Rekam jejaknya dimulai sejak 1975 silam, berbagai lembaga perbankan dan keuangan telah menjadi persinggahan yang memperkuat kapabilitas dan pengalaman pria kelahiran Solo, Jawa Tengah. Pengalaman yang tak sedikit ini membuat Dias yang dikenal tegas bahkan menjadi geregetan saat mendapati pengelolaan bisnis Bank Kalteng saat itu, dinilai kurang maksimal dan sekadar main aman.
“Satu hal yang melenakan di BPD itu adalah pengelolaan payroll pegawai pemda dan lembaga-lembaga daerah setempat. Lalu tawarkan berbagai produk ke mereka. Produk pembiayaan, kredit rumah, bancassurance, dan macam-macam lainnya. Ini captive market. Tanpa kita harus ngapa-ngapain, pasar sudah tersedia. Tapi apakah kita puas dengan hanya mengandalkan bisnis seperti ini saja? Kan enggak,” kata Dias.
Dias menyebut, begitu identiknya pasar pegawai pemda terhadap kinerja Bank Kalteng saat itu, sampai-sampai di masyarakat muncul stereotip bahwa Bank Kalteng merupakan bank milik pemda. Dengan demikian, masyarakat umum hingga pengusaha cukup sungkan untuk menempatkan dana hingga mengajukan kredit ke Bank Kalteng, lantaran merasa layanan bisnis Bank Kalteng hanya diperuntukkan bagi para pegawai pemda.
“Dari situlah saya mulai benahi pelan-pelan. Saya tanamkan ke seluruh karyawan bahwa kalau kita puas dengan kinerja yang begini-begini saja, ya kita tidak akan berkembang. Pasar kita hanya terbatas di situ-situ saja. Kalangan swasta, pengusaha dan lain-lain tidak mau ke kita, karena profil kita terlalu identik dengan pegawai pemda,” ungkapnya.
Di sisi lain, budaya kerja bermain aman di zona nyaman ini, perlahan dikikis di masa kepemimpinannya. Langkah yang diterapkan yakni menanamkan budaya kerja baru yang lebih kompetitif dan berorientasi pada hasil yang semaksimal mungkin. Satu semangat yang disebarkan ke seluruh jajaran pegawai Bank Kalteng, yakni perkembangan bisnis tidak akan pernah tercipta apabila usaha yang dilakukan masih saja sama dengan kinerja-kinerja sebelumnya. Termasuk pula dorongan untuk mulai memahami dan memetakan potensi bisnis yang tersedia di pasar Kalimantan Tengah, yang notabene merupakan kawasan perkebunan sawit dan karet.
“Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Artinya harus mengenal potensi yang ada di sekitar. Berpijak sembarangan juga bisa membuat terjatuh. Maka kami harus bisa tentukan bisnis yang tepat agar tetap bisa tegak berdiri. Kami tahu bahwa Kalteng ini daerah perkebunan, maka aneh bila kami tidak terjun ke bisnis itu,” papar Dias.