PALANGKA RAYA-Banjir yang nyaris merata di semua kabupaten/kota di Kalteng menjadi sorotan. Rusaknya alam disebut-sebut akibat keserakahan manusia yang tak henti-hentinya mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (SDA). Kian tahun wilayah hutan yang binasa terus meluas. Beralih fungsi menjadi lahan pertambangan, perkebunan kelapa sawit, hingga kegiatan hak pengusahaan hutan (HPH), maupun aktivitas ilegal lainnya. Tak terkendalinya perusakan hutan ini menjadi faktor utama bencana alam yang sudah dua pekan melanda Bumi Tambun Bungai.
Parahnya kondisi banjir yang melanda beberapa wilayah di Kalteng, membuat para pegiat lingkungan geram. Salah satunya Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng. Para aktivis lingkungan ini menyebut kondisi lingkungan di Kalteng telah mencapai tahap kritis. Terjadinya musibah banjir hendaknya menjadi pengingat bagi pemerintah untuk segera melakukan upaya nyata dan serius dalam hal mitigasi lingkungan. Karena hal itu merupakan satu satu cara untuk mengantisipasi banjir yang lebih parah di waktu mendatang.
Kepala Departemen Organisasi dan Pendidikan Walhi Kalteng Bayu Herinata menyarankan agar pemerintah segera melakukan audit lingkungan, sekaligus melakukan evaluasi terhadap perizinan yang dimiliki industri ekstraktif (HPH, pertambangan, perkebunan) yang ada di 14 kabupaten/kota. Bayu menyebut, terjadinya bencana banjir ini tidak lepas dari rusaknya lingkungan alam.
“Salah satu indikatornya adalah makin sering dan meluasnya kejadian bencana alam/bencana ekologis di Kalteng,” kata Bayu Herinata kepada Kalteng Pos, Minggu (21/11).
Bayu juga menyampaikan data yang dimiliki oleh Walhi terkait perubahan status hutan di Kalteng saat ini. Dikatakannya, perubahan tutupan hutan menjadi non-hutan (deforestasi) yang terjadi di Kalteng dikategorikan dalam empat kategori. Pertama, hutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 682.115 ha atau 35,71%. Kedua, hutan menjadi hutan tanaman seluas 100.730 ha atau 5,27%. Ketiga, hutan menjadi area tambang seluas 63.139 ha atau 3,31%. Dan keempat, hutan menjadi lahan pertanian lainnya seluas 1.064.213 ha atau 55,71% dari total deforestasi yang terjadi di Kalteng.
Tingginya tingkat deforestasi ini dinilai Walhi sebagai salah satu faktor utama kerusakan alam, sehingga menimbulkan bencana alam seperti banjir yang terjadi belakangan ini. Karena itu, dalam rangka penanggulangan bencana alam di Kalteng, Bayu menyarankan agar pemerintah pusat maupun daerah segera menerapkan kebijakan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Permen LHK Nomor 03 Tahun 2013 tentang Audit Lingkungan.
“UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Permen LHK Nomor 03 Tahun 2013 tentang Audit Lingkungan dapat menjadi landasan dalam melakukan audit lingkungan terkait usaha atau kegiatan yang melakukan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta berdampak terhadap lingkungan hidup,” ujar pria yang mulai aktif di Walhi sejak 2013.
Dijelaskannya lagi, audit lingkungan penting dilakukan, terutama jika terjadi kondisi kecelakaan, bencana, maupun keadaan darurat yang menimbulkan dampak besar dan luas terhadap keselamatan, kesehatan manusia, dan lingkungan hidup. Ditambahkannya pula, audit lingkungan berguna juga untuk mengetahui sejauh mana daya dukung dan daya tampung lingkungan di Kalteng dengan banyaknya agenda pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, terkhusus di sektor pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
“Termasuk juga di dalamnya akan dilakukan evaluasi terkait perizinan industri ekstraktif sumber daya alam (HPH, HTI, pertambangan, perkebunan) dan kegiatan pemanfataan lahan skala luas seperti proyek Food Estate,” ujar pria yang juga merupakan anggota Perhimpunan Pencinta Alam Comodo Fakultas Ekonomi UPR ini.