Kamis, September 19, 2024
37.9 C
Palangkaraya

Dari Dialog Fatwa Perubahan Iklim

Umat Islam Wajib Menjaga Kelestarian Lingkungan

Islam adalah agama yang memiliki visi mulia rahmatan lil alamin. Visi besar yang menuntun umat-Nya untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam. Sebagai makhluk berakal yang hidup di bumi, umat muslim memikul tanggung jawab besar untuk memberikan kemaslahatan. Tak hanya bagi sesama, tetapi juga lingkungan, bentala, dan dunia tempat ia menyemaikan kebajikan dan amal saleh.

 

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

 

MENINGKATNYA kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekonomi ekstraktif sumber daya alam (SDA) yang terus-menerus menggeliat, tingginya tingkat konsumsi manusia, ancaman perubahan iklim, dan potensi terjadinya berbagai bencana akibat ulah tangan manusia terhadap lingkungan, menjadi titik balik bagi umat muslim untuk menyadari posisinya bagi alam dan lingkungan.

Tentang urgensi menjaga kelestarian lingkungan sebagai bagian dari ibadah muamalah yang termaktub dalam dalil-dalil qur’ani dan telah mewujud dalam fatwa-fatwa agama, diungkapkan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup (LPLH) dan Sumber Daya Alam (SDA) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Hayu Prabowo.

Menurutnya, umat muslim memiliki tanggung jawab untuk turut berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan sesuai dengan kewajibannya. Sebab, melestarikan lingkungan merupakan bagian dari ibadah muamalah. Menjaga lingkungan, jika dilihat dalam tataran praktisnya, sangat penting bagi manusia. Karena dari lingkunganlah, kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan, bisa terpenuhi.

Berdasarkan kondisi bumi terkini, kata Hayu, kelangsungan alam dan lingkungan cukup terganggu akibat pola konsumsi dan produksi manusia yang terus meningkat. Hal ini diduga terjadi akibat maraknya bisnis ekstraktif SDA dan perilaku manusia yang konsumtif. Menurut Hayu, perlu kesadaran dalam diri manusia manusia untuk menahan nafsu konsumsi dan produksi, termasuk nafsu mengekstraksi SDA yang berlebihan. Sebagai solusi, diperlukan penerapan konsep ekonomi sirkular dalam aktivitas ekonomi masyarakat.

“Kerakusan manusia ditandai dengan kenaikan angka produksi dan konsumsi yang sudah melebihi daya dukung dan daya tampung bumi. Oleh karena itu, kita harus menahan hawa nafsu. Islam mengajarkan hal ini, tentang bagaimana manusia menahan hawa nafsunya,” jelas Hayu saat memberikan paparan dalam diskusi panel bertajuk Dialog Fatwa Perubahan Iklim, yang diselenggarakan Yayasan Borneo Nature Indonesia di halaman Bapelkes Kalteng, Kamis (22/6).

Hayu berpendapat, kerusakan lingkungan hidup sepadan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi. Kerusakan lingkungan hidup juga berbanding lurus dengan meningkatnya intensitas bencana alam. Jika merunut data bencana nasional yang dihimpun BNPB, Hayu menyebut bencana alam saat ini mengalami peningkatan, terutama bencana hidrometeorologis.

“Kenapa bisa meningkat, karena siklus hidrologi kita terganggu, luasan hutan kita makin hari makin sedikit, bisa dilihat bencana-bencana yang meningkat itu seperti banjir, tanah longsor, badai, dan karhutla. Kalau berdasarkan data BNPB, 90 persen penyebab bencana karena kerusakan lingkungan akibat ulah manusia,” jelas Hayu.

Baca Juga :  Sanaman Mantikei Ditata Ulang

Jumlah bencana alam yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, lanjut Hayu, menegaskan kebenaran Surah Ar-Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

“Kalau ingin melihat kebenaran surah ini, kita dapat melihat bahwa selama pandemi Covid-19 yang berlangsung kurang lebih dua tahun, di mana aktivitas manusia terbatas, intensitas bencana alam berkurang,” tuturnya.

Hayu mengatakan, dalam kepercayaan umat muslim, sewaktu-waktu Allah dapat memberikan peringatan kepada umat-Nya, bahwa bumi telah mengalami krisis lingkungan. Lazim ditemui bencana-bencana alam yang dipicu oleh tangan manusia, justru malah kembali berdampak negatif terhadap sesama manusia. Apalagi di tengah perubahan iklim bumi dewasa ini. Menurut Hayu, peringatan dari Allah itu telah tercantum dalam Quran Surah (QS) Ad Dukhan, ayat 10-11.

