Sabtu, September 7, 2024
25.7 C
Palangkaraya

Karya Bumi Menangis Kritik terhadap Krisis Ekologis di Kalimantan

Menikmati Seni Lukis pada Art Ring Exibition

Seniman acap kali menyuarakan berbagai persoalan realitas dalam karya-karya mereka. Termasuk melalui karya seni visual. Sang pelukis tak hanya ingin menghibur, tetapi juga menggugah kesadaran para penikmat seni. Umar Sidik satu di antaranya. Pelukis kelahiran Kotawaringin Timur (Kotim) itu mencoba menyuarakan persoalan lingkungan yang terjadi di Pulau Kalimantan melalui sejumlah karyanya.

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

UMAR Sidik mungkin satu dari sekian pelukis realis yang kerap menyelipkan kritik dalam karya seninya. Saat pameran karya seni lukis bertajuk “Art Ring Exhibition” yang digelar di Palangka Raya, pria kelahiran Kotawaringin Timur itu memamerkan sembilan buah tangannya. Terselip kritik sosial dan lingkungan pada hampir semua karyanya itu. Salah satu yang cukup fenomenal adalah lukisannya yang menyoroti krisis ekologis di Pulau Kalimantan, termasuk Kalimantan Tengah.

Pria setengah abad itu tampak gelagapan menjelaskan buah tangannya kepada sejumlah tokoh masyarakat, seniman lain, dan perwakilan pemerintah saat meninjau lukisan-lukisan yang dipamerkan pada Pameran Seni Rupa “Art Ring Exhibition” di Galeri Seni Eko Yes, Jalan Dahlia, Palangka Raya, Sabtu pagi (20/7/2024). Tepat setelah rangkaian acara sekapur sirih dari perwakilan panitia dan tokoh masyarakat. Para hadirin tampak kagum dengan karya-karya ciptaan Umar Sidik.

Ada sembilan karya yang ia pamerkan malam itu. Membuat para peninjau hampir selalu berhenti lama melihat lukisannya, hingga bertanya-tanya secara detail tentang makna dan inspirasi di dalamnya. Sebab, sebagian karyanya memiliki makna “tepi jurang”, menyelipkan kritik atas kondisi lingkungan. Sang pelukis tampak segan menjelaskan buah tangannya.

Salah satu lukisannya yang kerap ditengok orang dan menjadi buah bibir pada pameran itu adalah Bumi Menangis. Pada lukisan itu, mata pengunjung bakal ditarik dengan mata besar di pojok kiri bagian atas lukisan, yang menggambarkan mata besar sedang mengeluarkan air mata. Persis pada bagian hitam mata itu, pengunjung yang jeli bakal melihat pulau besar, Pulau Kalimantan, dan pulau-pulau lain di Indonesia, dengan warna hijau, tampak kurang jelas karena tertutup air mata.

Pada pojok kanan bagian bawah kanvas lukisan, terlihat seorang anak kurus kerempeng sedang berjongkok, menanam pohon kecil, yang disiram oleh air mata di atasnya. Di sekeliling tubuh sang anak, terlihat kondisi tanah yang tandus dan gersang. Selain Bumi Menangis, ada lagi Langit Menangis, dengan makna yang kurang lebih sama. Lukisan Umar yang ini memperlihatkan seorang anak kecil yang menggenggam ranting pohon mati di belakangnya. Sekujur tubuhnya dibasahi oleh air mata yang berada di atas langit. Di sekeliling si anak, terlihat tanah tandus.

Umar menuturkan, lukisan Bumi Menangis merupakan salah satu karya unggulan miliknya yang sering ditampilkan di tiap pameran seni lukis. Dibuat pada 2014 lalu. Ada banyak orang yang ingin membeli karyanya itu, tetapi tak kunjung terpinang. Lukisan itu menggambarkan nasib alam di Pulau Kalimantan yang makin memprihatinkan.

