Minggu, Oktober 6, 2024
29.3 C
Palangkaraya

Ketika Racikan Kopi Generasi Muda Kalteng Makin Terkenal

“Saat itu saya sempat pesimis tidak akan mendapat bantuan, karena kondisi rumah industri tidak layak dan masih bergabung dengan rumah pribadi,” katanya.

Namun tak disangka-sangka, seminggu kemudian ia mendapat informasi bahwa ia berhak mendapat bantuan sebesar Rp25 juta. Dana itu langsung ia gunakan untuk membeli alat pengolahan kopi.

“Alat pertama yang saya beli adalah mesin giling kopi, dana itu habis hanya untuk beli alat saja,” ucap pria berusia 33 tahun ini.

Persoalan muncul lagi. Meski ia sudah memiliki alat, tapi ia tidak punya uang untuk membeli bahan baku. Karena niat yang besar untuk berusaha, ia pun memberanikan diri meminjam uang dari keluarganya sebagai modal membeli bahan baku kopi.

“Alat sudah punya, bahan baku sudah ada, tapi saya juga perlu modal membuat kemasan untuk dipasarkan, saya pun cari akal dengan meminjam uang dari teman,” kisah dia.

Baca Juga :  Polres Kotim Sambut Kapolres Baru AKBP Sarpani

Walau semua modal itu dari hasil pinjaman, tapi Dedi bisa mewujudkan kopi khas Kalteng dengan olahan modern dan kemasan yang cukup menarik. Tidak heran, karena Dedi menyelesaikan pendidikan terakhir dengan menerima beasiswa program pemerintah di Sekolah Tinggi Manajemen Industri.

“Saya mulai memproduksi kopi olahan saya dengan dua varian, hanya menawarkan dua bungkus kopi saja kepada teman-teman saya,” tutur pria kelahiran Tumbang Jutuh, 19 Juni 1988.

Respons positif databg dari para penikmat kopi kala itu. Karena itu, Dedi pun mencoba meningkatkan kualitas kopi olahannya. Ia menjajakan kopinya secara keliling dari rumah ke rumah dan ke toko-toko. Alhasil ada toko yang tertarik dan menginginkan suplai kopi darinya sebanyak 100 bungkus untuk pemesanan pertama.

“Saat itu saya belum punya izin, kemudian melihat respons positif dari pasar, saya mencoba mendaftarkan usaha saya,” katanya.

Baca Juga :  Disperindagkop Temukan Mamin Kedaluwarsa

Kemudian Dedi memberanikan diri meminjam uang di bank untuk mengembangkan usahanya dan membeli mesin dan peralatan tambahan. Usahanya terus berkembang. Pada tahun ketiga usahanya, ia sudah bisa membayar utang-utangnya dan mengembalikan modal.

“Sebagian keuntungan saya gunakan untuk beli bahan baku, karena alat-alat sudah ada dan utang sudah ditutup,” ucapnya.

Untuk bahan baku, lanjut dia, berawal dari Gunung Mas. Namun saat ini bahan baku didatangkan dari hampir seluruh wilayah Kalteng. Ia menerima bahan baku dari masyarakat berbentuk biji kopi. Kemudian diolah, dimulai dari penjemuran. Kini, ia sudah memiliki rumah industri yang ia bangun di depan rumah tinggalnya.

“Ada beberapa jenis kopi yang kami gunakan, yakni arabica meksi hanya sedikit, exelsa, dan robusta liberika, varietas kopi di Kalteng ini berasal dari peninggalan zaman Belanda, di Kalteng ini merupakan variestas asalannya,” tegasnya.

“Saat itu saya sempat pesimis tidak akan mendapat bantuan, karena kondisi rumah industri tidak layak dan masih bergabung dengan rumah pribadi,” katanya.

Namun tak disangka-sangka, seminggu kemudian ia mendapat informasi bahwa ia berhak mendapat bantuan sebesar Rp25 juta. Dana itu langsung ia gunakan untuk membeli alat pengolahan kopi.

“Alat pertama yang saya beli adalah mesin giling kopi, dana itu habis hanya untuk beli alat saja,” ucap pria berusia 33 tahun ini.

Persoalan muncul lagi. Meski ia sudah memiliki alat, tapi ia tidak punya uang untuk membeli bahan baku. Karena niat yang besar untuk berusaha, ia pun memberanikan diri meminjam uang dari keluarganya sebagai modal membeli bahan baku kopi.

“Alat sudah punya, bahan baku sudah ada, tapi saya juga perlu modal membuat kemasan untuk dipasarkan, saya pun cari akal dengan meminjam uang dari teman,” kisah dia.

Baca Juga :  Polres Kotim Sambut Kapolres Baru AKBP Sarpani

Walau semua modal itu dari hasil pinjaman, tapi Dedi bisa mewujudkan kopi khas Kalteng dengan olahan modern dan kemasan yang cukup menarik. Tidak heran, karena Dedi menyelesaikan pendidikan terakhir dengan menerima beasiswa program pemerintah di Sekolah Tinggi Manajemen Industri.

“Saya mulai memproduksi kopi olahan saya dengan dua varian, hanya menawarkan dua bungkus kopi saja kepada teman-teman saya,” tutur pria kelahiran Tumbang Jutuh, 19 Juni 1988.

Respons positif databg dari para penikmat kopi kala itu. Karena itu, Dedi pun mencoba meningkatkan kualitas kopi olahannya. Ia menjajakan kopinya secara keliling dari rumah ke rumah dan ke toko-toko. Alhasil ada toko yang tertarik dan menginginkan suplai kopi darinya sebanyak 100 bungkus untuk pemesanan pertama.

“Saat itu saya belum punya izin, kemudian melihat respons positif dari pasar, saya mencoba mendaftarkan usaha saya,” katanya.

Baca Juga :  Disperindagkop Temukan Mamin Kedaluwarsa

Kemudian Dedi memberanikan diri meminjam uang di bank untuk mengembangkan usahanya dan membeli mesin dan peralatan tambahan. Usahanya terus berkembang. Pada tahun ketiga usahanya, ia sudah bisa membayar utang-utangnya dan mengembalikan modal.

“Sebagian keuntungan saya gunakan untuk beli bahan baku, karena alat-alat sudah ada dan utang sudah ditutup,” ucapnya.

Untuk bahan baku, lanjut dia, berawal dari Gunung Mas. Namun saat ini bahan baku didatangkan dari hampir seluruh wilayah Kalteng. Ia menerima bahan baku dari masyarakat berbentuk biji kopi. Kemudian diolah, dimulai dari penjemuran. Kini, ia sudah memiliki rumah industri yang ia bangun di depan rumah tinggalnya.

“Ada beberapa jenis kopi yang kami gunakan, yakni arabica meksi hanya sedikit, exelsa, dan robusta liberika, varietas kopi di Kalteng ini berasal dari peninggalan zaman Belanda, di Kalteng ini merupakan variestas asalannya,” tegasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/