Minggu, November 10, 2024
30.2 C
Palangkaraya

Pentingnya Penerapan Standar HAM dalam Aktivitas Bisnis

Khususnya di Sektor Perkebunan Sawit

PALANGKA RAYA-Beragam masalah-masalah HAM yang terjadi di sektor perkebunan sawit, tentunya membutuhkan kerja kolektif dari pemerintah maupun perusahaan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut. Peran pemerintah yang kuat dalam memberikan perlindungan dan peran perusahaan/ korporasi untuk menghormati HAM dalam menjalankan operasi bisnisnya menjadi kunci agar masalah-masalah HAM di sektor perkebunan sawit dapat dihilangkan atau diminimalisir.

Hal ini diungkapkan Kepala Seksi Kerja Sama Bilateral Hak Amasi Manusia (HAM) Direktorat Jendral HAM, Ibrahim Reza yang juga ketua panitia kegiatan Sesi Pelatihan Protect, yaitu “Bimbingan Teknis Bagi Aparatur Sipil Negara Mengenai Bisnis dan HAM pada Sektor Perkebunan Kelapa Sawit” di Hotel Aquarius Palangka Raya, Kamis (7/10/2021).

Dikatakanya, konsep HAM dalam bisnis masih terbilang baru sehingga pengetahuan dari pemangku kebijakan mengenai proses bisnis berbasis HAM belum diketahui sebagaimana seharusnya. HAM masih dianggap sebagai bagian yang terpisah dari masalah ketenagakerjaan, lingkungan, konflik agraria, dan pengelolaan lingkungan.

Menurutnya, masalah HAM muncul di permukaan ketika sudah terjadi konflik agraria yang cenderung mengakibatkan kekerasan. Padahal, inklusivitas HAM ke dalam bisnis justru akan merombak logika berpikir pelaku usaha sehingga bisnis utama mereka tidak hanya berkaitan dengan bisnis tapi juga hal-hal lain yang mendukung bisnis mereka.

“HAM dalam hal ini dapat dianggap sebagai instrument pencegah konflik-pelaku usaha diharapkan dapat menjadi lebih hati-hati dalam bertindak. Adapun karyawan dan/atau masyarakat merupakan pihak yang harus diperhitungkan dan diikutsertakan dalam penetapan kebijakan bisnis mereka,”ucapnya.

Baca Juga :  Ben Dukung MTQ Ke-46 Tingkat Kabupaten Kapuas

Oleh karena itu, menurutnya, bimbingan teknis ini akan membantu pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah atau aparatur sipil negara untuk membuat kebijakan di sektor sawit yang berbasis HAM, serta dalam melakukan fungsi pengawasan pelaksanaan kebijakan tersebut dan fungsi perlindungan bagi masyarakat.

“Oleh karena itu diseminasi mengenai Bisnis dan HAM perlu ditingkatkan dan dilakukan secara terintegrasi dari pusat hingga lapisan bawah pemangku kebijakan. Kegiatan ini bertujuan untuk menguatkan pemahaman peserta tentang relasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia dan penerapan prinsipnya dalam sektor industri perkebunan Sawit di Indonesia. Meningkatkan pemahaman dan kemampuan terkait teknik pelatihan dan fasilitasi ; mendorong eksplorasi strategi alternatif dan tata cara memfasilitasi pelatihan,”ucapnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Kalteng, Ilham Djaya yang membuka kegiatan tersebut mengatakan, bahwa diadopsinya prinsip-prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Bisnis dan HAM oleh Dewan HAM PBB pada Tahun 2011, menjadi babak baru agar operasi bisnis dapat lebih ramah atau menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).

Menurutnya, berbagai pihak, baik pemerintahan maupun perusahaan, berperan besar dalam konteks Bisnis dan HAM ini. Sesuai dengan 3 (tiga) pilar yang dikenal dalam UNGPs, maka pemerintah maupun perusahaan berperan penting dalam memastikan operasi bisnis yang dijalankan oleh perusahaan sehingga dapat sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.

Baca Juga :  Dua Sepeda Motor Adu Kuat, Satu Orang Tewas Terbakar

Dalam laporan Komnas HAM tahun 2019 tersebut juga disebutkan bahwa konflik agrarian menjadi salahsatu persoalan yang paling banyak diadukan jika dibandingkan sektor lainnya, missal sektor perkebunan, khususnya perkebunan sawit, merupakan industri yang berkembang di Indonesia. Namun pesatnya perkembangan luas areal perkebunan sawit juga menyiksakan masalah-masalah hak asasi manusia, misalnya ketenagakerjaan atau perburuhan juga menjadi isu yang masih tidak mampu diselesaikan hingga saat ini.

Ada 2 (dua) permasalahan utama yang dihadapi buruh perkebunan sawit antara lain adalah lemahnya penegakkan hukum yang meliputi, beban kerja terlampau tinggi, target tidak manusiawi dan menculnya pekerja anak. Kemudian praktek kerja murah, status hubungan kerja rentan, pengawasan tenaga kerja tumpul dan pemberagusan serikat buruh independen. Dan yang kedua adalah ketiadaan peraturan khusus pekerja/buruh perkebunan sawit.

“Kami mengharapkan kepada para peserta agar mengikuti dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh untuk mengarahkan langkah kedepan yang diperlukan pada sektor perkebunan sawit di Indonesia. Karena merupakan industri yang cukup penting saat ini sehingga pelatihan ini diharapkan dapat menguatkan pemahaman peserta tentang relasi Bisnis dan HAM dan penerapan prinsipnya dalam sektor industry perkebunan sawit di Indonesia,”ucapnya.

