KENAIKAN Pungutan Ekspor (PE) minyak sawit mentah (CPO) dari 7,5% menjadi 10% yang resmi berlaku mulai 17 Mei 2025.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menegaskan bahwa tambahan pungutan tersebut akan memperkuat posisi Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dalam membiayai kompensasi dan subsidi biodiesel nasional.
“Dengan penyesuaian biaya keluar ini, harapannya dana BPDP mencukupi, sehingga progres B50 dan bahkan B60 bisa dipercepat,” kata Yuliot, Senin (19/5/2025).
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyatakan penolakannya terhadap kebijakan terbaru pemerintah yang menaikkan tarif pungutan ekspor (PE) produk sawit dan turunannya dari 7,5% menjadi 10%.
Ketua Umum SPKS, Sabarudin, menilai bahwa kebijakan ini kembali menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada industri besar, khususnya konglomerat pelaku usaha biodiesel.
Ia menyebut, kenaikan tarif ekspor ini hanya untuk mendukung program biodiesel B40 melalui peningkatan dana pungutan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Pungutan ini bukan untuk petani, tapi untuk subsidi program biodiesel yang dikendalikan oleh konglomerat. Sampai hari ini, sekitar Rp150 triliun dana pungutan sudah digelontorkan untuk subsidi biodiesel, tapi petani sawit tetap tidak mendapatkan kemitraan dan harga yang adil,” ungkap Sabarudin dalam siaran pers, Senin (19/5/2025).
SPKS menyampaikan kekhawatiran bahwa kenaikan pungutan ini akan langsung berdampak pada penurunan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani.
Menurut perhitungan mereka, petani bisa mengalami penurunan harga hingga Rp500 per kilogram TBS. Hal ini pernah terjadi pada Januari lalu saat pungutan sempat dinaikkan ke level yang sama.(net/b/ram)