“Keinginan saya, orang dapat menikmati karya seni lukis, tetapi tidak meninggalkan makna yang tersirat di dalamnya, saya selipkan kritik dan harapan agar orang bisa sadar akan pesan dari karya itu,” ungkapnya saat berbincang-bincang dengan Kalteng Pos usai pembukaan pameran.

Baca Juga :  Hilangnya Sumber Nafkah, Luntang-lantung Mencari Rumah

Pada lukisan Bumi Menangis, ayah tiga anak itu menggambarkan Pulau Kalimantan yang kondisinya kerap menghadapi berbagai persoalan lingkungan. Krisis ekologis ini tak lepas dari perilaku segelintir orang yang mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) secara berlebihan.

“Hutan dibabat, tambang makin marak, imbasnya kan kerusakan lingkungan. Masalah ini perlu kesadaran kita. Makanya di bawahnya saya melukiskan seorang anak kecil yang menanamkan sebutir pohon. Itu menggambarkan harapan masa depan pulau kita, dari generasi muda, dan dari upaya menanam pohon,” tuturnya.

Melalui lukisan berjudul Langit Menangis, Umar ingin menyampaikan pesan bahwa kerusakan di permukaan bumi tak hanya membuat kehidupan sekitarnya gersang, tetapi juga langit yang berada di atasnya. “Seorang anak yang hanya memegang ranting yang mati, menggambarkan betapa gersangnya bumi, kalau terus-terusan rusak, bagaimana itu bisa tumbuh,” imbuh lulusan SMA Muhammadiyah Sampit tahun 1992.

Lukisan-lukisan yang berbau kritik terkait persoalan lingkungan itu tampaknya berkelindan dengan pemikiran Umar Sidik yang banyak dipengaruhi perjalanan hidupnya. Lukisan kritik itu lahir dari penglihatannya terhadap kondisi alam yang makin memprihatinkan. Memutar ingatan lama, pria berusia 54 tahun itu sebelumnya pernah berprofesi sebagai pekerja kayu PT Tanjung Selatan Makmur Jaya di Banjarmasin.

“Saya dulu pekerja kayu log, malah itu yang membuat saya sadar, bekerja dari 1996 lalu dan berhenti tahun 2002, kemudian menjadi seniman, namanya sedikit memberontak, jadi akhirnya berhenti dan fokus ke dunia seni lukis,” ungkap pria kelahiran 15 Mei 1971 ini.

Darah seniman sudah mengalir dalam diri Umar Sidik sejak kecil. Sang kakek merupakan pewayang. Sedangkan sang ayah, sembari bekerja sebagai birokrat, juga merupakan komikus. Umar meninggalkan kampung halaman pada 1994, beberapa tahun setelah lulus SMA. Kala itu, kondisi hutan di Sampit masih sangat hijau. Ia pun dibuat kaget ketika pulang ke kampung halamannya pada 2014 lalu, karena hutan yang ada sudah hampir hilang dan “berganti” jadi hamparan sawit. Pada akhirnya, pemandangan itulah yang menginspirasi dirinya untuk lebih banyak menyelipkan kritik tentang persoalan lingkungan di dalam karya lukisnya. Salah satu buah inspirasinya adalah lukisan berjudul Bumi Menangis.

“Kenapa sekarang begini, dulu saya waktu pergi dari Sampit, hutan belantara semua, terlihat indah dan asri, enak dilihat, tapi ketika balik ke kampung halaman lagi, melihat kelapa sawit semua, enggak ada lagi pemandangan seperti dulu,” keluhnya.

Pandangan Umar Sidik itu sejalan dengan data deforestasi tahun 2023, seperti yang dirilis Auriga Nusantara. Lembaga itu memotret luas deforestasi di Indonesia sepanjang tahun 2023 yang mencapai 257.384 hektare (ha), atau bertambah 26.624 ha dibanding deforestasi tahun sebelumnya (2022) yang seluas 230.760 ha. Berdasarkan pulau, Kalimantan menjadi pulau dengan deforestasi terparah.

