Bagi yang memiliki Balanga, nilai-nilai sosial dan sejarahnya lebih dari harta intan dan emas. Derajat sosialnya pada zaman dulu saat acara kawin adat. Di dalam adat, pihak mempelai laki-laki wajib menyerahkan balanga kepada mempelai perempuan. “Di situ kelihatan, muncul tingginya martabat orang Dayak Kalteng,” ujarnya.
Sementara itu di tempat berbeda, Tenaga Ahli Cagar Budaya, Gauri Vidya Dhaneswara menambahkan, di dalam Museum Balanga juga memajang senjata tradisional Dayak, yakni Mandau. Menurut pria kelahiran tahun 1989 ini, berdasarkan konteks ilmu metalurgi, mandau diperkirakan sudah digunakan orang Dayak sekitar tahun 1.000 masehi. Mandau umumnya berukuran lebih 50-70 cm atau seukuran dengan duhung senjata pusaka khas Dayak lainnya.
“Ukuran itu juga terkait dengan kualitas besi yang ada di tanah Dayak awalnya,” ujarnya lagi.
Namun sejalan dengan makin berkembangnya pengetahuan ditambah mulai adanya hubungan perdagangan antara masyarakat Dayak dengan dunia luar, maka mulailah masyarakat Dayak bisa membuat senjata mandau yang lebih besar dan lebih panjang. “Mungkin sekitar tahun 1.800 akhirlah,” ujar pemilik gelar Sarjana Antropologi Budaya di Universitas Gajah Mada (UGM) ini. Gauri menambahkan, mandau juga ditemani dengan langgai atau pisau kecil yang ada pasang di sarung Mandau.
“Rata-rata mandau itu memang ada langgeinya,” jelasnya lagi.
Dikatakan Gauri juga bahwa di dalam pemahaman filosofi masyarakat adat Dayak dahulu, mandau merupakan senjata pusaka yang tidak boleh dipergunakan secara sembarangan. Berbeda halnya dengan penggunaan pisau ambang atau parang. Selain itu mandau juga dipercaya tidak boleh diasah karena pada awalnya mandau memang sudah tajam dari awalnya.
“Karena mandau itu bukan dibuat untuk kebutuhan praktis. Jadi gak boleh mandau dipakai untuk kegiatan nebang pohon atau nebas rumput,” ujarnya lagi. Ambang sendiri dikatakan Gauri miripnya berbentuk seperti Mandau namun tidak ada ukirannya.
Dia menambahkan, di Meseum Balanga juga disimpan Sapundu. Sapundu sendiri sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai warisan budaya tak benda nasional dalam kontek kriya etnik atau kerajinan. Sedangkan Berdasarkan kepercayaan Hindu Kaharingan, sapundu dikatakan sebagai monumen status seseorang pada masa hidupnya. Pembuatan sapundu sendiri tidak bisa dilakukan sembarangan. Seseorang yang memiliki keahlian memahat kayu atau membuat patung tidak bisa langsung dapat membuat sapundu.
“Karena sapundu ini terkait upacara tiwah, itu konteksnya,” ujarnya lagi.