“Perubahan iklim di bumi sudah diperingatkan oleh Allah dalam surah QS Ad Dukhan ayat 10-11. Dalam surah itu tertulis, “Maka tunggulah hari ketika langit membawa dukhan (kabut) yang nyata, yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. Apakah kabut itu emisi? Wallahu a’lam,” ungkapnya.

Hayu menjelaskan, Islam merupakan agama yang holistik. Tak hanya berurusan dengan dimensi ukhrawi, tetapi juga duniawi. Bahkan seorang muslim diwajibkan menjaga keseimbangan antara keduanya. Ibadah yang dilakukan pun tak hanya bersangkutan dengan ibadah mahdah atau ritual antara manusia dengan tuhan, tapi juga ghairu mahdhah atau muamalah, ibadah antarmanusia, dan manusia dengan lingkungan.

Menjaga lingkungan, lanjut Hayu, termasuk bagian dari ibadah muamalah. Apalagi di tengah menyeruaknya isu lingkungan beberapa dekade terakhir. Karena itu, mindset ibadah holistik perlu dimiliki oleh tiap umat muslim. Atas dasar itulah, kaum muslim memikul tanggung jawab untuk menjaga lingkungan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui LPLH dan SDA merumuskan fatwa dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. Dalam perjalanannya, tutur Hayu, pihaknya telah merumuskan enam poin fatwa. Kaum muslim dapat menjadikan keenam fatwa tersebut sebagai tuntunan, sebelum melakukan aktivitas yang berpotensi dapat bersinggungan dengan alam dan lingkungan.

“Ada enam fatwa, yakni fatwa satwa langka, fatwa pertambangan ramah lingkungan, fatwa pengelolaan sampah, fatwa kebakaran hutan dan lahan, fatwa daur ulang air, dan fatwa pendayagunaan zakat, infaq, dan sedekah untuk pembangunan sarana air dan sanitasi masyarakat,” sebutnya.

Baca Juga :  Ini Syarat Bisa Keluar Masuk Kapuas

Menurut Hayu, lembaga yang dipimpinnya, yakni LPLH dan SDA MUI, menempati peran penting dalam percaturan agama Islam yang berwawasan lingkungan. Sejauh ini hanya 16 provinsi di Indonesia yang MUI-nya memiliki LPLH dan SDA. Kalteng bukan salah satunya.

“LPLH dan SDA MUI yang ada di tingkat provinsi maupun kabupaten dapat menjalankan fungsi sosialisasi Islam yang berwawasan lingkungan, makanya kami minta kepada MUI Kalteng untuk membentuk lembaga seperti kami, hal ini sesuai dengan kesepakatan dalam munas MUI beberapa waktu lalu,” tandasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Jafrul menambahkan, sejak jauh-jauh hari MUI telah menerbitkan enam fatwa terkait lingkungan hidup.

“Kami menyadari bahwa masyarakat muslim memerlukan pedoman untuk menjaga lingkungan hidup, karena itu kami menerbitkan fatwa, komisi ini bukan sekadar menerbitkan fatwa, tapi juga berproses untuk menajamkan konsep fikih lingkungan, sesuai dengan konteks Indonesia dan masing-masing daerah,” jelasnya.

Jafrul mengatakan, saat ini pihaknya tengah berupaya membangun konsep fikih lingkungan sesuai kondisi lingkungan di Indonesia, berikut masing-masing daerahnya.

“Konsep fikih lingkungan ini bukan dimaksudkan untuk mengganti fatwa tentang lingkungan, melainkan melengkapinya sebagai pedoman besar bagi umat muslim untuk menjaga lingkungan yang sesuai dengan konteks agama Islam. Saat ini naskah akademiknya tengah dirumuskan,” tandasnya.

Dalam forum yang sama, Ketua MUI Kalteng Prof Khairil Anwar mengungkapkan, dalam konsep Islam wasathiyah, umat muslim tidak hanya diwajibkan untuk menjaga hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia, melainkan juga dengan lingkungan. Ia juga menyetujui perihal pembentukan LPLH dan SDA MUI Kalteng.

“Selama ini hubungan dengan sesama manusia saja yang kita dengungkan, padahal ada juga dimensi menjaga hubungan dengan alam dan lingkungan, karena alam dan lingkungan ini kan hidup juga di bumi, yang eksistensinya turut berpengaruh terhadap keseimbangan alam,” tuturnya.

Mantan Rektor IAIN Palangka Raya itu menyebut, terdapat tiga dimensi relasi penting yang harus dipahami kaum muslim. Yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan.

