Senin, Juli 8, 2024
24.5 C
Palangkaraya

Wilayah Hilir Katingan Siaga Banjir Kiriman

KASONGAN-Tiap tahun bencana banjir melanda Katingan dan sejumlah wilayah di Kalteng. Sekarang ini kondisi banjir di wilayah Kabupaten Katingan terus bergeser. Masyarakat yang tinggal di wilayah hilir Katingan sudah mulai siaga terhadap bencana banjir kiriman dari hulu. Berkaca dari pengalaman banjir tahun-tahun sebelumnya, banjir bakal terjadi lebih lama di wilayah hilir.

“Kami dari Kecamatan Kamipang saat ini sudah memberikan imbauan kepada masyarakat mengantisipasi bencana banjir,” kata Camat Kamipang Ade Irwan kepada Kalteng Pos, Rabu (29/5).

Ade mengingatkan masyarakat agar selalu siaga menghadapi bencana banjir. Sebab, wilayah Kecamatan Kamipang merupakan tempat atau puncaknya bencana banjir. Jika di daerah lain hanya berlangsung sekitar dua hingga tiga hari, di wilayah Kecamatan Kamipang bisa mencapai satu hingga dua bulan.

“Sebab di wilayah hilir Kecamatan Kamipang ini merupakan pertemuan air pasang surut, sehingga jika sudah terjadi banjir, waktunya lebih lama,” ungkap Ade Irwan.

Pria lulusan IPDN itu juga mengingatkan kepada seluruh kepala desa untuk berperan aktif melakukan koordinasi dengan pihak kecamatan. Jika ada yang diperlukan untuk membantu masyarakat, secepatnya berkoordinasi dengan pihaknya. “Misalnya jika ada warga yang tidak ada tempat mengungsi, segera sampaikan sehingga bisa dicari tempat alternatif,” tuturnya.

Dalam menghadapi bencana banjir kali ini, ia meminta pemerintah kabupaten supaya mempersiapkan bantuan pangan bagi masyarakat Kamipang, mengantisipasi banjir berlangsung dalam waktu yang lama. “Karena pengalaman kita, banjir ini pasti lama, jadi kami sangat mengharapkan adanya persiapan bantuan, baik dari pemerintah maupun swasta, sehingga masyarakat tidak sampai mengalami musibah kelaparan akibat terdampak banjir,” ucapnya.

Ia mengungkapkan, di wilayah Kecamatan Kamipang ada 5 desa yang tidak memiliki dataran tinggi. Hal itulah yang menjadi dilema bagi pihaknya ketika terjadi bencana banjir. Sebab, tidak ada tempat pengungsian bagi masyarakat. “Selama ini jika ada banjir masyarakat lebih memilih bertahan di rumah masing-masing dengan membuatkan katil atau panggung menggunakan kayu. Namun jika nanti kondisinya tidak memungkinkan bertahan, kami tetap persiapkan tempat pengungsian, rencana kami di daerah Jahanjang,” beber Ade.

Air bah kembali merendam sejumlah wilayah di Kalteng. Bencana banjir ini adalah yang kedua kalinya dalam tahun ini. Selain intensitas hujan yang tinggi, bencana banjir disinyalir terjadi akibat alih fungsi hutan atau deforestasi yang kian masif. Namun hal itu dibantah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.

Baca Juga :  Umat Hindu Diminta Berperan Aktif Dukung Visi dan Misi Pemerintah

Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI Alue Dohong merespons perihal banjir yang melanda Kalteng baru-baru ini. Tanggapan itu muncul saat dirinya ditanya awak media dalam sesi wawancara cegat usai meresmikan pusat daur ulang sampah Kota Palangka Raya, Jalan Wortel, Kelurahan Panarung, Rabu (29/5).

Menurut Alue, banjir yang terjadi pada beberapa daerah di Kalteng karena memang merupakan wilayah yang menjadi langganan banjir. Beberapa daerah itu punya permukaan rendah, sehingga sifatnya rawan tergenang air.

“Bukan karena pengaruh lain, dari dulu memang begitu, tetapi memang harus diakui ada kontribusi dari pengaruh lain, seperti tutupan hutan yang berkurang, makanya terus kami kendalikan sekarang,” ujarnya.

Untuk menutup celah alih fungsi hutan, Alue menyebut pihaknya sudah menjalankan moratorium total terhadap alih fungsi hutan primer, termasuk di lahan gambut. Hanya saja, alih fungsi hutan kemungkinan terjadi karena ada pihak yang mendapatkan izin konsesi sebelum adanya moratorium, tetapi pembukaan lahannya dilakukan secara bertahap.

