SAMPIT-Dewan Adat Dayak (DAD) Kotawaringin Timur (Kotim) bereaksi keras setelah sanksi adat terhadap PT Hutanindo Agro Lestari (HAL) tiba-tiba dibatalkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Sampit.
Padahal, sanksi adat yang diputuskan oleh Damang Kecamatan Tualan Hulu pada 2 Mei 2024 itu sudah tetap. PT HAL dijatuhi sanksi adat atas penggarapan lahan makam.
Sayangnya, putusan Damang Kecamatan Tualan Hulu, Kotim, Leger T Kunum, yang menjatuhi sanksi adat kepada PT HAL atas penggarapan lahan makam keluarga, resmi dibatalkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Sampit melalui putusan Nomor: 35/Pdt.G/2024/PN Spt. Keputusan pengadilan tersebut memicu reaksi keras DAD Kotim, yang menilai tindakan itu sebagai pelecehan terhadap kelembagaan adat.
Dalam putusan adat yang dikeluarkan pada 2 Mei 2024, PT HAL dijatuhi sanksi karena terbukti melanggar sejumlah pasal dalam hukum adat Dayak, terkait penggarapan lahan makam milik warga Desa Luwuk Sampun, Yanto Saputra.
Sanksi tersebut mencakup denda adat dengan total lebih dari 203 juta rupiah, dengan rincian pasal 49 tentang kerusakan kubur, pasal 87 tentang kerusakan keramat, pasal 95 tentang pelanggaran berladang, dan pasal 96 tentang etika serta moralitas.
“Pasal-pasal yang kami gunakan dalam sanksi itu sudah tepat, sesuai hukum adat Dayak dan masih sangat relevan dengan kehidupan sekarang. Ini demi menjaga keharmonisan masyarakat adat,” ucap Damang Tualan Hulu, Leger T Kunum.
Namun, langkah PN Sampit membatalkan seluruh isi keputusan tersebut membuat lembaga adat geram karena merasa dilecehkan.
Terkait hal itu, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DAD Kotim, Gahara, menyampaikan kekecewaannya atas putusan PN Kotim. Menurutnya, pengadilan tidak memiliki kewenangan membatalkan keputusan adat yang telah melalui mekanisme dan ketentuan hukum adat Dayak.
“Ini sangat kami sesalkan. Putusan itu mencoreng marwah kelembagaan adat kita. Seharusnya bila memang ada laporan atau pengaduan terkait keputusan adat, pengadilan cukup menyurati DAD untuk ditindaklanjuti secara internal, bukan malah menerbitkan putusan yang membatalkan seluruh putusan damang,” kata Gahara, Senin (19/5/2025).
Ia menegaskan, jika praktik seperti ini terus dibiarkan, akan menciptakan ketidakharmonisan antara hukum negara dan hukum adat.
“Putusan seperti ini sangat berbahaya. Jika pengadilan bisa membatalkan keputusan adat, maka tidak menutup kemungkinan nantinya lembaga adat pun bisa menyidang putusan pengadilan. Ini jelas menimbulkan kekacauan dan tidak boleh dibiarkan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gahara mengatakan hukum adat Dayak memiliki landasan yuridis yang kuat. Di antaranya, dijamin dalam Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 28I ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat. Selain itu, Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM juga memperkuat eksistensi peradilan adat.
“Semua yang sudah dilakukan melalui sidang adat sudah sesuai ketentuan undang-undang dan Perda Kalteng Nomor 16 Tahun 2008. Pengadilan negeri harus menghormati itu. Ini bukan soal ego, tetapi tentang pengakuan konstitusi terhadap hak-hak masyarakat adat,” katanya.
Oleh karena itu, DAD Kotim berencana mengambil langkah tegas dengan melaporkan majelis hakim yang menangani perkara ini kepada Ketua Umum DAD Pusat dan lembaga berwenang.
“Kami tidak akan tinggal diam. Akan kami laporkan secara resmi. Ini preseden buruk bagi sistem hukum adat kita,” imbuhnya.
Kasus ini juga menimbulkan amarah sekelompok warga yang tergabung dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kalteng. Mereka menggelar aksi demonstrasi damai di dua lokasi penting di Palangka Raya, Rabu pagi (14/5), yakni di Rumah Adat Betang Hapakat dan halaman Kantor Pengadilan Tinggi Palangka Raya di Jalan RTA Milono.
Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap putusan majelis hakim PN Sampit yang dianggap mencederai dan mengabaikan kewenangan lembaga peradilan adat Dayak, khususnya keputusan Damang Adat Kecamatan Tualan Hulu.
“Kami juga sudah menyerahkan laporan ke Pengadilan Tinggi Palangka Raya, agar mereka mengetahui dan mempertimbangkan banding yang kami ajukan terkait keputusan Pengadilan Negeri Sampit. Kami ingin keadilan yang berpihak pada adat dan tidak mengabaikan peran damang sebagai pemimpin hukum adat di suatu wilayah,” lanjut Yanto.
Adapun tuntutan pertama yang disuarakan adalah menuntut Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya dan hakim pengawas bidang agar memeriksa pelanggaran kode etik yang dilakukan majelis hakim PN Sampit yang memeriksa dan mengadili perkara perdata nomor: 36/pdt.g/2024/pn/spt, tanggal 29 april 2025, karena dinilai membuat putusan ultra petita dan telah menyinggung masyarakat hukum adat Dayak. Majelis hakim pengadilan menyatakan putusan kerapatan mantir perdamaian adat Kecamatan Tualan Hulu nomor: 1/dka-th/pts/5/2024, tanggal 2 Mei 2024 tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Tuntutan kedua ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya agar membuat pernyataan tertulis yang berisi permintaan maaf kepada seluruh masyarakat hukum adat Dayak dan kelembagaan adat Dayak se-Kalteng atas pelanggaran sebagaimana pada tuntutan pertama dan menjamin hal yang demikian tidak akan terulang lagi pada kemudian hari.
Selanjutnya, tuntutan ketiga yang disampaikan saat itu adalah mendesak DAD Kalteng menggelar sidang adat basara hai.
Sementara itu, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya Muhammad Damis menanggapi serius aspirasi masyarakat itu. Ia menyatakan pihaknya telah meminta klarifikasi dari PN Sampit sejak 9 Mei 2025, tetapi hingga kini belum menerima penjelasan resmi.
“Kami tidak tinggal diam. Ketika informasi masuk, kami langsung minta klarifikasi dari Pengadilan Negeri Sampit. Namun, hingga hari ini kami belum mendapat balasan,” ungkap Damis.
Ia menambahkan, perkara dengan nomor: 36/Pdt.G/2025/PN/Spt tersebut kini telah diajukan upaya hukum banding dan akan diperiksa ulang oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi.
Damis juga menegaskan bahwa eksistensi hukum adat diakui oleh konstitusi, terutama dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dan hakim wajib mempertimbangkan nilai-nilai hukum adat yang diterapkan masyarakat. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa putusan lembaga adat tetap harus selaras dengan ketentuan hukum nasional.
“Produk hukum adat seperti perdamaian adat, mohon didaftarkan ke pengadilan, asalkan tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum,” ucapnya.
Menanggapi kekhawatiran masyarakat soal potensi intervensi, Damis memberikan jaminan bahwa para hakim Pengadilan Tinggi Palangka Raya bekerja secara independen dan tidak terpengaruh oleh tekanan pihak mana pun. (mif/mut/ce/ala)