Kamis, Februari 20, 2025
23.3 C
Palangkaraya

Pedagang Pasar Tradisional Sampit Keluhkan Pungli

SAMPIT – Pungutan liar (pungli) kembali menghantui para pedagang di pasar tradisional Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur. Salah satunya adalah para pedagang di Pasar Keramat.

Mereka yang berdagang di area luar pasar Jalan Suka Bumi itu mengatakan telah membayar uang sebesar Rp 5 ribu hingga Rp 7 ribu. Uang itu dibayarkan dalam kurun waktu dua kali dalam seminggu.

Terkait pungli tersebut, Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) melalui Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan (Diskop UKM Perindag) setempat menegaskan, tidak akan mentoleransi praktik pungutan liar di pasar-pasar tradisional yang ada di wilayah Kotim.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Diskop UKM Perindag Kotim, Fahrujiansyah, meminta masyarakat untuk melaporkan jika menemukan adanya pungli yang dilakukan oleh petugas.

“Kalau ada petugas yang melakukan pungli, silakan difoto dan laporkan. Jika ada bukti bahwa mereka mengatasnamakan dinas atau kelurahan, kami akan langsung menindak dan melaporkannya ke pihak berwenang,” ujarnya saat blusukan di Pasar Keramat, Kamis (13/2/2025).

Baca Juga :  PTM di SMP 3 Digelar dengan Prokes Ketat

Menurut dia, retribusi resmi dari dinas hanya berbentuk karcis dengan tarif Rp1.000 per hari untuk lapak harian, serta biaya sewa untuk los pasar yang dibayarkan setiap bulan melalui karcis resmi. Jika ada pungutan di luar ketentuan tersebut, ia mengimbau para pedagang untuk segera melaporkan.

“Kami ingin retribusi dilakukan secara non-tunai agar lebih transparan dan meminimalisir pungli. Dengan sistem ini, uang akan langsung masuk ke kas daerah, bukan ke tangan perorangan,” tambahnya.

Sementara itu, sejumlah pedagang di Pasar Keramat mengeluhkan kondisi fasilitas pasar yang dianggap kurang memadai. Mereka juga menduga adanya pungutan yang tidak sesuai aturan, yang diduga dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan Kelurahan Baamang Hilir.

Baca Juga :  MPP Habaring Hurung Terus Tingkatkan Aspek Pelayanan Publik

Seorang pedagang, Ahmad Zusuf, mengaku awalnya berjualan di dalam pasar, tetapi akhirnya memilih berdagang di luar karena merasa fasilitas pasar tidak terawat.

“Di dalam pasar, fasilitasnya kurang diperhatikan, tetapi pungutan tetap ada. Kami harus membayar sewa lapak, uang keamanan dari kecamatan, dan bahkan ada pungutan dari kelurahan. Karena itu, saya dan beberapa pedagang lain memilih berjualan di luar,” ungkap Ahmad.

Ia berharap pemerintah bisa lebih tegas dalam mengatasi masalah ini, termasuk meningkatkan transparansi dalam sistem retribusi agar pedagang tidak merasa terbebani dengan pungutan yang tidak jelas asal-usulnya. (mif/ens)

SAMPIT – Pungutan liar (pungli) kembali menghantui para pedagang di pasar tradisional Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur. Salah satunya adalah para pedagang di Pasar Keramat.

Mereka yang berdagang di area luar pasar Jalan Suka Bumi itu mengatakan telah membayar uang sebesar Rp 5 ribu hingga Rp 7 ribu. Uang itu dibayarkan dalam kurun waktu dua kali dalam seminggu.

Terkait pungli tersebut, Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) melalui Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan (Diskop UKM Perindag) setempat menegaskan, tidak akan mentoleransi praktik pungutan liar di pasar-pasar tradisional yang ada di wilayah Kotim.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Diskop UKM Perindag Kotim, Fahrujiansyah, meminta masyarakat untuk melaporkan jika menemukan adanya pungli yang dilakukan oleh petugas.

“Kalau ada petugas yang melakukan pungli, silakan difoto dan laporkan. Jika ada bukti bahwa mereka mengatasnamakan dinas atau kelurahan, kami akan langsung menindak dan melaporkannya ke pihak berwenang,” ujarnya saat blusukan di Pasar Keramat, Kamis (13/2/2025).

Baca Juga :  PTM di SMP 3 Digelar dengan Prokes Ketat

Menurut dia, retribusi resmi dari dinas hanya berbentuk karcis dengan tarif Rp1.000 per hari untuk lapak harian, serta biaya sewa untuk los pasar yang dibayarkan setiap bulan melalui karcis resmi. Jika ada pungutan di luar ketentuan tersebut, ia mengimbau para pedagang untuk segera melaporkan.

“Kami ingin retribusi dilakukan secara non-tunai agar lebih transparan dan meminimalisir pungli. Dengan sistem ini, uang akan langsung masuk ke kas daerah, bukan ke tangan perorangan,” tambahnya.

Sementara itu, sejumlah pedagang di Pasar Keramat mengeluhkan kondisi fasilitas pasar yang dianggap kurang memadai. Mereka juga menduga adanya pungutan yang tidak sesuai aturan, yang diduga dilakukan oleh oknum yang mengatasnamakan Kelurahan Baamang Hilir.

Baca Juga :  MPP Habaring Hurung Terus Tingkatkan Aspek Pelayanan Publik

Seorang pedagang, Ahmad Zusuf, mengaku awalnya berjualan di dalam pasar, tetapi akhirnya memilih berdagang di luar karena merasa fasilitas pasar tidak terawat.

“Di dalam pasar, fasilitasnya kurang diperhatikan, tetapi pungutan tetap ada. Kami harus membayar sewa lapak, uang keamanan dari kecamatan, dan bahkan ada pungutan dari kelurahan. Karena itu, saya dan beberapa pedagang lain memilih berjualan di luar,” ungkap Ahmad.

Ia berharap pemerintah bisa lebih tegas dalam mengatasi masalah ini, termasuk meningkatkan transparansi dalam sistem retribusi agar pedagang tidak merasa terbebani dengan pungutan yang tidak jelas asal-usulnya. (mif/ens)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/