RNH mengatakan, pencabutan izin tersebut sangat tepat, dalam rangka merapikan pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Kalteng. Pemberian izin dan pengelolaan SDA yang baik tentu akan berdampak positif terhadap kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
“Pencabutan perizinan ini tentu sangat baik, karena tujuannya untuk ditata ulang dan dirapikan. Dengan begitu akan berdampak positif terhadap perekonomian daerah dan tidak menimbulkan permasalahan di Kalteng,” sebutnya.
RNH berharap ke depannya perizinan di Kalteng dapat ditata, melibatkan sinergi pengusaha level nasional maupun daerah serta masyarakat lokal sebagai tenaga kerja.
“Penataan dan pengelolaan SDA yang baik dan berkeadilan merupakan keinginan Bapak Sugianto Sabran. Itu menjadi fokus beliau saat berdiskusi dengan Kadin Kalteng. Jadi kami mendukung agar pengelolaan SDA Kalteng berkeadilan dan berdampak positif bagi masyarakat,” tukasnya.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru saja mencabut 192 usaha konsesi kawasan hutan yang menguasai 1.369.567 hektare, karena dinilai menelantarkan lahan dan tidak mempunyai rencana kerja. Keputusan itu berlaku per 6 Januari 2022.
Ketua Bidang Komunikasi dan Publikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalteng Siswanto menilai pencabutan hak guna usaha (HGU) tidak bisa serta-merta begitu saja. Dia berpendapat bahwa untuk mendapatkan izin HGU, ada banyak tahapan dan syarat yang harus dipenuhi. Karena itu, dalam pencabutan juga harus melalui sejumlah proses tahapan. Tidak bisa secara kolektif.
Siswanto mengatakan, KLHK seharusnya tidak bisa mencabut izin perusahaan pemegang HGU. Bahkan investor termasuk perusahaan perkebunan kelapa sawit dilindungi Undang Undang Nomor 27 Tahun 2006 tentang Investasi. Seharusnya berupaya mempermudah investasi dan pembangunan ekonomi, serta menciptakan lapangan pekerjaan dan menjamin pekerja tetap dapat bekerja.
“Saya hanya menyayangkan keputusan dari Menteri LHK, jangan sampai malah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengubah kewenangan Menteri Kehutanan dalam pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,” katanya, Minggu (9/1).
Siswanto menambahkan, pencabutan itu dinilai hanya akan menimbulkan konflik baru di sektor perkebunan kelapa sawit. Tentunya berkaitan dengan nasib ratusan ribu karyawan dan keluarga yang menggantungan hidupnya di perusahaan tersebut.
“Dikhawatirkan akan terjadi pemutusan hubungan kerja massal. Belum lagi perkebunan kelapa sawit yang masih memiliki tanggungan di bank, maka akan terjadi kredit macet skala besar,” ucapnya.
Dampak pencabutan itu akan sangat luas. Tidak hanya masyarakat, tapi juga sejumlah kalangan. Pasca terbitnya HGU, maka KLHK tidak memiliki kewenangan lagi menarik kembali izin yang telah dikeluarkan. Setidaknya ada proses jika memang terpaksa harus dicabut izin tersebut.
“Saat ini di Kalteng terdapat sekitar 355.740 tenaga kerja perkebunan kelapa sawit. Tentunya mencapai jutaan orang untuk pekerja perkebunan kelapa sawit se-Indonesia. Lantas apa yang dilakukan saat ekonomi baru saja bangkit dari dampak Covid-19 dan kemudian terjadi PHK massal. Seharusnya ini menjadi salah satu pertimbangan,” bebernya.