Tidak sedikit kepala keluarga (KK) yang terdampak bencana berpindah ke posko pengungsian. Namun, sebagian lagi justru memilih tetap bertahan di tengah kepungan banjir. Permasalahan kenyamanan hingga kesehatan anak-anak menjadi alasan mereka untuk tetap tinggal di rumah, dibandingkan harus tidur di lokasi pengungsian.
DENAR-ANISA B WAHDAH, Palangka Raya
RIBUAN jiwa dari lima kecamatan di Kota Palangka Raya terdampak banjir. Kurang lebih dua pekan bencana yang disebut-sebut terparah selama beberapa dekade terakhir ini, mengganggu aktivitas masyarakat. Hingga kemarin (23/11), tercatat di ibu kota provinsi ini terdapat 120 RT, 8.858 KK, 10.950 rumah, dan 31.047 jiwa terdampak bencana banjir.
Dari puluhan ribu jiwa yang terdampak, tidak semuanya meninggalkan rumah dan berpindah ke posko bencana. Seperti warga yang tinggal di Jalan Mendawai, Kelurahan Palangka, Kecamatan Jekan Raya. Ada beberapa alasan yang membuat warga tetap bertahan, meskipun dalam keluarga ada balita hingga yang sudah lanjut usia (lansia).
Alasan paling dominan karena merasa masih mampu bertahan dengan keadaan dan merasa lebih nyaman berada di rumah daripada di posko pengungsian. Salah satunya ibu muda bernama Putriani (20), yang bertahan hingga satu pekan minggu lebih di ruko yang dijadikan tempat beristirahat selama banjir melanda. Ada sekitar 6 orang dalam satu keluarga yang bertahan. Satu di antara adalah bayi berusia setahun bernama Nayla.
Menurut Putriani, sejak banjir melanda Jalan Mendawai induk, ia bersama keluarga tetap bertahan di rumah, bahkan hingga ketinggian air mencapai lebih 20 sentimeter. Bahkan rumah orang tuanya juga ikut terendam dan memilih mengungsi bersamanya.
“Dari awal banjir belum tinggi sampai air masuk rumah, kami satu keluarga dengan bayi saya tetap berada di sini, bertahan seadanya. Meski ada imbauan untuk segera mengungsi, tapi kami bertahan, mengingat saat itu air sangat dalam, belum lagi akses ke tempat pengungsian cukup jauh,” ungkap Putriani kepada Kalteng Pos, Senin (22/11).
Selama banjir melanda, memang segala kebutuhan dipersiapkan sedini mungkin. Salah satunya yakni keperluan anaknya yang masih balita, walau ada sedikit was-was akan kesehatan anaknya. Apalagi selama banjir melanda, dan warga banyak mengungsi, dirinya bersama keluarga hampir tidak tersentuh bantuan. Terkadang suami dan ibunya biasanya ke pasar dengan berjalan kaki.
“Kalau bantuan seperti susu hingga popok bayi tidak pernah dapat dari posko bantuan, tapi saya bersyukur pas hari keempat ada dapat sedikit bantuan dari beberapa mahasiswa yang datang ke rumah dan membagikan susu bayi dan popok,” ujarnya.
Adapun alasan kenapa dirinya bersama keluarga enggan mengungsi, menurutnya bukan tidak ingin mengungsi. Di samping karena jarak yang cukup jauh, ia juga memikirkan kesehatan anaknya jika harus tinggal di tenda pengungsian yang tentunya ada banyak orang.
“Kalau dirasa ke sana (tempat pengungsian) jauh, memang ada mereka bisa membawa pakai perahu, tapi saya berpikir mending di sini saja, apalagi di sana saya lihat juga penuh warga yang lebih membutuhkan dari keluarga saya, kami bisa mencari ikan bila kurang makanan, di samping itu saya juga memikirkan kesehatan anak bila di tempat pengungsian, apalagi harus berjejalan di dalam satu tenda, bersyukur hingga sekarang anak saya tetap sehat walaupun kami tidak mengungsi,” tutupnya.
Berbeda dengan keluarga Putriani, sebagian warga lainnya memilih tinggal sementara ke tempat pengungsian. Salah satunya Winda. Ia mengaku terpaksa mengungsi ke posko banjir Pasar Kahayan bersama kedua anaknya. Anak pertama masih berusia satu tahun dan anak kedua berusia dua bulan. “Kami kehabisan susu, sudah tidak memiliki persediaan susu,” ucapnya sembari menyeka bayinya yang muntah.
Selain itu, ia juga memerlukan popok dan selimut. Tidak hanya anaknya, tapi anak-anak balita lainnya di tenda pengungsan juga tidak memiliki selimut. Sebenarnya ia tak berniat mengungsi, tapi kondisi rumahnya di Jalan Sakan sudah tidak dapat ditempati lagi.
“Di sini banyak nyamuk dan dingin, kami memerlukan selimut, khususnya untuk anak-anak kami,” ucapnya.
“Anak saya alergi makan telur, gatal-gatal, kulit pada merah-merah. Sebelumnya tidak pernah seperti ini, selama di pengungsian mendadak gatal-gatal karena alergi telur,” kata Norma, pengungsi lainnya.
Namun, kondisi anak terakhirnya yang saat ini berusia dua tahun itu sudah mendapat penanganan dari Rumah Sakit dr Doris Sylvanus (RSDS) Palangka Raya dan Puskesmas Bukit Hindu. “Makan memang rutin sehari tiga kali, tapi lauknya telur saja, padahal anak saya alergi telur, kadang memang lauk ayam, tapi jarang,” ungkap Norma.
Perempuan empat anak ini sudah berada di posko pengungsian Pasar Kahayan selama delapan hari. Ia terpaksa mengungsi karena rumahnya di Jalan Mendawai I terendam banjir dengan kedalaman hingga sepinggang orang dewasa.
“Perkiraan kami bakalan banjir hanya selutut saja, ternyata banjir hingga sepinggang, ya terpaksa mengungsi,” tuturnya.
Dijelaskannya, kondisi banjir yang tidak terduga tingginya ini, mengakibatkan seluruh benda yang ada di dalam rumah terendam air. Barang-barang elektronik pun tidak bisa diselamatkan. Bahkan, saat memutuskan untuk mengungsi, ia tidak sempat membawa pakaian ganti. “Habis barang-barang kami terendam banjir, baju yang dipakai anak saya ini bantuan dari kepolisian,” pungkasnya. (ce/ala)