D
i tempat lain, biasanya mengunyah pinang yang sudah dikeringkan atau biji pinangnya saja. Namun, masyarakat Papua beda. Mereka justru makan pinang yang masih mentah. Kulit yang dikupas bukan untuk dibuang. Setelah mendapatkan daging buah, kulit pinang tetap dikunyah. Bagi warga Papua, kulit pinang berfungsi untuk membuat kesat daging saat dikunyah.
Selain itu, dengan mengunyah kulitnya, rasa pinang menjadi tidak pahit. Biasanya mereka akan membuang ludah hasil kunyahan pertama hingga ketiga.Secara ilmiah, kebiasaan ini tak jelas fungsinya. Namun, menurut kepercayaan masyarakat Papua, jika air liur dari kunyahan pertama kali ditelan, akan mengakibatkan rasa pusing dan muntah. Setelah tiga kali mengunyah, barulah daging pinang berikutnya dicocol ke kapur sirih, lalu dikunyah kembali.Cara makan pinang khas Papua ini dipercaya lebih bersahabat bagi kita yang kebanyakan belum pernah atau belum terbiasa.
Sensasi segar dan manis akan membuncah di mulut. Bahkan kadang membuat kita ingin menjajalnya lagi dan lagi.Di setiap venue cabang olahraga yang dipertandingkan di Papua, banyak warga lokal yang menjajakan dagangan. Ada juga yang membawa sendiri dari rumah. Warna tanah yang dilewati pun berubah menjadi merah.Beberapa kali panitia pun harus mengingatkan kepada pace maupun mace yang sedang menyaksikan pertandingan atau perlombaan, agar tidak membuang ludah pinang sembarangan.
Di beberapa ruang ganti atlet, ofisial dan para atlet ada yang terlihat asyik mengunyah pinang dengan penuh keakraban.Saya dan rekan wartawan beserta tenaga medis kontingen Kalteng tak mau ketinggalan mencoba sensasi mengunyah pinang.”Memang awalnya sangat kurang enak rasanya, tapi jika dicoba beberapa kali, barulah akan ketemu kehormatannya yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata,” ucap Simon, salah satu pelatih dayung Kalteng.
Menurutnya serasa ada yang kurang selama berada di Jayapura, jika tidak mengunyah pinang. Ada kekhasan rasa yang dinikmati. Karena penasaran, saya dan beberapa anggota kontingen memutuskan membeli pinang. Dibawa pulang ke posko nginap untuk dicoba sensasinya. Waktu santai pun kami gunakan untuk menjajal pinang.Memang selain membuat merah pada lidah dan bibir, ada rasa yang begitu sensasional. Bahkan ada yang sampai muntah, karena baru pertama kalinya.
D
i tempat lain, biasanya mengunyah pinang yang sudah dikeringkan atau biji pinangnya saja. Namun, masyarakat Papua beda. Mereka justru makan pinang yang masih mentah. Kulit yang dikupas bukan untuk dibuang. Setelah mendapatkan daging buah, kulit pinang tetap dikunyah. Bagi warga Papua, kulit pinang berfungsi untuk membuat kesat daging saat dikunyah.
Selain itu, dengan mengunyah kulitnya, rasa pinang menjadi tidak pahit. Biasanya mereka akan membuang ludah hasil kunyahan pertama hingga ketiga.Secara ilmiah, kebiasaan ini tak jelas fungsinya. Namun, menurut kepercayaan masyarakat Papua, jika air liur dari kunyahan pertama kali ditelan, akan mengakibatkan rasa pusing dan muntah. Setelah tiga kali mengunyah, barulah daging pinang berikutnya dicocol ke kapur sirih, lalu dikunyah kembali.Cara makan pinang khas Papua ini dipercaya lebih bersahabat bagi kita yang kebanyakan belum pernah atau belum terbiasa.
Sensasi segar dan manis akan membuncah di mulut. Bahkan kadang membuat kita ingin menjajalnya lagi dan lagi.Di setiap venue cabang olahraga yang dipertandingkan di Papua, banyak warga lokal yang menjajakan dagangan. Ada juga yang membawa sendiri dari rumah. Warna tanah yang dilewati pun berubah menjadi merah.Beberapa kali panitia pun harus mengingatkan kepada pace maupun mace yang sedang menyaksikan pertandingan atau perlombaan, agar tidak membuang ludah pinang sembarangan.
Di beberapa ruang ganti atlet, ofisial dan para atlet ada yang terlihat asyik mengunyah pinang dengan penuh keakraban.Saya dan rekan wartawan beserta tenaga medis kontingen Kalteng tak mau ketinggalan mencoba sensasi mengunyah pinang.”Memang awalnya sangat kurang enak rasanya, tapi jika dicoba beberapa kali, barulah akan ketemu kehormatannya yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata,” ucap Simon, salah satu pelatih dayung Kalteng.
Menurutnya serasa ada yang kurang selama berada di Jayapura, jika tidak mengunyah pinang. Ada kekhasan rasa yang dinikmati. Karena penasaran, saya dan beberapa anggota kontingen memutuskan membeli pinang. Dibawa pulang ke posko nginap untuk dicoba sensasinya. Waktu santai pun kami gunakan untuk menjajal pinang.Memang selain membuat merah pada lidah dan bibir, ada rasa yang begitu sensasional. Bahkan ada yang sampai muntah, karena baru pertama kalinya.