Pada data tersebut, Auriga mencatat bahwa seluruh provinsi di Pulau Kalimantan masuk 10 besar daerah dengan tingkat deforestasi terluas di Indonesia sepanjang tahun 2023. Urutan pertama adalah Kalimantan Barat, lalu menyusul Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Riau, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat, dan daerah lainnya.

Baca Juga :  Agustiar Beberkan Kunci Sukses Berbisnis

Sebagai bagian dari pulau yang dijuluki paru-paru dunia, kerusakan lingkungan di Bumi Tambun Bungai terus terjadi. Dalam suatu kesempatan wawancara dengan Kalteng Pos beberapa waktu lalu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata berpendapat, salah satu dampak kerusakan lingkungan di Kalteng adalah munculnya bencana ekologis berulang, seperti banjir yang terjadi lebih dari sekali dalam setahun.

Menurut Bayu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali berbagai kebijakan yang diambil serta dampaknya bagi keseimbangan ekosistem. Dijelaskannya, berdasarkan hasil rekapitulasi data dan analisis terkait penguasaan ruang di Kalteng oleh Walhi Kalteng pada periode 2022-2023, terdapat adanya kenaikan perluasan perizinan korporasi sumber daya alam (SDA). Penguasaan lahan untuk perkebunan di Kalteng periode 2022-2023 mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yakni seluas kurang lebih 245.556 ha.

Selain itu, berdasarkan hasil rekapitulasi data tutupan lahan daerah aliran sungai (DAS) Provinsi Kalteng tahun 2022, diketahui luas tutupan lahan hutan tanaman di DAS seluas 182.341 ha, luas tutupan perkebunan di DAS seluas 2.044.290 ha, dan luas tutupan pertambangan di DAS seluas 169.350 ha.

“Ini menunjukan bahwa tiap tahun makin masif perubahan tutupan lahan dan kondisi daerah aliran sungai akibat dari selarasnya kenaikan tingkat penguasaan ruang oleh korporasi, yang berujung terjadinya deforestasi dan kerusakan lingkungan,” ucap Bayu, Rabu malam (5/6/2024).

Kerentanan terjadinya bencana ekologis secara terus-menerus, menurut Bayu, menjadi pokok permasalahan dari makin masifnya pemberian izin baru kepada korporasi yang usahanya berbasis lahan. “Ini merupakan ancaman serius terhadap rusaknya tata ruang, yang berujung pada makin rusaknya daerah resapan air serta mengakibatkan krisis daya tampung dan daya dukung lingkungan,” tuturnya.

Bencana ekologis seperti banjir yang terjadi di sepanjang tahun 2023-2024, kata Bayu, telah merendam sebagian besar wilayah kabupaten di Kalteng. Banjir bukan hanya terjadi pada wilayah yang menjadi langganan banjir, tapi juga meluas ke wilayah yang sebelumnya tidak pernah mengalami banjir.

“Bencana banjir menjadi salah satu bukti nyata dampak dari makin rusaknya lingkungan akibat aktivitas industrialisasi yang menyebabkan krisis iklim, menjadi ancaman nyata bagi masa depan bumi,” jelasnya.

Selain itu, Bayu menekankan pentingnya mengevaluasi berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang hanya memperburuk dan merusak lingkungan. Sudah seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan mitigasi bencana di wilayah Kalteng.

“Langkah awal bisa dimulai dengan membuat analisis faktor penyebab, seperti melakukan evaluasi tata guna lahan di Kalteng, sehingga kebijakan yang dikeluarkan dapat tepat sasaran dan melindungi rakyat dari bencana ekologis berulang,” tegasnya.

