PALANGKA RAYA-Kedudukan sekretaris daerah (Sekda) memang menjadi jabatan strategis dalam lingkup pemerintahan, tentu saja yang menempati jabatan ini harus bisa melaksanakan tugas dengan baik sesuai dengan undang-undang.
Pengamat Politik Jhin Retei Alfri Sandi mengatakan, pada jabatan pimpinan tinggi madya itu ada hal-hal yang memang harus dilaksanakan yang diharapkan dari pimpinan jabatan madya itu. Berbeda dengan pimpinan jabatan pratama, dalam pimpinan jabatan madya itu memiliki peran sebagai manajerial dan memiliki posisi yang strategis.
“Misalkan saja, pejabat sekda harus mampu merumuskan kebijakan yang memberikan solusi, mampu melaksanakan pendayagunaan sumber daya secara produktif, penerapan kebijakan dengan risiko yang minimal, dapat mendorong program dan menjamin tercapainya tujuan organisasi,” ungkapnya kepada Kalteng Pos.
Bahkan, lanjutnya, jabatan sekda ini juga sebagai salah satu filter akhir dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pejabat politik seperti gubernur. Apabila melihat dari uraian yang harus dilakukan oleh para pejabat tinggi madya, harapannya sekda yang terpilih nantinya memenuhi unsur kapasitas dan juga kualifikasi.
“Sekda terpilih harus memenuhi kapasitas untuk menjalankan fungsi sebagaimana yang diatur pasal 104 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN),” ucapnya, kemarin.
Dijelaskannya, dalam undang-undnag itu sudah dijelaskan kriteria hingga tugas dari jabatan tinggi madya. Pihaknya berpendapat, selain memenuhi kriteria juga harus memenuhi kualifikasi pendidikan, rekam jejak, kemampuan teknis hingga kemampuan manajerial.
“Sekda nantinya juga sudah memiliki pengalaman jabatan, tetapi saya kira dari calon-calon yang ada itu sudah memenuhi semuanya,” jelasnya.
Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Palangka Raya ini menyebut, apabila melihat dalam proses seleksi dari jabatan tinggi madya maupun utama itu kewenangan berada di tangan Presiden. Namun, dalam hierarki pemerintahan, jabatan sekda itu bukan jabatan politik.
“Jabatan politik yang hanya ada dalam pemilihan secara langsung atau hak prerogatif seperti menteri, sedangkan sekda itu tidak,” tegasnya.
Meski demikian, implikasi dari Pilkada selama ini, bukan hanya di pejabat tinggi madya saja tetapi pejabat tinggi pratama pun sangat bernuansa politik, tidak hanya di Kalteng tetapi juga di daerah lain. Namun, saat ini payung hukum yang digunakan yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN sudah jelas, apabila dapat mengikuti tahapan yang sudah diatur dalam UU itu dan Permanpan Nomor 13 Tahun 2014 dapat menghilangkan stigma negatif.
“Bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil juga sudah mengatur terkait dengan proses seleksi dari pejabat tinggi,” ujarnya.
Apabila pada tahapan seleksi semua prosedur diikuti dengan betul, walaupun ada pihak tertentu mencurigai atau menyampaikan pandangan yang menganggap panitia mendapat intervensi politik, tidak menjadi masalah. “Itu hanya pendapat publik, paling tidak tim yang menyelenggarakan itu sudah mampu menunjukkan bahwa mereka sudah memenuhi prosedur ketentuan yang sudah ditetapkan,” jawabnya.
Dengan demikian, pihaknya juga berharap, panitia tidak terlalu jauh dari melenceng dari ketentuan peraturan. Tugas panselnas menunjukkan kepada publik pekerja secara profesional, saat keputusan akhir pun sepanjang dilakukan sesuai prosedur maka dapat mematahkan stigma negative.
“Caranya adalah bagaimana tim-tim dalam komposisi tim seleksi itu memenuhi atau tidak terhadap ketentuan yang sudah diatur dalam PP Nomor 11 Tahun 2017 itu,” singkatnya.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPRD Kalteng Freddy Ering mengatakan, seleksi jabatan sekda ini memang menjadi kewenangan pusat. Namun, pihaknya berpendapat agar nantinya sekda bisa bekerja sama dengan gubernur gubernur sebagai user. (abw)