“Kemudian dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan terkait teknis pelatihan dan fasilitasi serta mendorong eksplorasi strategi alternative dan tata cara memfasilitasi pelatihan,” tambahnya.(bud)

Khususnya di Sektor Perkebunan Sawit

PALANGKA RAYA-Beragam masalah-masalah HAM yang terjadi di sektor perkebunan sawit, tentunya membutuhkan kerja kolektif dari pemerintah maupun perusahaan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut. Peran pemerintah yang kuat dalam memberikan perlindungan dan peran perusahaan/ korporasi untuk menghormati HAM dalam menjalankan operasi bisnisnya menjadi kunci agar masalah-masalah HAM di sektor perkebunan sawit dapat dihilangkan atau diminimalisir.

Hal ini diungkapkan Kepala Seksi Kerja Sama Bilateral Hak Amasi Manusia (HAM) Direktorat Jendral HAM, Ibrahim Reza yang juga ketua panitia kegiatan Sesi Pelatihan Protect, yaitu “Bimbingan Teknis Bagi Aparatur Sipil Negara Mengenai Bisnis dan HAM pada Sektor Perkebunan Kelapa Sawit” di Hotel Aquarius Palangka Raya, Kamis (7/10/2021).

Dikatakanya, konsep HAM dalam bisnis masih terbilang baru sehingga pengetahuan dari pemangku kebijakan mengenai proses bisnis berbasis HAM belum diketahui sebagaimana seharusnya. HAM masih dianggap sebagai bagian yang terpisah dari masalah ketenagakerjaan, lingkungan, konflik agraria, dan pengelolaan lingkungan.

Menurutnya, masalah HAM muncul di permukaan ketika sudah terjadi konflik agraria yang cenderung mengakibatkan kekerasan. Padahal, inklusivitas HAM ke dalam bisnis justru akan merombak logika berpikir pelaku usaha sehingga bisnis utama mereka tidak hanya berkaitan dengan bisnis tapi juga hal-hal lain yang mendukung bisnis mereka.

“HAM dalam hal ini dapat dianggap sebagai instrument pencegah konflik-pelaku usaha diharapkan dapat menjadi lebih hati-hati dalam bertindak. Adapun karyawan dan/atau masyarakat merupakan pihak yang harus diperhitungkan dan diikutsertakan dalam penetapan kebijakan bisnis mereka,”ucapnya.

Baca Juga :  Ben Dukung MTQ Ke-46 Tingkat Kabupaten Kapuas

Oleh karena itu, menurutnya, bimbingan teknis ini akan membantu pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah atau aparatur sipil negara untuk membuat kebijakan di sektor sawit yang berbasis HAM, serta dalam melakukan fungsi pengawasan pelaksanaan kebijakan tersebut dan fungsi perlindungan bagi masyarakat.

“Oleh karena itu diseminasi mengenai Bisnis dan HAM perlu ditingkatkan dan dilakukan secara terintegrasi dari pusat hingga lapisan bawah pemangku kebijakan. Kegiatan ini bertujuan untuk menguatkan pemahaman peserta tentang relasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia dan penerapan prinsipnya dalam sektor industri perkebunan Sawit di Indonesia. Meningkatkan pemahaman dan kemampuan terkait teknik pelatihan dan fasilitasi ; mendorong eksplorasi strategi alternatif dan tata cara memfasilitasi pelatihan,”ucapnya.

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Kalteng, Ilham Djaya yang membuka kegiatan tersebut mengatakan, bahwa diadopsinya prinsip-prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Bisnis dan HAM oleh Dewan HAM PBB pada Tahun 2011, menjadi babak baru agar operasi bisnis dapat lebih ramah atau menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).

Menurutnya, berbagai pihak, baik pemerintahan maupun perusahaan, berperan besar dalam konteks Bisnis dan HAM ini. Sesuai dengan 3 (tiga) pilar yang dikenal dalam UNGPs, maka pemerintah maupun perusahaan berperan penting dalam memastikan operasi bisnis yang dijalankan oleh perusahaan sehingga dapat sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.

Baca Juga :  Dua Sepeda Motor Adu Kuat, Satu Orang Tewas Terbakar

Dalam laporan Komnas HAM tahun 2019 tersebut juga disebutkan bahwa konflik agrarian menjadi salahsatu persoalan yang paling banyak diadukan jika dibandingkan sektor lainnya, missal sektor perkebunan, khususnya perkebunan sawit, merupakan industri yang berkembang di Indonesia. Namun pesatnya perkembangan luas areal perkebunan sawit juga menyiksakan masalah-masalah hak asasi manusia, misalnya ketenagakerjaan atau perburuhan juga menjadi isu yang masih tidak mampu diselesaikan hingga saat ini.

Ada 2 (dua) permasalahan utama yang dihadapi buruh perkebunan sawit antara lain adalah lemahnya penegakkan hukum yang meliputi, beban kerja terlampau tinggi, target tidak manusiawi dan menculnya pekerja anak. Kemudian praktek kerja murah, status hubungan kerja rentan, pengawasan tenaga kerja tumpul dan pemberagusan serikat buruh independen. Dan yang kedua adalah ketiadaan peraturan khusus pekerja/buruh perkebunan sawit.

“Kami mengharapkan kepada para peserta agar mengikuti dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh untuk mengarahkan langkah kedepan yang diperlukan pada sektor perkebunan sawit di Indonesia. Karena merupakan industri yang cukup penting saat ini sehingga pelatihan ini diharapkan dapat menguatkan pemahaman peserta tentang relasi Bisnis dan HAM dan penerapan prinsipnya dalam sektor industry perkebunan sawit di Indonesia,”ucapnya.

“Kemudian dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan terkait teknis pelatihan dan fasilitasi serta mendorong eksplorasi strategi alternative dan tata cara memfasilitasi pelatihan,” tambahnya.(bud)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/