Dari berbagai persoalan yang terjadi, menurutnya, sudah seharusnya pemerintah segera mengambil langkah mitigasi, tanpa menunggu terjadinya bencana. (*/ce/ala)

Menikmati Seni Lukis pada Art Ring Exibition

Seniman acap kali menyuarakan berbagai persoalan realitas dalam karya-karya mereka. Termasuk melalui karya seni visual. Sang pelukis tak hanya ingin menghibur, tetapi juga menggugah kesadaran para penikmat seni. Umar Sidik satu di antaranya. Pelukis kelahiran Kotawaringin Timur (Kotim) itu mencoba menyuarakan persoalan lingkungan yang terjadi di Pulau Kalimantan melalui sejumlah karyanya.

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

UMAR Sidik mungkin satu dari sekian pelukis realis yang kerap menyelipkan kritik dalam karya seninya. Saat pameran karya seni lukis bertajuk “Art Ring Exhibition” yang digelar di Palangka Raya, pria kelahiran Kotawaringin Timur itu memamerkan sembilan buah tangannya. Terselip kritik sosial dan lingkungan pada hampir semua karyanya itu. Salah satu yang cukup fenomenal adalah lukisannya yang menyoroti krisis ekologis di Pulau Kalimantan, termasuk Kalimantan Tengah.

Pria setengah abad itu tampak gelagapan menjelaskan buah tangannya kepada sejumlah tokoh masyarakat, seniman lain, dan perwakilan pemerintah saat meninjau lukisan-lukisan yang dipamerkan pada Pameran Seni Rupa “Art Ring Exhibition” di Galeri Seni Eko Yes, Jalan Dahlia, Palangka Raya, Sabtu pagi (20/7/2024). Tepat setelah rangkaian acara sekapur sirih dari perwakilan panitia dan tokoh masyarakat. Para hadirin tampak kagum dengan karya-karya ciptaan Umar Sidik.

Ada sembilan karya yang ia pamerkan malam itu. Membuat para peninjau hampir selalu berhenti lama melihat lukisannya, hingga bertanya-tanya secara detail tentang makna dan inspirasi di dalamnya. Sebab, sebagian karyanya memiliki makna “tepi jurang”, menyelipkan kritik atas kondisi lingkungan. Sang pelukis tampak segan menjelaskan buah tangannya.

Salah satu lukisannya yang kerap ditengok orang dan menjadi buah bibir pada pameran itu adalah Bumi Menangis. Pada lukisan itu, mata pengunjung bakal ditarik dengan mata besar di pojok kiri bagian atas lukisan, yang menggambarkan mata besar sedang mengeluarkan air mata. Persis pada bagian hitam mata itu, pengunjung yang jeli bakal melihat pulau besar, Pulau Kalimantan, dan pulau-pulau lain di Indonesia, dengan warna hijau, tampak kurang jelas karena tertutup air mata.

Pada pojok kanan bagian bawah kanvas lukisan, terlihat seorang anak kurus kerempeng sedang berjongkok, menanam pohon kecil, yang disiram oleh air mata di atasnya. Di sekeliling tubuh sang anak, terlihat kondisi tanah yang tandus dan gersang. Selain Bumi Menangis, ada lagi Langit Menangis, dengan makna yang kurang lebih sama. Lukisan Umar yang ini memperlihatkan seorang anak kecil yang menggenggam ranting pohon mati di belakangnya. Sekujur tubuhnya dibasahi oleh air mata yang berada di atas langit. Di sekeliling si anak, terlihat tanah tandus.

Umar menuturkan, lukisan Bumi Menangis merupakan salah satu karya unggulan miliknya yang sering ditampilkan di tiap pameran seni lukis. Dibuat pada 2014 lalu. Ada banyak orang yang ingin membeli karyanya itu, tetapi tak kunjung terpinang. Lukisan itu menggambarkan nasib alam di Pulau Kalimantan yang makin memprihatinkan.

