir perlahan akan diatasi. Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kota Palangka Raya sudah membuka program pendidikan basir. Ada juga program pelatihan menjadi basir oleh Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Palangka Raya. Pendanaan untuk kedua program ini didukung Pemerintah Kota Palangka Raya.

Terpisah, Dosen Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (IAHN) Nali Eka menjelaskan, kampus IAHN pernah melaksanakan pelatihan pendidikan basir yang diikuti beberapa mahasiswa dan mahasiswi. Setelah lulus, mereka bisa ikut Balian di kampungnya masing-masing. Balian merupakan orang yang bertugas memimpin ritual Kaharingan, yang berurusan dengan dua dunia.

Dosen yang juga merupakan Kepala Prodi Pendidikan Agama Hindu Fakultas Dharma Acarya IAHN Tampung Penyang Palangka Raya ini berharap pemerintah bisa memberikan dana tahunan untuk membantu kelancaran program tersebut.

“Dalam mengatasi kelangkaan basir, sudah ada beberapa upaya yang dilakukan, seperti Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kota Palangka Raya yang membuka program pendidikan basir, ada juga pelatihan dan pendidikan menjadi basir oleh Peradah dan kampus IAHN, kami tentu berharap pemerintah bisa menyokong program ini, sehingga kelak bisa menghasilkan basir-basir muda yang dapat membantu masyarakat,” bebernya panjang.

Selain itu, kampus IAHN juga sudah memasukkan tujuh mata kuliah yang terkait dengan ritual adat, seperti Bahasa Sangiang, Tawur, Tandak, Panaturan, Teologi Hindu Kaharingan, Acara Agama Hindu Kaharingan, dan Bahasa Dayak Ngaju. Tak hanya teori yang diajarkan, tetapi juga disertai praktik langsung.

“Sebagai bentuk komitmen kami, kampus sudah memasukkan tujuh mata kuliah terkait dengan ritual adat yang disertai dengan praktik, kami juga punya ritual rutin tahunan pakanan sahur kampus, makanya di depan kampus kami ada balai keramat, basir-basir muda yang diberdayakan itulah yang dipercayakan untuk memimpin ritual, dengan tetap didampingi para basir senior,” terangnya. (*mut/*ham/ce/ram)

 

 

“Orang Dayak itu lahir beradat, hidup beradat, mati pun beradat,”

Kardinal Tarung, Damang Kecamatan Jekan Raya

PALANGKA RAYA-Manusia dan kebudayaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Budaya berasal dari kata budi dan daya, yang dapat diartikan sebagai sebuah rasa, karsa, dan cinta.

Menurut antropolog Amerika Robert H Lowie, kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diperoleh oleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan karena kreativitas sendiri melainkan warisan masa lampau.

Di Kalimantan Tengah, beragam suku dan agama hidup berdampingan dan tumbuh subur. Suku Dayak menjadi suku asli. Jumlahnya pun beragam. Ada Dayak Ngaju, Dayak Tomun, Dayak Ma’anyan, dan Dayak Bakumpai. Kaharingan menjadi agama asli suku Dayak masa lampau yang tetap eksis sampai saat ini.

Banyak tradisi yang menjadi rujukan masyarakat Dayak Ngaju dan penganut Kaharingan khususnya. Salah satunya, tradisi kehidupan dan kematian suku Dayak Ngaju. Tradisi itu secara singkat bisa dipelajari di Museum Balanga, Palangka Raya.

Tercatat ada 14 nama tradisi. Dimulai dari ritual kehamilan. Ritual ini dilakukan ketika seorang ibu positif hamil, ketika usia kandungan tiga bulan, tujuh bulan, dan sembilan bulan. Untuk perlengkapan ritual, biasanya empunya hajat menyiapkan hewan kurban berupa ayam atau babi, manik-manik untuk ehet, tambak, behas tawur, sesajen, manik-manik lilis, serta manas.

Menurut Suparan A Gaman selaku mantir adat Kelurahan Menteng, ritual kehamilan umumnya dilaksanakan untuk kehamilan pertama seorang wanita. Jarang dilakukan untuk kehamilan kedua, ketiga, dan seterusnya.