“Nilai keseimbangan dengan alam harus dipahami. Selaku umat muslim harus memahami bahwa Islam tidak hanya membahas hubungan manusia dengan sesama, tetapi juga dengan alam dan lingkungan,” tandasnya. (*/ce/ala)

Islam adalah agama yang memiliki visi mulia rahmatan lil alamin. Visi besar yang menuntun umat-Nya untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam. Sebagai makhluk berakal yang hidup di bumi, umat muslim memikul tanggung jawab besar untuk memberikan kemaslahatan. Tak hanya bagi sesama, tetapi juga lingkungan, bentala, dan dunia tempat ia menyemaikan kebajikan dan amal saleh.

 

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

 

MENINGKATNYA kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekonomi ekstraktif sumber daya alam (SDA) yang terus-menerus menggeliat, tingginya tingkat konsumsi manusia, ancaman perubahan iklim, dan potensi terjadinya berbagai bencana akibat ulah tangan manusia terhadap lingkungan, menjadi titik balik bagi umat muslim untuk menyadari posisinya bagi alam dan lingkungan.

Tentang urgensi menjaga kelestarian lingkungan sebagai bagian dari ibadah muamalah yang termaktub dalam dalil-dalil qur’ani dan telah mewujud dalam fatwa-fatwa agama, diungkapkan Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup (LPLH) dan Sumber Daya Alam (SDA) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Hayu Prabowo.

Menurutnya, umat muslim memiliki tanggung jawab untuk turut berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan sesuai dengan kewajibannya. Sebab, melestarikan lingkungan merupakan bagian dari ibadah muamalah. Menjaga lingkungan, jika dilihat dalam tataran praktisnya, sangat penting bagi manusia. Karena dari lingkunganlah, kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, dan papan, bisa terpenuhi.

Berdasarkan kondisi bumi terkini, kata Hayu, kelangsungan alam dan lingkungan cukup terganggu akibat pola konsumsi dan produksi manusia yang terus meningkat. Hal ini diduga terjadi akibat maraknya bisnis ekstraktif SDA dan perilaku manusia yang konsumtif. Menurut Hayu, perlu kesadaran dalam diri manusia manusia untuk menahan nafsu konsumsi dan produksi, termasuk nafsu mengekstraksi SDA yang berlebihan. Sebagai solusi, diperlukan penerapan konsep ekonomi sirkular dalam aktivitas ekonomi masyarakat.

“Kerakusan manusia ditandai dengan kenaikan angka produksi dan konsumsi yang sudah melebihi daya dukung dan daya tampung bumi. Oleh karena itu, kita harus menahan hawa nafsu. Islam mengajarkan hal ini, tentang bagaimana manusia menahan hawa nafsunya,” jelas Hayu saat memberikan paparan dalam diskusi panel bertajuk Dialog Fatwa Perubahan Iklim, yang diselenggarakan Yayasan Borneo Nature Indonesia di halaman Bapelkes Kalteng, Kamis (22/6).

Hayu berpendapat, kerusakan lingkungan hidup sepadan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi. Kerusakan lingkungan hidup juga berbanding lurus dengan meningkatnya intensitas bencana alam. Jika merunut data bencana nasional yang dihimpun BNPB, Hayu menyebut bencana alam saat ini mengalami peningkatan, terutama bencana hidrometeorologis.

“Kenapa bisa meningkat, karena siklus hidrologi kita terganggu, luasan hutan kita makin hari makin sedikit, bisa dilihat bencana-bencana yang meningkat itu seperti banjir, tanah longsor, badai, dan karhutla. Kalau berdasarkan data BNPB, 90 persen penyebab bencana karena kerusakan lingkungan akibat ulah manusia,” jelas Hayu.

Baca Juga :  Sanaman Mantikei Ditata Ulang

Jumlah bencana alam yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, lanjut Hayu, menegaskan kebenaran Surah Ar-Rum ayat 41, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

“Kalau ingin melihat kebenaran surah ini, kita dapat melihat bahwa selama pandemi Covid-19 yang berlangsung kurang lebih dua tahun, di mana aktivitas manusia terbatas, intensitas bencana alam berkurang,” tuturnya.

Hayu mengatakan, dalam kepercayaan umat muslim, sewaktu-waktu Allah dapat memberikan peringatan kepada umat-Nya, bahwa bumi telah mengalami krisis lingkungan. Lazim ditemui bencana-bencana alam yang dipicu oleh tangan manusia, justru malah kembali berdampak negatif terhadap sesama manusia. Apalagi di tengah perubahan iklim bumi dewasa ini. Menurut Hayu, peringatan dari Allah itu telah tercantum dalam Quran Surah (QS) Ad Dukhan, ayat 10-11.