“Keinginan saya, orang dapat menikmati karya seni lukis, tetapi tidak meninggalkan makna yang tersirat di dalamnya, saya selipkan kritik dan harapan agar orang bisa sadar akan pesan dari karya itu,” ungkapnya saat berbincang-bincang dengan Kalteng Pos usai pembukaan pameran.

Baca Juga :  Hilangnya Sumber Nafkah, Luntang-lantung Mencari Rumah

Pada lukisan Bumi Menangis, ayah tiga anak itu menggambarkan Pulau Kalimantan yang kondisinya kerap menghadapi berbagai persoalan lingkungan. Krisis ekologis ini tak lepas dari perilaku segelintir orang yang mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) secara berlebihan.

“Hutan dibabat, tambang makin marak, imbasnya kan kerusakan lingkungan. Masalah ini perlu kesadaran kita. Makanya di bawahnya saya melukiskan seorang anak kecil yang menanamkan sebutir pohon. Itu menggambarkan harapan masa depan pulau kita, dari generasi muda, dan dari upaya menanam pohon,” tuturnya.

Melalui lukisan berjudul Langit Menangis, Umar ingin menyampaikan pesan bahwa kerusakan di permukaan bumi tak hanya membuat kehidupan sekitarnya gersang, tetapi juga langit yang berada di atasnya. “Seorang anak yang hanya memegang ranting yang mati, menggambarkan betapa gersangnya bumi, kalau terus-terusan rusak, bagaimana itu bisa tumbuh,” imbuh lulusan SMA Muhammadiyah Sampit tahun 1992.

Lukisan-lukisan yang berbau kritik terkait persoalan lingkungan itu tampaknya berkelindan dengan pemikiran Umar Sidik yang banyak dipengaruhi perjalanan hidupnya. Lukisan kritik itu lahir dari penglihatannya terhadap kondisi alam yang makin memprihatinkan. Memutar ingatan lama, pria berusia 54 tahun itu sebelumnya pernah berprofesi sebagai pekerja kayu PT Tanjung Selatan Makmur Jaya di Banjarmasin.

“Saya dulu pekerja kayu log, malah itu yang membuat saya sadar, bekerja dari 1996 lalu dan berhenti tahun 2002, kemudian menjadi seniman, namanya sedikit memberontak, jadi akhirnya berhenti dan fokus ke dunia seni lukis,” ungkap pria kelahiran 15 Mei 1971 ini.

Darah seniman sudah mengalir dalam diri Umar Sidik sejak kecil. Sang kakek merupakan pewayang. Sedangkan sang ayah, sembari bekerja sebagai birokrat, juga merupakan komikus. Umar meninggalkan kampung halaman pada 1994, beberapa tahun setelah lulus SMA. Kala itu, kondisi hutan di Sampit masih sangat hijau. Ia pun dibuat kaget ketika pulang ke kampung halamannya pada 2014 lalu, karena hutan yang ada sudah hampir hilang dan “berganti” jadi hamparan sawit. Pada akhirnya, pemandangan itulah yang menginspirasi dirinya untuk lebih banyak menyelipkan kritik tentang persoalan lingkungan di dalam karya lukisnya. Salah satu buah inspirasinya adalah lukisan berjudul Bumi Menangis.

“Kenapa sekarang begini, dulu saya waktu pergi dari Sampit, hutan belantara semua, terlihat indah dan asri, enak dilihat, tapi ketika balik ke kampung halaman lagi, melihat kelapa sawit semua, enggak ada lagi pemandangan seperti dulu,” keluhnya.

Pandangan Umar Sidik itu sejalan dengan data deforestasi tahun 2023, seperti yang dirilis Auriga Nusantara. Lembaga itu memotret luas deforestasi di Indonesia sepanjang tahun 2023 yang mencapai 257.384 hektare (ha), atau bertambah 26.624 ha dibanding deforestasi tahun sebelumnya (2022) yang seluas 230.760 ha. Berdasarkan pulau, Kalimantan menjadi pulau dengan deforestasi terparah.