“Karena memang pembukaan hutan skala besar butuh modal, sehingga kalau dia punya izin konsesi 5.000 hektare (ha), bisa saja dia buka 500 ha per tahun, jadi tidak sekaligus,” ucapnya.

Lalu, menanggapi banjir di Kalteng yang kian parah dan beberapa kali terjadi dalam satu tahunnya, Alue menyebut ada faktor alam yang memengaruhi, seperti curah hujan yang tinggi. Kondisi demikian juga diperparah oleh perubahan iklim yang terjadi, sehingga menyebabkan curah hujan jauh lebih meningkat.

“Juga kadang-kadang daya tampung sungai kita itu mengalami pendangkalan karena adanya erosi, sedimentasi tanah yang turun ke sungai, makanya badan-badan perairan itu harus dijaga agar daya tampung airnya tidak berkurang,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah perlu membuat skala pengerukan sungai, normalisasi, atau uruk sungai, karena jika sungai yang ada semakin tersedimentasi, berarti daya tampung airnya makin kecil.

KLKH menjalankan berbagai program pemulihan lingkungan untuk mendukung daya tampung lingkungan terhadap berbagai bencana yang terjadi. Seperti pemulihan ekosistem gambut, restorasi gambut, dan pemulihan daerah aliran sungai (DAS).

Sejumlah pihak, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kalteng menilai bahwa banjir yang terjadi banyak disebabkan oleh tingginya angka deforestasi. Pendapat itu didukung oleh data Auriga Nusantara yang mencatat bahwa Provinsi Kalteng menjadi daerah paling banyak kedua yang menyumbang angka deforestasi di Indonesia, yakni seluas 30.433 ha, berada di bawah Kalbar di posisi pertama yang menyumbang angka sebesar 35.162 ha dan di atas Kaltim sebesar 28.633 ha.

Baca Juga :  Targetkan 1.000 Dosis Vaksin, Pemko Gandeng PO Logos dan Borneo Foundation

Menanggapi itu, Alue Dohong mengklaim bahwa deforestasi di Indonesia sudah jauh menurun. Hal itu didasarkan pada data Sistem Monitoring Hutan Nasional (Simontana) yang notabene menjadi rujukan pemerintah dalam melihat dan mengevaluasi kondisi hutan di Indonesia. Berdasarkan data itu, menurutnya deforestasi secara nasional terus mengalami penurunan.

“Bahkan sejak 10 tahun terakhir ini data deforestasi nasional sudah terendah, cuman 102 ribu hektare per tahun 2022, dulunya jutaan hektare, ini sudah diakui dunia bahwa Indonesia berhasil mengurangi deforestasi dibandingkan negara-negara lain, salah satunya Brazil,” tuturnya.

Namun jika ada spot-spot tertentu terjadi alih fungsi hutan yang ilegal sehingga menyumbang angka deforestasi, salah satunya di Provinsi Kalteng, Alue menyebut tentu akan pihaknya perhatikan. “Penegakan hukum akan terus kami lakukan, pembinaan juga akan kami lakukan terus-menerus,” pungkasnya.

Sementara itu, Manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian pada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Janang Firman berpendapat, kerusakan lingkungan alias deforestasi yang menyebabkan maraknya bencana banjir bukan hanya bisa dilihat berdasarkan kerusakan yang terjadi pada satu atau dua tahun saja.

Berdasarkan analisis spasial yang dilakukan Walhi Kalteng pada 2022 lalu, Janang menyebut daerah tutupan lahan DAS di Kalteng mencapai angka 182.341 ha. Sedangkan luas tutupan perkebunan di sekitar DAS di Kalteng mencapai 244.290 ha dan untuk lahan pertambangan seluas 169.350 ha.

“Artinya perubahan tutupan lahan dan deforestasi di sekitar aliran sungai di Kalteng cukup tinggi,” ungkap Janang saat dihubungi Kalteng Pos, kemarin.

Janang menjelaskan, tutupan lahan di Kalteng terutama di sekitar aliran sungai mengalami perubahan yang signifikan. Banjir yang melanda sejumlah wilayah di Kalteng saat ini tak lepas dari tingginya angka deforestasi.

“Kalau pun angka deforestasi tahun 2023 dan 2024 menurun, bukan berarti deforestasi bukan menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya banjir,” ucapnya.