“Biasanya yang paling sering dilakukan itu saat usia kehamilan memasuki tujuh bulan,” ucapnya kepada Kalteng Pos beberapa hari lalu.

Selanjutnya adalah ritual kelahiran, ritual malas bidan atau hambaruan. “Untuk ritual malas bidan, kalau saat melahirkan dibantu bidan, jadi roh anak berada di tangan bidan, ritual ini bertujuan agar roh dari sang anak kembali ke orang tuanya,” ungkapnya.

Ketika menginjak fase remaja, ada ritual hakumbang auh. Hakumbang auh merupakan pembicaraan untuk menyampaikan niat laki-laki melamar gadis. Keinginan tersebut disampaikan melalui perantara dan disertai dengan tanda bukti. Dari sini pula, orang Dayak sudah mempertimbangkan bobot, bibit, bebet. Pihak keluarga gadis akan berdiskusi sebelum memutuskan menerima atau menolak.

“Uang dan beras merupakan tanda keseriusan pihak laki-laki untuk melamar perempuan,” terang Suparan.

Dalam ritual ini pihak perempuan bisa menolak jika memang tidak sesuai. Jawaban dari lamaran harus diberikan paling lama enam bulan dan paling cepat tiga sampai empat bulan.

Ketika memasuki masa kematian, ada ritual kematian dan ritual balian tantulak ambun rutas matei.

Ritual ini bertujuan untuk membuang sial atau rutas akibat meninggalnya anggota keluarga. Filosofi ritual ini adalah proses awal manusia kembali ke asalnya. Ritual ini dilakukan untuk menyambung tali pusar yang dipotong ketika lahir. Setelah tali pusar disambung, roh atau zat orang mati tersebut dikembalikan ke rahim ibunya, sedangkan roh atau zat yang berasal dari tanah atau bumi kembali ke tanah atau bumi.

Baca Juga :  Anggota Ormas Wajib Dengar, Ada Pesan dari Dirreskrimum Polda Kalteng

Terakhir ada ritual tiwah. Ini merupakan upacara kematian tingkat akhir bagi penganut Kaharingan. Dalam ritual ini, zat atau roh orang yang meninggal akan dipindahkan atau dikembalikan kepada orang tuanya. Zat atau roh dari ayah dikembalikan ke ayah, sedangkan roh dari ibu dikembalikan ke ibunya. Sementara roh dari Tuhan kembali ke Tuhan, yang disebut roh panyalumpuk atau hambaruan. Setelah ritual itu dilakukan, dipercayai bahwa orang yang mati akan hidup sempurna di surga atau lewu tatau dia rumpang tulang rundung raja isen dia kamalesu uhat. (selengkapnya pada tabel)

“Orang Dayak itu lahir beradat, hidup beradat, mati pun beradat,” tegas Kardinal Tarung selaku Damang Kecamatan Jekan Raya menanggapi pertanyaan Kalteng Pos terkait tradisi-tradisi Dayak Ngaju, beberapa hari lalu.

Adat tidak bisa dilepas begitu saja dengan keyakinan. Generasi penerus dipersiapakan dari lahir sampai perkawinan. Diarahkan menjadi hidup beradat. Dalam konteks hidup beradat, anak-anak akan diajarkan tentang tiga sikap. Yakni sikap sembah, sikap hormat, dan sikap sopan. Sejak kecil pula, orang Dayak itu sudah diajarkan bahwa ada kuasa Yang Maha Tinggi yang harus disembah.

Semua itu sudah tergambar dalam tradisi-tradisi atau ritual yang dilakukan para leluhur dahulu kala dan masih dilestarikan sampai saat ini. “Orang Dayak dikenal sebagai orang yang sangat menghormati orang lain, karena itulah muncul filosofi huma betang, bisa menerima suku apa saja, agama apa saja, dalam satu atap,” ungkapnya.

Kalteng Pos juga menemui Bethel S Nanyan untuk mendapatkan informasi perihal tradisi arau ritual adat Dayak Ngaju. Mantir Adat Desa Tuwung itu menyebut, eksistensi tradisi bisa terancam jika tidak ada campur tangan generasi penerus untuk turut melestarikan.

