KEDIRI- Pondok Pesantren Wali Barokah yang menjadi mitra strategis Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dalam melahirkan juru dakwah, menghelat Tausiah Kebangsaan. Sebagai nara sumber utama Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Dr KH Marsudi Syuhud, MA. Acara tersebut diikuti DPW dan DPD LDII di seluruh Indonesia secara daring.
Tausiah Kebangsaan diikuti lebih dari 5.000 orang yang terdiri para ulama dan para pengurus LDII, serta perwakilan dari MUI di provinsi dan kabupaten/kota, “Tausiah Kebangsaan ini penting dalam kondisi keumatan yang menghadapi masalah yang kompleks dan multidimensi, kami membutuhkan pencerahan,” ujar Pimpinan Pondok Pesantren Wali Barokah, Drs KH Soenarto, M.Sc.
Sebagai pondok pesantren yang diamanati DPP LDII, untu menghasilkan juru dakwah menurut KH Soenarto, posisi Pondok Pesantren Wali Barokah sangat strategis, “Maka para juru dakwah itu, perlu dibekali ilmu agama yang kaffah, dan wawasan kebangsaan yang kuat dan mantap,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, KH Marsudi Syuhud didampingi Wakil Sekjen DP MUI Arif Fahrudin M.Ag, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan DP MUI Prof Dr H Firdaus Syam, M.A, Sekretaris Dr Ali Abdillah.
Ketua Umum DPP LDII Ir KH Chriswanto Santoso, M.Si dalam sambutannya mengemukakan pentingnya menjalin silaturahmi. Dengan silaturahmi, para tokoh agama bisa turut memikirkan bangsa dan negara sebagai kontribusi untuk menjadikan Indonesia negeri yang makmur penug rahmat dari Allah.
“Tausiah ini jadi penting untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah, agar ukhuwah wathoniyah juga kuat, dan ketiga ukhuwah basariyah terjaga. Para pendiri bangsa mendirikan negeri ini atas perbedaan yang tak bisa dihindari, dan para ulama menjadi motor penggerak perjuangan. Dari perbedaan itu, justru kita menyatu,”katanya.
Menurut Chrsiwanto, di tengah era digital ini, internet mempermudah lalu-lalang informasi. Namun teknologi itu, juga mempermudah fitnah menyebar, “Digitalisasi memungkinkan menulis atau mengubah suara menjadi saya, padahal pesan-pesannya bukan dari saya. Ini bisa mendatangkan fitnah dan perpecahan umat,” ujar Chriswanto lagi. Ia mengingatkan, para pendiri membentuk LDII bertjuan untuk berkontribusi kepada umat, bangsa, dan negara secara positif.
“Kami memiliki delapan program kerja yang diselaraskan dengan program nasional, agar menjadi solusi. LDII harus mendukung bangsa dan negara dan memberi solusi terutama masalah kebangsaan. Bila Indonesia goyang, LDII turut ikut sempoyongan,” ujarnya.
Dalam Tausiah Kebangsaan itu, Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud, menekankan pentingnya keterhubungan antarmanusia, “Sehingga antarmanusia terhubung rohani, pikiran, amaliyah dan berbagai hal lainnya, ketika semuanya nyambung, keberkahan itu hadir,” ujarnya. Keterhubungan itu, menurutnya sudah dicontohkan Rasulullah SAW dalam membangun negara kecil bernama Madinah, yang tertuang dalam Piagam Madinah.
Dalam pandangannya, Rasulullah mendirikan negeri Madinah sebagai negara untuk menyambung, mengikat masyarakat di dalamnya untuk hidup bersama meskipun tidak satu agama, “Islamnya saja ada golongan Muhajirin ada Ansor, ada Yahudi, Nasrani, dan Majusi yang bukan agama samawi. Dari beragam agama itu diikat untuk menyatukan perbedaan,” imbuhnya.
Sebagai penyatu perbedaan, Rasulullah memiliki kemampuan yang mumpuni sebagai hakim, jenderal ketika perang, hingga mengurus ketertiban. Bahkan Rasulullah sampai mengurusi akhlak. “Jadi bila ada yang bertanya pilih Al Qur’an atau Pancasila, itu sama halnya menanyakan bumbu pecel tumpang atau pecel tumpang, bakso atau buletan bakso,” ujarnya.
Artinya, Pancasila itu terdapat dalam Al Qur’an. Maka tugas pemerintah adalah menyambungkan hukum yang tetap berupa Alquran dan Sunnah ke dalam aturan-aturan, demi kemaslahatan umat.
“Alquran dan Sunnah itu hukum yang tetap, sementara masalah terus tumbuh dan berkembang, maka pemerintah tinggal membuat aturan untuk kemaslahatan. Lampu lalu lintas tidak ada dalam Alquran dan Alhadits, namun karena maslahat untuk umat manusia, maka itu sudah memenuhi aturan yang syariah,” ujarnya.
Ia menekankan, konteks hubungan negara dan agama terdapat dalam tiga hal. Pertama, negara harus mampu membuat hubungan antara hukum tetap Al Qur’an dan Al Hadist. Kedua, bernegara itu harus bisa menyatukan maslahat umum dan individu. Ketiga, menyatukan atau merukunkan kepentingan materi dan rohani.(hms/b5/ram)