Menurut Janang, justru deforestasilah yang menyebabkan pendangkalan sungai sehingga lebih mudah terjadi banjir. “Melihat kondisi di lapangan saat ini, kami menilai faktor utama terjadinya banjir bukan karena hujan,” tuturnya. (eri/dan/ce/ala)

KASONGAN-Tiap tahun bencana banjir melanda Katingan dan sejumlah wilayah di Kalteng. Sekarang ini kondisi banjir di wilayah Kabupaten Katingan terus bergeser. Masyarakat yang tinggal di wilayah hilir Katingan sudah mulai siaga terhadap bencana banjir kiriman dari hulu. Berkaca dari pengalaman banjir tahun-tahun sebelumnya, banjir bakal terjadi lebih lama di wilayah hilir.

“Kami dari Kecamatan Kamipang saat ini sudah memberikan imbauan kepada masyarakat mengantisipasi bencana banjir,” kata Camat Kamipang Ade Irwan kepada Kalteng Pos, Rabu (29/5).

Ade mengingatkan masyarakat agar selalu siaga menghadapi bencana banjir. Sebab, wilayah Kecamatan Kamipang merupakan tempat atau puncaknya bencana banjir. Jika di daerah lain hanya berlangsung sekitar dua hingga tiga hari, di wilayah Kecamatan Kamipang bisa mencapai satu hingga dua bulan.

“Sebab di wilayah hilir Kecamatan Kamipang ini merupakan pertemuan air pasang surut, sehingga jika sudah terjadi banjir, waktunya lebih lama,” ungkap Ade Irwan.

Pria lulusan IPDN itu juga mengingatkan kepada seluruh kepala desa untuk berperan aktif melakukan koordinasi dengan pihak kecamatan. Jika ada yang diperlukan untuk membantu masyarakat, secepatnya berkoordinasi dengan pihaknya. “Misalnya jika ada warga yang tidak ada tempat mengungsi, segera sampaikan sehingga bisa dicari tempat alternatif,” tuturnya.

Dalam menghadapi bencana banjir kali ini, ia meminta pemerintah kabupaten supaya mempersiapkan bantuan pangan bagi masyarakat Kamipang, mengantisipasi banjir berlangsung dalam waktu yang lama. “Karena pengalaman kita, banjir ini pasti lama, jadi kami sangat mengharapkan adanya persiapan bantuan, baik dari pemerintah maupun swasta, sehingga masyarakat tidak sampai mengalami musibah kelaparan akibat terdampak banjir,” ucapnya.

Ia mengungkapkan, di wilayah Kecamatan Kamipang ada 5 desa yang tidak memiliki dataran tinggi. Hal itulah yang menjadi dilema bagi pihaknya ketika terjadi bencana banjir. Sebab, tidak ada tempat pengungsian bagi masyarakat. “Selama ini jika ada banjir masyarakat lebih memilih bertahan di rumah masing-masing dengan membuatkan katil atau panggung menggunakan kayu. Namun jika nanti kondisinya tidak memungkinkan bertahan, kami tetap persiapkan tempat pengungsian, rencana kami di daerah Jahanjang,” beber Ade.

Air bah kembali merendam sejumlah wilayah di Kalteng. Bencana banjir ini adalah yang kedua kalinya dalam tahun ini. Selain intensitas hujan yang tinggi, bencana banjir disinyalir terjadi akibat alih fungsi hutan atau deforestasi yang kian masif. Namun hal itu dibantah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.

Baca Juga :  Umat Hindu Diminta Berperan Aktif Dukung Visi dan Misi Pemerintah

Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI Alue Dohong merespons perihal banjir yang melanda Kalteng baru-baru ini. Tanggapan itu muncul saat dirinya ditanya awak media dalam sesi wawancara cegat usai meresmikan pusat daur ulang sampah Kota Palangka Raya, Jalan Wortel, Kelurahan Panarung, Rabu (29/5).

Menurut Alue, banjir yang terjadi pada beberapa daerah di Kalteng karena memang merupakan wilayah yang menjadi langganan banjir. Beberapa daerah itu punya permukaan rendah, sehingga sifatnya rawan tergenang air.

“Bukan karena pengaruh lain, dari dulu memang begitu, tetapi memang harus diakui ada kontribusi dari pengaruh lain, seperti tutupan hutan yang berkurang, makanya terus kami kendalikan sekarang,” ujarnya.

Untuk menutup celah alih fungsi hutan, Alue menyebut pihaknya sudah menjalankan moratorium total terhadap alih fungsi hutan primer, termasuk di lahan gambut. Hanya saja, alih fungsi hutan kemungkinan terjadi karena ada pihak yang mendapatkan izin konsesi sebelum adanya moratorium, tetapi pembukaan lahannya dilakukan secara bertahap.

