Jumat, November 22, 2024
30.8 C
Palangkaraya

FBIM Minim Peserta, Sepak Sawut Hanya Diikuti Empat Daerah

PALANGKA RAYA-Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) memasuki hari kedua. Setidaknya delapan cabang lomba dan pertandingan olahraga tradisional telah menemukan juaranya. Sayangnya, event akbar kali ini minim peserta. Salah satunya pertandingan sepak sawut. Olahraga tradisional yang dikenal dengan permainan sepak bola api itu, kali ini hanya diikuti peserta dari empat kabupaten/kota.

Keempat daerah yang ambil bagi­an kali ini yakni Palangka Raya, Sukamara, Barito Timur, dan Kapuas. Pertandingan digelar di halaman Tanaman Budaya Kalteng, Rabu malam (18/5). Tuan rumah Palangka Raya keluar sebagai juara pertama, disusul Sukamara di peringkat dua, dan Barito Timur di tempat ketiga.

Koordinator panitia sepak sawut, Yerson menyebut, jumlah peser­ta sepak sawut pada FBIM 2022 berkurang dibandingkan tahun-ta­hun sebelumnya. Ia berharap per­mainan sepak sawut bisa dilestarikan oleh generasi muda Kalteng, sehingga pada FBIM berikutnya ada lebih ban­yak lagi peserta yang berpartisipasi.

Baca Juga :  Kalian Para Pemuda, Jangan Sekali-kali Menyentuh Narkoba

“Kami mengharapkan ke depan­nya peserta yang ikut tidak hanya wakil dari 14 kabupaten/kota, tapi juga dari perangkat daerah dan kala­ngan pelajar. Karena FBIM ini digelar bukan hanya untuk memperingati HUT Kalteng, tapi juga sebagai ajang pelestarian budaya,” kata Yerson.

Yerson menjelaskan, permain­an sepak sawut dimainkan oleh dua tim. Satu tim beranggota lima pemain dan dua orang cadangan. Permainannya mirip dengan sepak bola pada umumnya. Pemenang ditentukan dengan jumlah gol yang dicetak. Waktu normal pertandingan 2×10 menit. Jika tidak ada gol yang tercipta, maka ada perpanjangan waktu 2×5 menit. Bisa juga dilanjut­kan dengan adu penalti, jika selama perpanjangan waktu tak ada gol.

Terkait sejarah dari sepak sawut ini, Yerson menceritakan, pada zaman dahulu terutama di kalan­gan masyarakat adat suku Dayak Ngaju, permainan sepak sawut ini dilaksanakan saat warga sedang menunggu jenazah. “Dahulu sepak sawut ini dimainkan pada malam hari sewaktu menunggu orang mati ,supaya tidak ada yang ter­tidur sampai pagi,” cerita Yerson.

Baca Juga :  Venue Rampung, UCI MTB Siap Digelar

Dengan adanya permainan itu, suasana di rumah perkabungan tempat jenazah disemayamkan tetap ramai hingga pagi hari. “Kalau dulu permainan ini menggunakan bola sabut kelapa yang dibakar, tidak dengan tempurungnya,” ujar Yerson.

Diterangkan Yerson, permainan sepak sawut ini memiliki filosofinya. Ketika permainan sepak sawut ini dimainkan, maka mahluk gaib, roh, ataupun kekuatan jahat tidak berani menganggu aktivitas warga yang se­dang menunggu jenazah. “Jadi tidak ada ketakutan, karena adanya api, maka hal-hal yang tidak baik bisa disingkirkan,” ujar Yerson.  (sja/*irj/*rky/*pwn/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) memasuki hari kedua. Setidaknya delapan cabang lomba dan pertandingan olahraga tradisional telah menemukan juaranya. Sayangnya, event akbar kali ini minim peserta. Salah satunya pertandingan sepak sawut. Olahraga tradisional yang dikenal dengan permainan sepak bola api itu, kali ini hanya diikuti peserta dari empat kabupaten/kota.

Keempat daerah yang ambil bagi­an kali ini yakni Palangka Raya, Sukamara, Barito Timur, dan Kapuas. Pertandingan digelar di halaman Tanaman Budaya Kalteng, Rabu malam (18/5). Tuan rumah Palangka Raya keluar sebagai juara pertama, disusul Sukamara di peringkat dua, dan Barito Timur di tempat ketiga.

Koordinator panitia sepak sawut, Yerson menyebut, jumlah peser­ta sepak sawut pada FBIM 2022 berkurang dibandingkan tahun-ta­hun sebelumnya. Ia berharap per­mainan sepak sawut bisa dilestarikan oleh generasi muda Kalteng, sehingga pada FBIM berikutnya ada lebih ban­yak lagi peserta yang berpartisipasi.

Baca Juga :  Kalian Para Pemuda, Jangan Sekali-kali Menyentuh Narkoba

“Kami mengharapkan ke depan­nya peserta yang ikut tidak hanya wakil dari 14 kabupaten/kota, tapi juga dari perangkat daerah dan kala­ngan pelajar. Karena FBIM ini digelar bukan hanya untuk memperingati HUT Kalteng, tapi juga sebagai ajang pelestarian budaya,” kata Yerson.

Yerson menjelaskan, permain­an sepak sawut dimainkan oleh dua tim. Satu tim beranggota lima pemain dan dua orang cadangan. Permainannya mirip dengan sepak bola pada umumnya. Pemenang ditentukan dengan jumlah gol yang dicetak. Waktu normal pertandingan 2×10 menit. Jika tidak ada gol yang tercipta, maka ada perpanjangan waktu 2×5 menit. Bisa juga dilanjut­kan dengan adu penalti, jika selama perpanjangan waktu tak ada gol.

Terkait sejarah dari sepak sawut ini, Yerson menceritakan, pada zaman dahulu terutama di kalan­gan masyarakat adat suku Dayak Ngaju, permainan sepak sawut ini dilaksanakan saat warga sedang menunggu jenazah. “Dahulu sepak sawut ini dimainkan pada malam hari sewaktu menunggu orang mati ,supaya tidak ada yang ter­tidur sampai pagi,” cerita Yerson.

Baca Juga :  Venue Rampung, UCI MTB Siap Digelar

Dengan adanya permainan itu, suasana di rumah perkabungan tempat jenazah disemayamkan tetap ramai hingga pagi hari. “Kalau dulu permainan ini menggunakan bola sabut kelapa yang dibakar, tidak dengan tempurungnya,” ujar Yerson.

Diterangkan Yerson, permainan sepak sawut ini memiliki filosofinya. Ketika permainan sepak sawut ini dimainkan, maka mahluk gaib, roh, ataupun kekuatan jahat tidak berani menganggu aktivitas warga yang se­dang menunggu jenazah. “Jadi tidak ada ketakutan, karena adanya api, maka hal-hal yang tidak baik bisa disingkirkan,” ujar Yerson.  (sja/*irj/*rky/*pwn/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/