Sabtu, November 23, 2024
23.7 C
Palangkaraya

Izin PKP2B Direkom Tak Diperpanjang

Terpisah, salah satu perusahaan yang terdampak, PT Berkala Maju Bersama (BMB), juga menyayangkan keputusan tersebut. Legal Senior Manager dan HRGA PT BMB Rudy Tresna Yudha mengatakan, pihaknya akan meminta klarifikasi dan kejelasan dari KLHK soal status lahan yang dicabut itu.

“Yang terkena ke BMB ini masalah izin pelepasan kawasan hutan, kami tidak mengerti terkait lahan itu saat ini, apakah lahan tersebut akan beralih ke kawasan hutan atau bagaimana? Belum jelas. Sementara di lahan yang dicabut itu sudah ada sertifikat HGU dan itu dapat terbit di kawasan APL. Luas HGU sekitar 9.400 hektare, yang dicabut sekitar 8.500 hektare, padahal sekitar 5.000 hektare sudah ada tanaman,” ucapnya, Sabtu (8/1).

Apalagi dalam area itu juga terdapat kebun plasma. Otomatis masyarakat sekitar perkebunan yang menjadi peserta kebun plasma BMB akan kehilangan kebun itu.
“Apabila izin BMB benar-benar dicabut, akan menambah beban pemerintah, lantaran 900 karyawan akan kehilangan pekerjaan, sebagian besar merupakan pekerja lokal,” ujarnya.
Dari sisi perizinan berusaha juga akan terjadi kontradiktif, karena BMB merupakan perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit yang sudah memperoleh SK pelepasan kawasan seluas 8.559,45 hektare pada 2014 lalu. Saat ini telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) seluas kurang lebih 12.000 hektare dan sudah terdaftar dalam OSS.
“Dengan adanya SK yang terbit akan terjadi kontradiktif dari sisi perizinan, yakni perizinan kehutanan dan perkebunan,” ujarnya.

Baca Juga :  Wujudkan Masyarakat Sejahtera dan Bermartabat

Dari sisi hukum pertanahan, BMB saat ini sudah memiliki HGU seluas 9.445,46 hektare yang juga mencakup luasan pelepasan kawasan 8.559,45 dan sudah ditanami. Bahkan pabrik kelapa sawit (PKS) telah beroperasi di Kecamatan Manuhing dengan kapasitas 45-60 ton/jam. Rencananya pada 2023 akan ada PKS di Kecamatan Kurun dengan kapasitas 45-60 ton/jam.

“Dengan terbitnya SK tersebut, artinya menambah ketidakjelasan status dan fungsi areal saat ini, padahal HGU hanya bisa terbit di areal APL. Dari aspek pembiayaan perbankan juga dikhawatirkan akan berpengaruh,” ucapnya.

Padahal, lanjut dia, hingga saat ini BMB belum pernah mendapat peringatan tertulis dari Dinas Perkebunan. Selama ini Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) PT BMB cukup baik. BMB tidak pernah mendapat peringatan tertulis dari Kementerian ATR/BPN terkait evaluasi penggunaan lahan HGU.
“Artinya lahan yang diberikan HGU aktif digunakan dalam investasi perkebunan sawit dan tidak menjadi lahan telantar. Oleh sebab itu, kami mengharapkan pemerintah meninjau kembali SK Menteri LHK tersebut untuk kepastian investasi kami,” pungkasnya.

Baca Juga :  Kalteng Pos Media Partner Resmi Kejuaraan Dunia

Terpisah, salah satu perusahaan yang terdampak, PT Berkala Maju Bersama (BMB), juga menyayangkan keputusan tersebut. Legal Senior Manager dan HRGA PT BMB Rudy Tresna Yudha mengatakan, pihaknya akan meminta klarifikasi dan kejelasan dari KLHK soal status lahan yang dicabut itu.

“Yang terkena ke BMB ini masalah izin pelepasan kawasan hutan, kami tidak mengerti terkait lahan itu saat ini, apakah lahan tersebut akan beralih ke kawasan hutan atau bagaimana? Belum jelas. Sementara di lahan yang dicabut itu sudah ada sertifikat HGU dan itu dapat terbit di kawasan APL. Luas HGU sekitar 9.400 hektare, yang dicabut sekitar 8.500 hektare, padahal sekitar 5.000 hektare sudah ada tanaman,” ucapnya, Sabtu (8/1).

Apalagi dalam area itu juga terdapat kebun plasma. Otomatis masyarakat sekitar perkebunan yang menjadi peserta kebun plasma BMB akan kehilangan kebun itu.
“Apabila izin BMB benar-benar dicabut, akan menambah beban pemerintah, lantaran 900 karyawan akan kehilangan pekerjaan, sebagian besar merupakan pekerja lokal,” ujarnya.
Dari sisi perizinan berusaha juga akan terjadi kontradiktif, karena BMB merupakan perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit yang sudah memperoleh SK pelepasan kawasan seluas 8.559,45 hektare pada 2014 lalu. Saat ini telah memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) seluas kurang lebih 12.000 hektare dan sudah terdaftar dalam OSS.
“Dengan adanya SK yang terbit akan terjadi kontradiktif dari sisi perizinan, yakni perizinan kehutanan dan perkebunan,” ujarnya.

Baca Juga :  Wujudkan Masyarakat Sejahtera dan Bermartabat

Dari sisi hukum pertanahan, BMB saat ini sudah memiliki HGU seluas 9.445,46 hektare yang juga mencakup luasan pelepasan kawasan 8.559,45 dan sudah ditanami. Bahkan pabrik kelapa sawit (PKS) telah beroperasi di Kecamatan Manuhing dengan kapasitas 45-60 ton/jam. Rencananya pada 2023 akan ada PKS di Kecamatan Kurun dengan kapasitas 45-60 ton/jam.

“Dengan terbitnya SK tersebut, artinya menambah ketidakjelasan status dan fungsi areal saat ini, padahal HGU hanya bisa terbit di areal APL. Dari aspek pembiayaan perbankan juga dikhawatirkan akan berpengaruh,” ucapnya.

Padahal, lanjut dia, hingga saat ini BMB belum pernah mendapat peringatan tertulis dari Dinas Perkebunan. Selama ini Penilaian Usaha Perkebunan (PUP) PT BMB cukup baik. BMB tidak pernah mendapat peringatan tertulis dari Kementerian ATR/BPN terkait evaluasi penggunaan lahan HGU.
“Artinya lahan yang diberikan HGU aktif digunakan dalam investasi perkebunan sawit dan tidak menjadi lahan telantar. Oleh sebab itu, kami mengharapkan pemerintah meninjau kembali SK Menteri LHK tersebut untuk kepastian investasi kami,” pungkasnya.

Baca Juga :  Kalteng Pos Media Partner Resmi Kejuaraan Dunia

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/