“Karena memang pembukaan hutan skala besar butuh modal, sehingga kalau dia punya izin konsesi 5.000 hektare (ha), bisa saja dia buka 500 ha per tahun, jadi tidak sekaligus,” ucapnya.

Lalu, menanggapi banjir di Kalteng yang kian parah dan beberapa kali terjadi dalam satu tahunnya, Alue menyebut ada faktor alam yang memengaruhi, seperti curah hujan yang tinggi. Kondisi demikian juga diperparah oleh perubahan iklim yang terjadi, sehingga menyebabkan curah hujan jauh lebih meningkat.

“Juga kadang-kadang daya tampung sungai kita itu mengalami pendangkalan karena adanya erosi, sedimentasi tanah yang turun ke sungai, makanya badan-badan perairan itu harus dijaga agar daya tampung airnya tidak berkurang,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah perlu membuat skala pengerukan sungai, normalisasi, atau uruk sungai, karena jika sungai yang ada semakin tersedimentasi, berarti daya tampung airnya makin kecil.

KLKH menjalankan berbagai program pemulihan lingkungan untuk mendukung daya tampung lingkungan terhadap berbagai bencana yang terjadi. Seperti pemulihan ekosistem gambut, restorasi gambut, dan pemulihan daerah aliran sungai (DAS).

Sejumlah pihak, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kalteng menilai bahwa banjir yang terjadi banyak disebabkan oleh tingginya angka deforestasi. Pendapat itu didukung oleh data Auriga Nusantara yang mencatat bahwa Provinsi Kalteng menjadi daerah paling banyak kedua yang menyumbang angka deforestasi di Indonesia, yakni seluas 30.433 ha, berada di bawah Kalbar di posisi pertama yang menyumbang angka sebesar 35.162 ha dan di atas Kaltim sebesar 28.633 ha.

Baca Juga :  Targetkan 1.000 Dosis Vaksin, Pemko Gandeng PO Logos dan Borneo Foundation

Menanggapi itu, Alue Dohong mengklaim bahwa deforestasi di Indonesia sudah jauh menurun. Hal itu didasarkan pada data Sistem Monitoring Hutan Nasional (Simontana) yang notabene menjadi rujukan pemerintah dalam melihat dan mengevaluasi kondisi hutan di Indonesia. Berdasarkan data itu, menurutnya deforestasi secara nasional terus mengalami penurunan.

“Bahkan sejak 10 tahun terakhir ini data deforestasi nasional sudah terendah, cuman 102 ribu hektare per tahun 2022, dulunya jutaan hektare, ini sudah diakui dunia bahwa Indonesia berhasil mengurangi deforestasi dibandingkan negara-negara lain, salah satunya Brazil,” tuturnya.

Namun jika ada spot-spot tertentu terjadi alih fungsi hutan yang ilegal sehingga menyumbang angka deforestasi, salah satunya di Provinsi Kalteng, Alue menyebut tentu akan pihaknya perhatikan. “Penegakan hukum akan terus kami lakukan, pembinaan juga akan kami lakukan terus-menerus,” pungkasnya.

Sementara itu, Manajer Advokasi, Kampanye, dan Kajian pada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Janang Firman berpendapat, kerusakan lingkungan alias deforestasi yang menyebabkan maraknya bencana banjir bukan hanya bisa dilihat berdasarkan kerusakan yang terjadi pada satu atau dua tahun saja.

Berdasarkan analisis spasial yang dilakukan Walhi Kalteng pada 2022 lalu, Janang menyebut daerah tutupan lahan DAS di Kalteng mencapai angka 182.341 ha. Sedangkan luas tutupan perkebunan di sekitar DAS di Kalteng mencapai 244.290 ha dan untuk lahan pertambangan seluas 169.350 ha.

“Artinya perubahan tutupan lahan dan deforestasi di sekitar aliran sungai di Kalteng cukup tinggi,” ungkap Janang saat dihubungi Kalteng Pos, kemarin.

Janang menjelaskan, tutupan lahan di Kalteng terutama di sekitar aliran sungai mengalami perubahan yang signifikan. Banjir yang melanda sejumlah wilayah di Kalteng saat ini tak lepas dari tingginya angka deforestasi.

“Kalau pun angka deforestasi tahun 2023 dan 2024 menurun, bukan berarti deforestasi bukan menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya banjir,” ucapnya.

Menurut Janang, justru deforestasilah yang menyebabkan pendangkalan sungai sehingga lebih mudah terjadi banjir. “Melihat kondisi di lapangan saat ini, kami menilai faktor utama terjadinya banjir bukan karena hujan,” tuturnya. (eri/dan/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/