Minggu, Oktober 6, 2024
23.3 C
Palangkaraya

7 Hari Bersama Geng Kapak, Seniman, dan Budayawan Murung Raya (1): Terpikat Betang Tumbang Apat 1897

Pria yang juga empunya panggilan Ali Laca Singa Bulo (Ontun Danum) itu menuturkan, Rumah Betang Apat dibangun pada 1897. Rumah di Sungai Babuat ini sudah dipugar. Merupakan rumah kedua. Sedangkan rumah betang pertama ada di daerah yang dinobatkan pemerintah sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT). Hanya tersisa bangunan saja.
Selain bercerita tentang silsilah keluarga dan moyang mereka, Althur teringat pesan dan pelajaran hidup turun-temurun. Ya, hidup dalam kebersamaan, hapakat. Huma betang dibangun untuk bersama, tidak bisa dibangun satu pilar.

Pilar-pilar ini menggambarkan saudara, anak cucu yang saling jaga persaudaraan. Perselisihan diselesaikan dengan kekeluargaan (kesepakatan/kapakat). Tidak ada kehidupan sebagai dasar kehidupan keluarga selain kebersamaan kapakat itu sendiri.

“Jangan lupa leluhur! Meski kita tidak melihat dengan kasatmata, tapi leluhur ada di sekitar. Kita bisa merasakan melalui bukti dan warisan adat istiadat. Kita jaga, hormati,” tuturnya.
“Ingat, kita tidak menyembah, tapi menghormati mereka melalui adat istiadat yang diwarisi,” tutupnya.

Geng Kapak mandi di sungai tepat di depan betang. Yang lain siap menari untuk didokumentasi. Mandi di sungai dengan kedalaman sekitar enam meter. Debit air setinggi dada orang dewasa, meski dua hari sebelumnya disapu banjir lebih dari dua meter, memberikan pengalaman luar biasa. Bermodal senter, jernihnya air Sungai Babuat membuat batu di dasarnya tetap terlihat.

Baca Juga :  Kasus Menurun, Fasilitas Isoman Terpusat Tak Banyak Terisi

Usai mandi dan membersihkan diri, Jimy Oktolongere Andin/El Nazer Sarajan Ganap (Ontun Bahi/Kaju) juga mengatakan, di rumah leluhur mereka, memberikan bukti fakta Dayak Siang. Keragaman merupakan keniscayaan. Terbukti enam kepala keluarga di rumah betang ini punya keyakinan berbeda. Ada Kristen, Katolik, Islam, dan Hindu Kaharingan. Inilah bukti kekeluargaan di tengah keragaman.

Falsafah Huma Betang. Ya, inilah bukti dari leluhur. Nah, sebagai generasi masa sekarang, banyak hal yang dititipkan moyang dan orang tua untuk tetap dilestarikan. Mulai dari budaya hingga alam dan lingkungan. Tetap menjadi manusia yang berkearifan lokal. Jangan kalah dengan perjalanan dan tantangan perkembangan zaman.

Jimy yang juga dosen di Universitas Palangka Raya tersebut menegaskan, sebagai contoh kata bijak burung nyaru, yang memiliki makna di mana hidup selalu menjunjung tinggi kearifan lokal dan bisa menyesuaikan zaman. Seperti halnya dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, maupun istilah think globally act locally (berpikir global bertindak lokal).
“Mau tinggal di desa dan kota sampai planet lain, kita sesuaikan sebagai orang Dayak yang berkearifan lokal (suno sonik / cucu cicit),” kata Jimy yang juga merupakan Ketua Dewan Kesenian Palangka Raya (DKPR).

Baca Juga :  Ketertarikan di Bidang Forensik Muncul Ketika Ikut Ayah Dinas di Papua

Tepat di bawah pilar utama Huma Betang Apat, Jivy Ritchardo Andin/Kuleh Tarung Apui (Ontun Apui) menjabarkan tentang upaya menjaga dan melestarikan seni budaya.
Althur lebih berperan sebagai keturunan yang sering berkomunikasi dengan leluhur dan mahir penalaran metafisika. Jimy lebih bermain di wilayah edukasi dan menyebarluaskan seni budaya. Sedangkan Jivy tekun dengan generasi muda dan penerus, sekaligus sebagai filter kepada generasi di bawahnya.