“Perubahan iklim di bumi sudah diperingatkan oleh Allah dalam surah QS Ad Dukhan ayat 10-11. Dalam surah itu tertulis, “Maka tunggulah hari ketika langit membawa dukhan (kabut) yang nyata, yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. Apakah kabut itu emisi? Wallahu a’lam,” ungkapnya.

Hayu menjelaskan, Islam merupakan agama yang holistik. Tak hanya berurusan dengan dimensi ukhrawi, tetapi juga duniawi. Bahkan seorang muslim diwajibkan menjaga keseimbangan antara keduanya. Ibadah yang dilakukan pun tak hanya bersangkutan dengan ibadah mahdah atau ritual antara manusia dengan tuhan, tapi juga ghairu mahdhah atau muamalah, ibadah antarmanusia, dan manusia dengan lingkungan.

Menjaga lingkungan, lanjut Hayu, termasuk bagian dari ibadah muamalah. Apalagi di tengah menyeruaknya isu lingkungan beberapa dekade terakhir. Karena itu, mindset ibadah holistik perlu dimiliki oleh tiap umat muslim. Atas dasar itulah, kaum muslim memikul tanggung jawab untuk menjaga lingkungan.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui LPLH dan SDA merumuskan fatwa dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. Dalam perjalanannya, tutur Hayu, pihaknya telah merumuskan enam poin fatwa. Kaum muslim dapat menjadikan keenam fatwa tersebut sebagai tuntunan, sebelum melakukan aktivitas yang berpotensi dapat bersinggungan dengan alam dan lingkungan.

“Ada enam fatwa, yakni fatwa satwa langka, fatwa pertambangan ramah lingkungan, fatwa pengelolaan sampah, fatwa kebakaran hutan dan lahan, fatwa daur ulang air, dan fatwa pendayagunaan zakat, infaq, dan sedekah untuk pembangunan sarana air dan sanitasi masyarakat,” sebutnya.

Baca Juga :  Ini Syarat Bisa Keluar Masuk Kapuas

Menurut Hayu, lembaga yang dipimpinnya, yakni LPLH dan SDA MUI, menempati peran penting dalam percaturan agama Islam yang berwawasan lingkungan. Sejauh ini hanya 16 provinsi di Indonesia yang MUI-nya memiliki LPLH dan SDA. Kalteng bukan salah satunya.

“LPLH dan SDA MUI yang ada di tingkat provinsi maupun kabupaten dapat menjalankan fungsi sosialisasi Islam yang berwawasan lingkungan, makanya kami minta kepada MUI Kalteng untuk membentuk lembaga seperti kami, hal ini sesuai dengan kesepakatan dalam munas MUI beberapa waktu lalu,” tandasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Jafrul menambahkan, sejak jauh-jauh hari MUI telah menerbitkan enam fatwa terkait lingkungan hidup.

“Kami menyadari bahwa masyarakat muslim memerlukan pedoman untuk menjaga lingkungan hidup, karena itu kami menerbitkan fatwa, komisi ini bukan sekadar menerbitkan fatwa, tapi juga berproses untuk menajamkan konsep fikih lingkungan, sesuai dengan konteks Indonesia dan masing-masing daerah,” jelasnya.

Jafrul mengatakan, saat ini pihaknya tengah berupaya membangun konsep fikih lingkungan sesuai kondisi lingkungan di Indonesia, berikut masing-masing daerahnya.

“Konsep fikih lingkungan ini bukan dimaksudkan untuk mengganti fatwa tentang lingkungan, melainkan melengkapinya sebagai pedoman besar bagi umat muslim untuk menjaga lingkungan yang sesuai dengan konteks agama Islam. Saat ini naskah akademiknya tengah dirumuskan,” tandasnya.

Dalam forum yang sama, Ketua MUI Kalteng Prof Khairil Anwar mengungkapkan, dalam konsep Islam wasathiyah, umat muslim tidak hanya diwajibkan untuk menjaga hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia, melainkan juga dengan lingkungan. Ia juga menyetujui perihal pembentukan LPLH dan SDA MUI Kalteng.

“Selama ini hubungan dengan sesama manusia saja yang kita dengungkan, padahal ada juga dimensi menjaga hubungan dengan alam dan lingkungan, karena alam dan lingkungan ini kan hidup juga di bumi, yang eksistensinya turut berpengaruh terhadap keseimbangan alam,” tuturnya.

Mantan Rektor IAIN Palangka Raya itu menyebut, terdapat tiga dimensi relasi penting yang harus dipahami kaum muslim. Yakni hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan.

“Nilai keseimbangan dengan alam harus dipahami. Selaku umat muslim harus memahami bahwa Islam tidak hanya membahas hubungan manusia dengan sesama, tetapi juga dengan alam dan lingkungan,” tandasnya. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/