Menurutnya, dewasa ini pengetahuan soal tradisi leluhur mengalami kemunduran. Contoh nyata yang terjadi di kampung halamannya saat ini. Anak-anak muda justur kurang tertarik atau kurang mengerti makna tradisi adat.

“Saran saya, pemerintah harus berperan aktif menyalurkan ilmu pengetahuan tentang adat istiadat Dayak kepada anak-anak muda sekarang ini. Seperti membuat program khusus pendidikan basir,” ungkap ayah 16 anak yang sudah memimpin ritual adat sejak usia 18 tahun.

Minimnya Sosok Basir di Palangka Raya

Kalimantan Tengah tidak hanya terkenal dengan keindahan alam, tetapi juga tradisi serta ritul adatnya. Hingga saat ini masyarakat masih terus melakukan dan melestarikan ritual yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi. Ritual yang dilakukan tentunya bersifat sakral dan tidak boleh sembarangan dilakukan. Karena itu, dalam pelaksanaannya selalu ada seseorang yang akan memimpin jalannya ritual, yang biasa disebut basir.

Baca Juga :  Kendalikan Pergerakan Orang, Cegah Lonjakan dan Varian Omicron

Sosok basir bukanlah orang sembarangan. Basir haruslah orang yang sangat paham proses dan apa saja yang harus dilakukan serta dipenuhi dalam suatu ritual. Akan tetapi, dewasa ini keberadaan basir adat cukup sulit ditemukan di perkotaan. Hal itu dibenarkan mantir adat Kelurahan Menteng, Suparan A Gaman.

“Kalau di kota seperti ini, basir emang sudah agak jarang ditemukan, tapi basir tetap ada, cuman jumlahlah enggak banyak, paling satu atau dua orang, itu pun sering dipanggil sampai luar kota buat memimpin ritual, kebanyakan orang sini juga manggil basir dari desa-desa,” ucap Suparan kepada Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Namun, kelangkaan basir perlahan akan diatasi. Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kota Palangka Raya sudah membuka program pendidikan basir. Ada juga program pelatihan menjadi basir oleh Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Palangka Raya. Pendanaan untuk kedua program ini didukung Pemerintah Kota Palangka Raya.

Terpisah, Dosen Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (IAHN) Nali Eka menjelaskan, kampus IAHN pernah melaksanakan pelatihan pendidikan basir yang diikuti beberapa mahasiswa dan mahasiswi. Setelah lulus, mereka bisa ikut Balian di kampungnya masing-masing. Balian merupakan orang yang bertugas memimpin ritual Kaharingan, yang berurusan dengan dua dunia.

Dosen yang juga merupakan Kepala Prodi Pendidikan Agama Hindu Fakultas Dharma Acarya IAHN Tampung Penyang Palangka Raya ini berharap pemerintah bisa memberikan dana tahunan untuk membantu kelancaran program tersebut.

“Dalam mengatasi kelangkaan basir, sudah ada beberapa upaya yang dilakukan, seperti Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kota Palangka Raya yang membuka program pendidikan basir, ada juga pelatihan dan pendidikan menjadi basir oleh Peradah dan kampus IAHN, kami tentu berharap pemerintah bisa menyokong program ini, sehingga kelak bisa menghasilkan basir-basir muda yang dapat membantu masyarakat,” bebernya panjang.

Selain itu, kampus IAHN juga sudah memasukkan tujuh mata kuliah yang terkait dengan ritual adat, seperti Bahasa Sangiang, Tawur, Tandak, Panaturan, Teologi Hindu Kaharingan, Acara Agama Hindu Kaharingan, dan Bahasa Dayak Ngaju. Tak hanya teori yang diajarkan, tetapi juga disertai praktik langsung.

“Sebagai bentuk komitmen kami, kampus sudah memasukkan tujuh mata kuliah terkait dengan ritual adat yang disertai dengan praktik, kami juga punya ritual rutin tahunan pakanan sahur kampus, makanya di depan kampus kami ada balai keramat, basir-basir muda yang diberdayakan itulah yang dipercayakan untuk memimpin ritual, dengan tetap didampingi para basir senior,” terangnya. (*mut/*ham/ce/ram)

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/