MENURUT sang kurator, dia mendatangi banyak daerah di Indonesia buat menemukan seniman yang masih menggunakan cat minyak sebagai media melukis. Pameran ini diharapkan bisa jadi tetenger bahwa cat minyak masih punya ’’napas’’ di peta seni Indonesia.
Lukisan cat minyak sudah membuktikan dirinya tak lekang oleh waktu. Ambil saja contoh lukisan karya maestro seperti Leonardo da Vinci, Vincent van Gogh, sampai Raden Saleh. Karya seni yang dibuat mereka berabad lalu itu masih bisa dinikmati hingga hari ini.
Di Indonesia, perupa yang berdaya cipta dengan cat minyak terus mengalami penurunan. Memang tidak ada data statistik secara pasti. Namun, bisa terlihat dari hari ke hari, para perupa kiwari kini mengganti media lukisnya.
Pameran lukisan non-cat minyak bak cendawan di musim hujan. Menjamur di mana-mana. Pameran lukisan cat minyak jarang sekali digelar. Sejarah akrilik dan media lainnya sedang dicatat dan dibuktikan keabadiannya saat ini. Media selain cat minyak yang kian beraneka ragam jenisnya dengan segala kelebihan dan kekurangannya sangat menarik untuk dieksplorasi. Dan waktu sebagai tes ujinya.
Nah, sebanyak 15 perupa menggelar pameran bersama bertajuk Pesona Alkimia. Pameran digelar mulai 11 Mei hingga besok (11/6) di Langgeng Art Space, Jogja. Ke-15 seniman yang terlibat dalam pameran ini tercatat sudah berdaya cipta dengan cat minyak selama puluhan tahun. Mereka berasal dari tiga generasi berbeda. Yakni 1970-an, 1980-an, dan 1990-an.
Ke-15 nama itu adalah Djoeari Soebardja, Ronald Manulang, Aan Arief, Budi Kustarto, Budi Ubrux, Edi Sunaryo, F. Sigit Santoso, Ivan Sagita, Kokok P. Sancoko, Mahdi Abdullah, Melodia, Riki Antoni, Suroso Isur, Ugo Untoro, dan Wayan Cahya.
Salah satu perupa kelahiran Aceh, Mahdi Abdullah, sudah 44 tahun berdaya cipta dengan cat minyak. Menurutnya wajar jika banyak perupa kiwari menggunakan akrilik. Secara teknis, medium itu cepat kering dan bisa menggunakan air. Atas fenomena yang terjadi di dunia seni rupa itu, baginya sah-sah saja.
’’Saya lihat gejala itu adalah perkembangan dari seni rupa sekarang dan juga permintaan galeri,’’ ujar pria yang sudah datang ke Jogja sejak 1979 itu. ’’Akrilik lebih praktis sehingga cocok apabila ada permintaan pasar yang cukup banyak,” tambah Mahdi.
Ketika melukis dengan cat minyak, perupa harus menunggu cat kering. Atau harus menunggu ’’setengah matang’’ baru bisa ditimpa dengan warna lain. ’’Meski dibilang rumit, (namun) secara teknis itu sih tergantung pelukisnya,’’ ucap Mahdi.
Nah, permintaan pasar yang tinggi lalu durasi waktu yang terbatas memiliki andil cukup besar atas fenomena pengarusutamaan media akrilik tersebut. Mahdi menyebut setiap perupa bebas menentukan jalannya.
Hal yang meresahkan justru kecenderungan ikut mode. Dan ada kecenderungan stereotipe dengan corak dan warna yang hampir seragam. Mahdi menyebut kalau zaman dahulu, perupa sibuk dengan gagasan Mooi Indie yang hanya mengagungkan keindahan semata. Padahal, ada banyak penderitaan yang bisa dipotret secara visual.
Kurator pameran Wahyudin membeberkan makna alkimia dalam tajuk pameran ini. Alkimia dalam KBBI dimaknai sebagai kimia abad pertengahan yang mendambakan obat kekekalan hidup dan mengubah logam merah menjadi emas.
’’Sebagai kata benda, alkimia ini bahan utama dalam cat lukisan. Bisa dimaknai sebagai protosains yang menggabungkan unsur-unsur kimia, seni, dan semiotika, dan sebagainya. Yang selanjutnya artinya orang yang bertungkus lumus dalam protosains itu,” bebernya. (*)