Para penari yang tampil datang dari berbagai sanggar tari di Palangka Raya, yang koreografi tarinya disiapkan oleh Benny M Tundan, dibantu Jhovi Nata dan Maria Magdalena sebagai asisten koreografi.
Sendratari malam itu yang juga menampilkan tarian khas Dayak dan juga tarian kontemporer, sukses menciptakan suasana adegan dalam cerita sendratari. Seperti adegan pada awal cerita yang menggambarkan perbedaan kondisi kehidupan masyarakat suku Dayak yang serbaterbelakang dan mengalami penindasan dan kondisi penjajah Belanda yang mewah dan penuh pesta pora.
Ditambah lagi dukungan musik dari alatalat musik tradisional khas Dayak. Seperti gong, garantung, kecapi, dan gendang. Berhasil memadukan tarian dan alur cerita. Daniel Batuah Barajaki Asang selaku komposer musik beserta timnya, sukses memadukan alat musik tradisional khas Dayak dengan alat musik modern dalam berbagai lantunan lagu yang ditampilkan.
Adegan cerita tidak melulu menampilkan suasana yang serius atau menegangkan. Adegan lucu dan menghibur juga diselipkan dalam sendratari tersebut.
Kemasan yang apik membuat penonton tak ingin beranjak dari tempat duduk selama kurang lebih 1 jam 30 menit.
“Bagus sekali ya pentas ini,” kata salah satu penonton yang mengaku bernama Loli.
Kepuasan yang sama juga disampaikan oleh penonton lain. Viktor yang ikut menonton sendratari ini mengapresiasi kaum muda yang mau menggeluti kesenian Dayak. “Acaranya sangat meriah, musik dan tarian sangat terkonsep sehingga cukup menarik,” pujinya.
Sementara itu, Arbendi I Tue selaku salah satu penulis skenario sendratari ini mengatakan, ia sengaja mengangkat cerita tentang tenggelamnya Kapal Onrust, karena merupakan salah satu kisah penting perjuangan suku Dayak melawan penjajah dalam pertempuran di Sungai Barito yang saat ini mulai dilupakan.
Padahal, menurut Arbendi, suku Dayak juga memiliki peran dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan kolonial Belanda. Para pemuda dan pemudi masa kini wajib mengetahui perjuangan nenek moyang dahulu. Tidak boleh dilupakan begitu saja.
Arbendi mengatakan, sebelum pementasan sendratari Tenggelamnya Kapal Onrust ini, pihaknya mengadakan latihan selama hampir empat bulan. “Persiapan dari bulan Juni, full latihan setiap hari,” ujarnya kepada Kalteng Pos.
Jumlah kru yang terlibat dalam acara pementasan sendratari ini berjumlah sekitar 70 orang, meliputi para penari maupun kru pendukung.
Arbendi juga mengatakan, dirinya sengaja menampilkan sendratari Tenggelamnya Kapal Onrust ini dalam bentuk sendratari kontemporer. “Saya memang ingin menampilkan sendratari yang ada nuansa kekinian, agar kisah sejarahnya mudah dicerna oleh anak-anak muda masa kini,” tuturnya.
Lebih lanjut dikatakannya, dalam kisah sendratari ini, ada perpaduan antara unsur daerah dan unsur barat. “Karena ada dua kebudayaan yang berbeda, ada kebudayaan Belanda meskipun itu di tahun 1800-an, dan ada juga kebudayaan Dayak, tetapi untuk menunjukkan perbedaan kedua kebudayaan itu, kami menggunakan musik modern dan musik tradisional,” ujar pria yang berprofesi sebagai guru di SMPN 3 Palangka Raya ini.
Sementara itu, penata (komposer) dalam sendratari ini, Daniel Batuah Berajaki Asang menambahkan, salah tantangan terbesar dalam sendratari ini adalah memadukan musik tradisional dengan musik modern.