Pada data tersebut, Auriga mencatat bahwa seluruh provinsi di Pulau Kalimantan masuk 10 besar daerah dengan tingkat deforestasi terluas di Indonesia sepanjang tahun 2023. Urutan pertama adalah Kalimantan Barat, lalu menyusul Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Riau, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat, dan daerah lainnya.

Baca Juga :  Agustiar Beberkan Kunci Sukses Berbisnis

Sebagai bagian dari pulau yang dijuluki paru-paru dunia, kerusakan lingkungan di Bumi Tambun Bungai terus terjadi. Dalam suatu kesempatan wawancara dengan Kalteng Pos beberapa waktu lalu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata berpendapat, salah satu dampak kerusakan lingkungan di Kalteng adalah munculnya bencana ekologis berulang, seperti banjir yang terjadi lebih dari sekali dalam setahun.

Menurut Bayu, pemerintah perlu mengevaluasi kembali berbagai kebijakan yang diambil serta dampaknya bagi keseimbangan ekosistem. Dijelaskannya, berdasarkan hasil rekapitulasi data dan analisis terkait penguasaan ruang di Kalteng oleh Walhi Kalteng pada periode 2022-2023, terdapat adanya kenaikan perluasan perizinan korporasi sumber daya alam (SDA). Penguasaan lahan untuk perkebunan di Kalteng periode 2022-2023 mengalami kenaikan yang cukup signifikan, yakni seluas kurang lebih 245.556 ha.

Selain itu, berdasarkan hasil rekapitulasi data tutupan lahan daerah aliran sungai (DAS) Provinsi Kalteng tahun 2022, diketahui luas tutupan lahan hutan tanaman di DAS seluas 182.341 ha, luas tutupan perkebunan di DAS seluas 2.044.290 ha, dan luas tutupan pertambangan di DAS seluas 169.350 ha.

“Ini menunjukan bahwa tiap tahun makin masif perubahan tutupan lahan dan kondisi daerah aliran sungai akibat dari selarasnya kenaikan tingkat penguasaan ruang oleh korporasi, yang berujung terjadinya deforestasi dan kerusakan lingkungan,” ucap Bayu, Rabu malam (5/6/2024).

Kerentanan terjadinya bencana ekologis secara terus-menerus, menurut Bayu, menjadi pokok permasalahan dari makin masifnya pemberian izin baru kepada korporasi yang usahanya berbasis lahan. “Ini merupakan ancaman serius terhadap rusaknya tata ruang, yang berujung pada makin rusaknya daerah resapan air serta mengakibatkan krisis daya tampung dan daya dukung lingkungan,” tuturnya.

Bencana ekologis seperti banjir yang terjadi di sepanjang tahun 2023-2024, kata Bayu, telah merendam sebagian besar wilayah kabupaten di Kalteng. Banjir bukan hanya terjadi pada wilayah yang menjadi langganan banjir, tapi juga meluas ke wilayah yang sebelumnya tidak pernah mengalami banjir.

“Bencana banjir menjadi salah satu bukti nyata dampak dari makin rusaknya lingkungan akibat aktivitas industrialisasi yang menyebabkan krisis iklim, menjadi ancaman nyata bagi masa depan bumi,” jelasnya.

Selain itu, Bayu menekankan pentingnya mengevaluasi berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang hanya memperburuk dan merusak lingkungan. Sudah seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan mitigasi bencana di wilayah Kalteng.

“Langkah awal bisa dimulai dengan membuat analisis faktor penyebab, seperti melakukan evaluasi tata guna lahan di Kalteng, sehingga kebijakan yang dikeluarkan dapat tepat sasaran dan melindungi rakyat dari bencana ekologis berulang,” tegasnya.

Dari berbagai persoalan yang terjadi, menurutnya, sudah seharusnya pemerintah segera mengambil langkah mitigasi, tanpa menunggu terjadinya bencana. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/