“Lebih bagus lagi jika pemerintah yang merillisnya, karena pengaduan banyak dilontarkan masyarakat secara langsung,” kata Dimas.
Terkait perizinan yang diberikan kepada perusahaan di sektor perkebunan, pertambangan, dan berbagai perusahaan HTI dan HPH, Walhi Kalteng menyebut selama ini sering bermasalah.
Salah satu masalah utama terkait izin yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun daerah adalah tidak melihat dan menilai secara benar terkait kondisi lingkungan, baik daya dukung dan daya tampung di sekitar lokasi perusahaan beroperasi.
“Pemberian izin tanpa melihat apakah di lokasi yang diberikan izin tersebut terdapat hak-hak masyarakat lokal yang semestinya harus dilindungi pemerintah,” ujar Dimas.
Pembukaan lahan di lokasi yang telah mendapat izin pemerintah, yang disebut Walhi tidak melihat kondisi lingkungan secara serius tersebut, mengakibatkan rusaknya ekosistem dan lingkungan.
Perihal bencana banjir yang terjadi di Kalteng sekarang ini, menurut Walhi Kalteng, pendangkalan sungai hanya merupakan salah satu faktor.
Menurut Dimas, banjir yang terjadi merupakan persoalan kompleks. Penyebab utamanya adalah deforestasi skala besar besar yang terjadi di Kalteng.
“Kondisi hutan kita sudah mengalami deforestasi secara besar-besaran, menyebabkan banyak wilayah serapan yang hilang,” ujar Dimas.
Menurutnya deforestasi ini terjadi karena beberapa faktor. Seperti adanya aktivitas ilegal dan alih fungsi lahan melalui perizinan, atau program-program pemerintah yang berdampak pada kerusakan hutan dan lahan. Karena terjadi deforestasi, otomatis sering terjadi longsor sehingga mengendap di sungai-sungai, sehinga daerah aliran sungai (DAS) mengalami pendangkalan.
“Semua pihak yang terkait harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Kalteng yang mengakibatkan terjadinya banjir seperti sekarang ini,” ujar Dimas.
Pihak pertama adalah pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang memiliki kewenangan terhadap kebijakan, anggaran, dan sumber daya dalam perlindungan dan penyelamatan lingkungan, tetapi selama ini kerap memberikan kebijakan yang tidak promasyarakat adat dan lingkungan/ekosistem.
Pihak kedua yang juga harus bertanggung jawab adalah para pengusaha atau investor yang mengembangkan industri ekstraktif tersebut. Pihak ketiga adalah masyarakat Kalteng sendiri. “Masyarakat selama ini mendiamkan atau mendukung perusakan hutan di wilayah Kalteng,” pungkasnya.
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-BLH Palangka Raya membeberkan bahwa banjir yang terjadi di Kalteng pada Agustus lalu dan November ini akibat deforestasi atau perubahan secara permanen dari area hutan menjadi tidak berhutan. Konversi hutan menyebabkan terlepasnya cadangan karbon dalam biomassa tumbuhan dan memicu terjadinya degradasi tanah, sehingga menyebabkan terlepasnya karbon dari bahan organik tanah.