PALANGKA RAYA-Maraknya kasus penjarahan tandan buah segar (TBS) sawit di Kalimantan Tengah (Kalteng) tidak hanya menimbulkan kerugian bagi perusahaan perkebunan, tetapi juga berdampak serius terhadap iklim investasi di daerah.
DPRD Kalteng menilai, aksi penjarahan ini menjadi alarm bahwa permasalahan agraria dan ketimpangan sosial ekonomi masih menjadi persoalan mendasar yang belum terselesaikan.
Belum lama ini, Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah melalui Direktorat Reserse Kriminal Umum berhasil mengungkap dan menetapkan 27 orang tersangka dalam kasus penjarahan TBS sawit milik PT AKPL yang beroperasi di Kabupaten Seruyan.
Kasus ini kembali menyoroti rentannya keamanan usaha di sektor perkebunan yang selama ini menjadi salah satu penopang ekonomi Kalteng.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalteng, Bambang Irawan menyampaikan keprihatinan mendalam.
Ia menegaskan bahwa penjarahan tidak boleh dianggap sepele karena dapat menurunkan kepercayaan investor terhadap stabilitas daerah.
“Situasi keamanan dan kepastian hukum adalah faktor penting bagi para investor. Jika penjarahan masih terus terjadi, tentu akan memunculkan keraguan untuk menanamkan modal, khususnya di sektor perkebunan.
Pemerintah perlu memberi jaminan bahwa setiap potensi konflik bisa ditangani secara adil dan cepat,” ujar Bambang kepada Kalteng Pos, Selasa (27/5/2025).
Pihaknya menilai, penjarahan sawit tidak terjadi dalam ruang hampa. Aksi itu seringkali merupakan manifestasi dari konflik agraria yang berlarut-larut, lemahnya pengawasan terhadap konsesi perusahaan, serta sempitnya lapangan kerja dan kesenjangan ekonomi yang terus membesar.
Bambang juga menyoroti persepsi ketidakadilan dalam pembagian hasil perkebunan sebagai faktor pemicu lain.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPRD Kalteng menyesalkan masih maraknya praktik penjarahan yang dinilai merugikan semua pihak, baik perusahaan, masyarakat, maupun citra daerah di mata investor.
“Penegakan hukum perlu dilakukan secara tegas namun tetap mengedepankan pendekatan humanis. Karena kita paham, banyak aksi penjarahan masih berkaitan erat dengan konflik lahan antara masyarakat adat atau lokal dan perusahaan yang belum terselesaikan,” tambahnya.
Untuk itu, DPRD mendorong pemerintah agar segera mempercepat penyelesaian konflik lahan dan memperkuat kehadiran negara dalam menjaga keadilan agraria. Selain itu, ia meminta agar pengawasan terhadap perizinan, pemenuhan kewajiban, serta operasional perusahaan perkebunan ditingkatkan.
Dirinya juga menekankan pentingnya komunikasi dan kemitraan yang baik antara perusahaan dan masyarakat, misalnya melalui pola kebun plasma dan program CSR yang nyata serta berkelanjutan. Ia berharap masyarakat bisa menyampaikan aspirasi secara konstitusional dan menghindari tindakan anarkis yang merugikan semua pihak.
“DPRD Kalteng melalui Komisi II yang membidangi Perekonomian dan Sumber Daya Alam siap menjadi jembatan dalam mencari solusi yang adil dan konstruktif atas persoalan ini,” tandasnya.
Dengan meningkatnya kasus penjarahan, DPRD menilai perlu ada langkah strategis lintas sektor agar Kalteng tetap menjadi daerah yang menarik bagi investasi, namun juga menjunjung keadilan sosial bagi seluruh masyarakatnya.(ovi/b/ram)