Pria yang juga empunya panggilan Ali Laca Singa Bulo (Ontun Danum) itu menuturkan, Rumah Betang Apat dibangun pada 1897. Rumah di Sungai Babuat ini sudah dipugar. Merupakan rumah kedua. Sedangkan rumah betang pertama ada di daerah yang dinobatkan pemerintah sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT). Hanya tersisa bangunan saja.
Selain bercerita tentang silsilah keluarga dan moyang mereka, Althur teringat pesan dan pelajaran hidup turun-temurun. Ya, hidup dalam kebersamaan, hapakat. Huma betang dibangun untuk bersama, tidak bisa dibangun satu pilar.

Pilar-pilar ini menggambarkan saudara, anak cucu yang saling jaga persaudaraan. Perselisihan diselesaikan dengan kekeluargaan (kesepakatan/kapakat). Tidak ada kehidupan sebagai dasar kehidupan keluarga selain kebersamaan kapakat itu sendiri.

“Jangan lupa leluhur! Meski kita tidak melihat dengan kasatmata, tapi leluhur ada di sekitar. Kita bisa merasakan melalui bukti dan warisan adat istiadat. Kita jaga, hormati,” tuturnya.
“Ingat, kita tidak menyembah, tapi menghormati mereka melalui adat istiadat yang diwarisi,” tutupnya.

Geng Kapak mandi di sungai tepat di depan betang. Yang lain siap menari untuk didokumentasi. Mandi di sungai dengan kedalaman sekitar enam meter. Debit air setinggi dada orang dewasa, meski dua hari sebelumnya disapu banjir lebih dari dua meter, memberikan pengalaman luar biasa. Bermodal senter, jernihnya air Sungai Babuat membuat batu di dasarnya tetap terlihat.

Baca Juga :  Kasus Menurun, Fasilitas Isoman Terpusat Tak Banyak Terisi

Usai mandi dan membersihkan diri, Jimy Oktolongere Andin/El Nazer Sarajan Ganap (Ontun Bahi/Kaju) juga mengatakan, di rumah leluhur mereka, memberikan bukti fakta Dayak Siang. Keragaman merupakan keniscayaan. Terbukti enam kepala keluarga di rumah betang ini punya keyakinan berbeda. Ada Kristen, Katolik, Islam, dan Hindu Kaharingan. Inilah bukti kekeluargaan di tengah keragaman.

Falsafah Huma Betang. Ya, inilah bukti dari leluhur. Nah, sebagai generasi masa sekarang, banyak hal yang dititipkan moyang dan orang tua untuk tetap dilestarikan. Mulai dari budaya hingga alam dan lingkungan. Tetap menjadi manusia yang berkearifan lokal. Jangan kalah dengan perjalanan dan tantangan perkembangan zaman.

Jimy yang juga dosen di Universitas Palangka Raya tersebut menegaskan, sebagai contoh kata bijak burung nyaru, yang memiliki makna di mana hidup selalu menjunjung tinggi kearifan lokal dan bisa menyesuaikan zaman. Seperti halnya dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung, maupun istilah think globally act locally (berpikir global bertindak lokal).
“Mau tinggal di desa dan kota sampai planet lain, kita sesuaikan sebagai orang Dayak yang berkearifan lokal (suno sonik / cucu cicit),” kata Jimy yang juga merupakan Ketua Dewan Kesenian Palangka Raya (DKPR).

Baca Juga :  Ketertarikan di Bidang Forensik Muncul Ketika Ikut Ayah Dinas di Papua

Tepat di bawah pilar utama Huma Betang Apat, Jivy Ritchardo Andin/Kuleh Tarung Apui (Ontun Apui) menjabarkan tentang upaya menjaga dan melestarikan seni budaya.
Althur lebih berperan sebagai keturunan yang sering berkomunikasi dengan leluhur dan mahir penalaran metafisika. Jimy lebih bermain di wilayah edukasi dan menyebarluaskan seni budaya. Sedangkan Jivy tekun dengan generasi muda dan penerus, sekaligus sebagai filter kepada generasi di bawahnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/